![](https://mbludus.com/wp-content/uploads/2024/10/Perceraian-750x428.jpg)
Oleh Titis Nariyah
“Hai?”
“Hai, juga.”
Ini sapaan canggung pertama darinya setelah sempat terpisah jarak selama dua tahun. Aku dan Pandu, kami berteman. Setidaknya begitulah kami saling menganggap masing-masing, setahuku. Pandu yang dua tahun lalu duduk di depanku pada sebuah kedai gulai tikungan di bilangan Jakarta selatan, kini datang lagi. Hanya saja ada yang berubah. Dia terlihat kehilangan banyak berat badannya. Aku tidak bertanya apa penyebabnya. Asumsiku, itu karena banyaknya hal yang dilalui pria 29 tahun itu.
Pandu lebih muda tiga tahun dariku, kami saling mengenal dari sebuah event job fair bertahun silam. Entah bagaimana mulanya, kami jadi akrab sejak saat itu. Kantor kami berbeda, tentunya. Dia bekerja pada sebuah perusahaan komunikasi, dan aku bekerja di perusahaan start up. Kantor kami tidak terlalu jauh, jadi, dulu kami sering janjian makan di luar atau sekedar pulang bersama. Kebetulan juga, tempat tinggal kami dalam satu arah.
Kali ini, Pandu kembali ke Jakarta lagi. Perpindahannya ke Surabaya selama dua tahun lalu atas permintaan atasannya, dia diminta untuk membantu pembukaan cabang di Surabaya. Sekarang, setelah operasional di sana stabil, Pandu ditarik lagi ke pusat.
“Ternyata dua tahun lalu ya kita terakhir bertemu?” Pandu membuka percakapan. Aku hanya mengangguk dengan tersenyum. Kali ini, kita duduk di sebuah kafe di kawasan Pondok Indah. Tempat ini, aku yang menyarankan, karena aku yang mau bertemu di titik tengah antara tempat tinggalku dan tempat tinggalnya. Ada jeda kecil yang tiba-tiba membuat canggung. Untungnya, seorang pramusaji datang membawakan pesanan kami. Satu amerikano es milikku, dan satu lagi es latte miliknya.
“Kenapa aku merasa ini canggung, ya?” aku bertanya tanpa tedeng aling-aling. Pandu tiba-tiba tergelak dengan pertanyaanku yang blak-blakan.
“Aneh juga padahal kan selama ini komunikasi kita pun tetep lancar walau LDR,” jawabnya, sambil sesekali memainkan gelas kopi.
“LDR? Agak sinting kamu!” kami sama-sama tertawa. Menurut teman-teman kantor dan kenalannya, Pandu bukan orang yang banyak omong, dia cenderung terlihat sangat serius, terutama saat bekerja. Dia juga yang termasuk tidak terlalu sering bercanda. Tapi, Pandu yang kutemukan saat sendiri saja, jelas bukan Pandu versi mereka. Aku yang memang dasarnya mudah terbuka, senang berteman dengan Pandu karena dia pendengar yang baik. Apapun hal konyol yang pernah aku lakukan, baginya itu lucu dan dia tipe laki-laki yang pandai menghargai perasaan orang lain.
Sebenarnya, aku memang merasa kehilangan saat Pandu ke Surabaya. Aku sempat murung selama seminggu dan jujur bilang ke dia, kalau perpindahannya tidak kusukai.
“Ya, namanya tugas, Yas,” begitu jawabannya dulu.
Dulu, selain aku takut tidak bisa akrab dengan Pandu lagi, aku juga takut kalau-kalau dia tidak kembali ke Jakarta. Aku takut dia tiba-tiba memutuskan untuk menetap di sana, bertemu dengan perempuan baru, dan menikah, lalu .. aku…?
Loh? Kenapa aku takut dia menikah? Kenapa aku baru sadar ini saat sekarang?
Aku selalu takut setiap kami bertukar cerita dan dia memberi kabar kalau tengah dekat dengan seseorang di tempat barunya. Tak jarang, aku diam-diam mendoakan supaya hubungannya dengan orang baru tidak langgeng. Duh, Yas! Terakhir, dia cerita sedang dekat dengan seorang pekerja bank. Dia bilang, Perempuan itu tipenya. Sial!
“Yas, kamu ingat dulu pernah bilang apa soal komitmen?” Pandu membuyarkan isi kepalaku yang berlarian semrawut.
“Yang mana?”
“Katamu, kamu ingin menikah, tapi tidak terlalu suka dengan konsep pacaran. Jadi, satu-satunya cara yang kamu punya adalah, berusaha saling komitmen ketika bertemu dengan orang yang kamu cocok, jika itu berlangsung lama, kalian berarti siap menikah, gitu, kan?”
“Tentu.” Aku mengaduk es di gelas yang sudah mulai mencair.
“Apa itu masih berlaku.”
