Dahulu kala, di sebuah Dusun yang terletak di kawasan Kabupaten Kediri, ada seorang wanita sakti bernama Calon Arang. Dia penganut aliran ilmu hitam yang terkenal sebagai Ilmu Leak, ilmu yang dahsyat mengerikan dan sangat ditakuti oleh setiap jagoan dan masyarakat sekitarnya. Wanita sakti yang memiliki ilmu Leak tersebut selain seorang janda beranak satu juga mempunyai 4 orang murid wanita yang sama jahat tingkah lakunya. Satu-satunya anaknya dalah seorang perempuan yang sangat cantik, bernama Diah Ratna Mengali. Walaupun cantiknya setinggi langit namun tak ada satupun kaum lelaki yang mau meminangnya, apalagi menikahinya. Para pemuda di masa itu tak ada yang berani melamarnya karena takut dengan ilmu Leak yang dimiliki Calon Arang dan putrinya.
Oleh sebab musabab para pemuda tak mau melamar putrinya dikarenakan takut akan ilmu Leak yang dimilikinya itu akhirnya sampai juga ke telinga janda Calon Arang. Kabar tersebut disampaikan oleh salah seorang muridnya yang bernama Nyi Larung. Tentu saja Calon Arang naik pitam dan tidak terima kalau putrinya, Diah Ratna Mengali yang cantik jelita itu menjadi perawan tua. Calon Arang tidak terima kalau putrinya dituduh bisa menjadi Leak. Ia merasa kalau dirinya juga manusia biasa, bukan jin bukan setan atau mahluk jadi-jadian yang bernama Leak. Ia ingin putrinya menikah dan memberinya cucu. Akan tetapi, serangan fitnah atas tuduhan terhadap dirinya sebagai penganut ilmu setan sehingga bisa menjadi Leak yang menakutkan membuat ia menjadi marah dan menimbulkan hasrat untuk membalas dendam terhadap rakyat Kediri. Setelah keempat orang muridnya datang menghadap, berkatalah Calon Arang:
“Anak-anak muridku, ketahuilah olehmu semua, gempuran fitnah yang aku terima telah membuatku menjadi murka. Aku akan memberikan pelajaran berupa hukuman yang berat bagi rakyat Kediri !” kata Calonarang.
“Apa yang bisa kami lakukan untuk membantumu, Ibu?” tanya salah seorang murid.
“Begini anak-anakku. Pada suatu malam yang akan kutentukan, yaitu malam Jumat Kliwon, kalian harus bersiap di desa-desa pesisir Kediri. Kalian harus merubah diri kalian menjadi Leak, untuk menghancurkan rakyat Kediri!” perintah Calonarang dengan mata merah bersinar dan menyeramkan.
“Siap ibunda kanjeng guru, kami akan menyerang seluruh rakyat Kediri yang menghina Ibunda Calonarang !” sahut para murid dengan serempak.
Calonarang tersenyum puas, dia sudah tidak sabar lagi untuk membalas dendam terhadap rakyat Kediri yang telah mencoreng namanya. Ia pun mulai mempersiapkan diri untuk menenung rakyat Kediri dengan segenap tenaga dan ilmu hitamnya.
Sehari sebelum serangan Calonarang dimulai, kehidupan masyarakat di pesisir Kediri masih kelihatan aman, tenang, dan damai. Penduduk masih beraktivitas seperti biasa. Mereka mencari nafkah dengan cara bertani, nelayan, dan berdagang. Anak-anak masih terlihat ceria bermain di halaman rumah mereka. Kaum ibu asik mencengkerama sembari mencari kutu di rambut temannya. Di waktu luang, para lelaki asyik mengelus-elus ayam aduan dan memberi makan ayam jagonya.
Akan tetapi Ketika malam malam Jum’at Kliwon tiba, suasana menjadi berbeda. Malam tersebut oleh penduduk setempat sebagai malam yang keramat dan angker dan ada beberapa pantangan yang harus dipatuhi. Misalnya, pantang bagi masyarakat untuk pulang ke rumah pada tengah malam. Pada malam Jum’at Kliwon tersebut suasana terasa mencekam. Nah, di saat tengah malam yang mencekam itulah Calonarang dan murid-muridnya telah berubah menjadi Leak, siap untuk menyerang masyarakat Kediri.
Dikarena energi ghaib dari ilmu hitam Calon Arang dan para muridnya telah mulai menyebar sampai ke desa-desa, udara terasa panas dan gerah. Penduduk sukar tidur karena hawa yang gerah dan hati gelisah. Anak-anak serta para bayi juga mengalami hal yang sama. Para bayi mulai menangis tak bisa tenang. Hewan-hewan pun ribut mengeluarkan suara dengan caranya masing-masing, seakan-akan memberikan isyarat akan munculnya sesuatu yang tidak lazim. Hewan Tokek bersahut-sahutan, Kambing mengembik, Kerbau dan Sapi melenguh, burung Gagak berkoak-kaok, sementara banyak hewan Kodok melompat kesana kemari dan menimbulkan suara kegaduhan walaupun bukan musim penghujan.
Merasakan keganjilan tersebut, masyarakat mulai ketakutan. Mereka sebagian besar tidak berani untuk memandang ke luar rumah. Jika mereka berani memandang ke luar rumah, pemandangan mengerikan akan tampak di luar sana. Langit berwarna kemerah-merahan, angin ribut, cuaca panas, dan hewan-hewan bersuara gaduh. Ketakutan yang amat sangat itu membuat orang-orang yang berani mengintip ke luar mengalami paranoid atau ketakutan yang luar biasa.
Pada keesokan harinya, penduduk gempar dengan dengan adanya wabah penyakit yang menakutkan. Banyak orang mati mendadak. Sebelum mereka mati mendadak, terlebih dahulu mereka mengalami gangguan muntah-muntah dan mencret tanpa diketahui apa sebabnya. Banyak mayat yang dikuburkan di tempat pemakaman. Tapi anehnya, orang-orang yang ikut mengubur mayat-mayat tersebut langsung jatuh sakit setibanya di rumah, tiba-tiba kejang, muntah-muntah dan mencret, dan akhirnya meninggal. Masyarakat di desa pesisir itu jadi sibuk. Sepanjang siang tak henti-hentinya peristiwa penguburan mayat, seakan-akan wabah kematian begitu dekat dengan mereka. Sang Maut mengintai di mana-mana.
Di antara para warga yang cemas ketakutan beberapa orang mencoba mendatangi Dukun atau Orang Pintar untuk minta perlindungan dan memohon agar segera mengusir gangguan ilmu hitam yang mengancam desa mereka. Namun, para Dukun yang berusaha untuk mengusir ilmu hitam tersebut tidak dapat berbuat banyak. Setelah mereka mencoba untuk melakukan ritual pengusiran ilmu hitam yang mengganggu masyarakat, para Dukun dan Orang Pintar itu mengalami sakit muntah-muntah dan mencret lalu meninggal. Keadaan tersebut semakin membuat masyarakat tambah resah dan ketakutan. Sampai akhirnya berita tentang penyakit aneh yang mencemaskan masyarakat itu sampai kepada Raja Airlangga.
Para pengurus desa, tetua desa, dan para pemangku desa bersama-sama datang menghadap Raja Airlangga, melaporkan perihal musibah penyakit atau pageblug yang melanda sebagian besar masyarakat pesisir Kediri. Menanggapi laporan dari rakyatnya itu, Raja Airlangga segera memerintahkan pasukannya untuk menyerang Calonarang. Ternyata bala tentara yang dikirim oleh Raja Airlangga itu tak berdaya menghadapi kesaktian ilmu hitam dari Calon Arang. Dalam waktu yang singkat bala tentara Raja Airlangga itu bisa dikalahkan oleh Calon Arang bersama empat orang murid kesayangannya. Tantu saja hal ini membuat Raja Airlangga semakin bertambah marah. Sementara itu, Calon Arang setelah mengalami gempuran dari bala tentara Raja Airlangga, perilakunya semakin menjadi-jadi. Api demdam semakin membara di hatinya. Sebagai penyembah Dewi Durga, dia mampu melakukan ritual atau upacara sakral terhadap Dewi Durga untuk menyebarkan bencana wabah penyakit yang ujung-ujungnya berakibat kematian ke seluruh wilayah desa pesisir di Kediri.
Raja Airlangga kewalahan dalam menghadapi pembalasan dari Calon Arang. Bingung dan pusing tujuh keliling. Sesaat setelah merenung menangkan diri untuk mencari jalan keluar, ia meninggalkan singgasananya, pergi ke luar istana untuk menemui penasehatnya yang sakti. Mpu Baradha namanya.
“Wahai Mpu Baradha, aku prihatin atas nasip rakyatku yang terkena wabah penyakit yang selalu berakhir dengan kematian. Bala tentaraku tak berdaya menghadapi Calon Arang yang jahat itu. Aku tak juga menemukan jalan keluar untuk menolong rakyatku. Apa yang harus aku lakukan?” tanya Raja Airlangga dengan raut wajah yang sedih.
Berkata Mpu Baradha: “Duh Paduka Raja yang saya muliakan, Calonarang itu adalah seorang wanita yang licik dan bengis. Seandainya paduka mengerahkan seluruh kekuatan bala tentara yang ada sekalipun, tidak akan bisa mengalahkan kekuatan ilmu hitam dari Calonarang yang jahat itu. Apabila paduka berkenan, saya punya cara untuk bisa mengalahkan Calon Arang yang sakti dan jahat itu.”
“Dengan suka hati aku akan mendukung caramu itu, Mpu Naradha. Katakanlah, Mpu.”
“Saya menyarankan agar kiranya ada perkawinan politik antara seseorang di wilayah Kediri ini dengan putri Calonarang, Diah Ratna Mengali.”
“Apa rencanamu wahai Mpu Baradah,” tanya Raja Airlangga.
Mpu Baradah yang cerdas tersenyum lalu menjelaskan rencananya. “Aku akan mengajukan lamaran untuk muridku, yaitu Mpu Bahula untuk dinikahkan dengan putrinya Calonarang. Pernikahan ini bertujuan untuk menyelidiki kelemahan dari ilmu hitam Calon Arang itu sendiri. Mpu Bahula akan mengorek kelemahan ilmu ibu mertuanya dari anaknya sendiri.”
Raja Airlangga kagum dan senang sekali mendengar rencana Mpu Baradha, maka tanya: “Jika hal itu dapat membantu, aku setuju dengan saranmu, Mpu Baradha,” ucap Raja Airlangga.
Setelah mendapatkan hari baik, maka datanglah rombongan lamaran Mpu Bahula di hadapan Calon Arang. Lamaran langsung diterima oleh Calon Arang. Dia sangat senang hati karena anaknya sudah dilamar oleh seorang pria. Mpu Bahula akhirnya menikah dengan Ratna Mengali dan tinggal di rumah Calon Arang.
Setelah beberapa lama Mpu Bahula tinggal di rumah Calon Arang, dia mendapatkan informasi dari istrinya, bahwa Calon Arang hampir setiap hari membaca sebuah kitab dan setelah itu melakukan ritual angker. Diam-diam bila ada kesempatan, Mpu Bahula mencuri kitab yang dibaca oleh ibu mertuanya itu. Kitab tersebut sempat dibawa oleh Mpu Bahula kepada gurunya, Mpu Baradha, yang kebetulan, beliau sedang berada di desa tak jauh dari tempat Calon Arang untuk menyembuhkan orang-orang yang terkena penyakit tenung. Dengan seksama Mpu Baradha meneliti kitab tersebut. Setelah mendapatkan kesimpulan, Mpu Baradha menyuruh Mpu Bahula segera mengembalikan kitab tersebut ke tempat asalnya, agar Calon Arang tidak menyadari kalau kitabnya telah dicuri.
Setelah memahami isi kitabnya Calon Arang, Mpu Baradha berusaha dengan santun untuk menemui Calonarang. Dengan ilmu diplomasinya, Mpu Baradha mengingatkan agar Calon Arang menghentikan sihirnya terhadap masyarakat Kediri. Dengan keahliannya berdiplomasi itu Mpu Baradah berhasil menyadarkan Calon Arang dari kesalahan yang telah dilakukannya.
“Mpu Baradha yang budiman, aku mengaku salah, sekarang aku minta diruwat untuk melebur dosa-dosaku. Jika engkau dapat meruwat untuk menghapuskan dosa-dosaku, aku akan menuruti keinginanmu untuk menghentikan sihir yang aku lakukan,” kata Calon Arang. Akan tetapi sambutan Mpu Baradha sungguh di luar harapan Calon Arang.
“Mohon maaf Calon Arang, aku tidak bisa meruwat dirimu. Hal ini diakibatkan oleh karena sudah terlalu banyak dosa-dosamu,” jelas Mpu Baradha.
Mendengar penjelasan Mpu Baradha, Calon Arang menjadi berang. Dia langsung melayangkan sebuah pukulan, menyerang Mpu Baradha. Pertempuran pun akhirnya terjadi antara keduanya. Calon Arang menyemburkan api yang keluar dari matanya untuk membunuh Mpu Baradha. Akan tetapi, Mpu Baradha jauh lebih sakti dibandingkan Calon Arang. Dalam pertempuran yang sengit itu akhirnya Calon Arang kalah. Ia mati dalam posisi berdiri.
Mengingat Calon Arang sempat bertobat dan menyatakan ingin melakukan ruwatan, Mpu Baradha merasa kasihan melihat Calon Arang yang mati berdiri. Maka iapun berusaha untuk dapat menghidupkan kembali Calon Arang. Setelah mempelajari ajaran kebenaran untuk mencapai moksa (bebas dari siklus antara hidup dan mati), Calon Arang akhirnya meninggal dunia untuk selamanya.
Dapoer Sastra Tjisaoek, 26.09.21
Diceritakan kembali oleh: Abah Yoyok