“Masih. Cuma ya, kalau kamu berpikir untuk mengenalkan temanmu lagi seperti waktu lalu, aku enggak dulu. Aku sedang berada di fase yang sangat lelah untuk memulai hal baru saat ini.” Kusandarkan punggung. Air Conditioner di ruangan ini semakin terasa dingin, karena hanya ada kita berdua. Sepasang kekasih yang duduk di meja seberang kami sudah pergi, juga dua mahasiswa yang terlihat sibuk dengan tugas kuliahnya tak lama pergi juga. Mereka memang datang lebih dulu dari aku dan Pandu.
Hari ini kami berbincang tentang komitmen, pernikahan, tipe ideal, bahkan Pandu juga bertanya bagaimana kehidupan romansaku selama ini. Dia bilang, saat menemukan seseorang, kadang itu melenceng dengan tipe idealnya. Kadang dia merasa senang menemukan tipe idealnya, namun ternyata itu hanya kulit luarnya saja. Dia lalu kecewa dan memutuskan berhenti.
“Kalau …?”
Pandu menggantung ucapannya. Aku menangkupkan kedua tanganku dan meletakkannya di atas meja, menyimak Pandu yang sedang menata kata-katanya.
“Kalau kita menikah saja, mau enggak?”
“Kamu enggak lagi lari dari sesuatu, kan?” tanyaku selidik. Karena setahuku dia masih berhubungan dengan Risa, perempuan tipenya itu.
Pandu menggeleng cepat. Dia membuka ponselnya dan mencari entah apa selama beberapa saat, kemudian dia menunjukkan sebuah foto pernikahan yang kutahu itu Risa.
“Hubungan kami hanya bertahan tiga bulan. Aku yang salah.” Pandu terlihat menarik napas panjang. “Aku tidak terlalu yakin mencintainya. Dia ingin serius denganku, tapi, aku tidak bisa menjalani komitmen dengannya. Ada hal yang aku sadari saat bersama orang lain.”
Aku hanya diam. Aku tidak ingin bilang apa-apa atau bertanya apa-apa. Menunggu Pandu melanjutkan ucapannya. Aku bahkan merasa sedikit senang tapi bimbang.
“Diyas… dia bukan kamu, aku berhenti berusaha mencari orang lain. Setiap dengan orang baru, aku justru sibuk mencari sosok kamu pada mereka. Itu enggak adil untuk mereka. Aku kembali secepatnya ke sini memastikan kamu tidak sedang menjalin hubungan dengan siapa-siapa.”
Aku masih tidak menanggapi apa-apa. Aku sibuk menatap Pandu dan mencari kebenaran dari kata-katanya. Pandu jarang berbohong tentang perasaannya. Dia juga tidak melanjutkan lebih banyak atau berusaha merayuku. Dia tahu, menghadapiku harus tenang. Aku kemudian tersenyum, dan kutegapkan dudukku.
“Ndu, kamu yakin?” Pandu meraih kedua telapak tanganku dan menggengamnya erat. “Menikah denganku itu beresiko. Kamu akan cape.”
Aku merasakan genggaman tangannya semakin erat. Aku sedikit mengernyit karena sakit, dia kemudian melepaskan dan meminta maaf. Kami tertawa lagi. Jeda hening.
“Yas … aku ditolak?”
“Kamu memiliki kesempatan memilih, Ndu.”
“Betul, makanya aku pilih kamu, Yas.”
Histerektomi adalah mimpi paling buruk yang kualami saat usia 25 tahun. Pengangkatan rahim yang disebabkan oleh infeksi memupuskan mimpi besarku menjadi seorang ibu saat kelak aku menikah. Perjalanan panjang selama bertahun-tahun untuk sembuh dan menerima diri, salah satunya dengan bertemu Pandu lima tahun lalu. Pandu pendengar yang baik. Dia tahu kondisiku. Pandu tidak melihat aku sebagai perempuan yang tidak beruntung. Meski lebih muda dariku, Pandu selalu memiliki cara pandang yang lebih bagus dariku, aku bisa melihat sisi bijak yang dimiliki laki-laki itu. Dia berwawasan, terbuka, dan membuatku nyaman.
Tapi, memutuskan hidup bersama dengan perempuan yang tidak bisa hamil selamanya, apa itu mudah? Apa itu bisa diterima Pandu seterusnya?
“Kamu pikirkan lagi, deh, Ndu. Ayo… kita pulang saja.” Aku sudah siap berdiri dan mengambil tasku.
“Sekarang atau besok, gak ada yang berubah, Yas. Aku tetap pilih kamu.”
Aku meninggalkan Pandu dan bergegas pergi. Perasaan campur aduk di hatiku. Pandu masih duduk di kursinya dengan wajah tertekuk. Itu kata-kata yang ingin aku dengan dari mulut Pandu. Tapi, apa sepantasnya Pandu hidup denganku?
Langkah kakiku berhenti di teras kafe. Seluruh saraf tubuhku memerintahkan agar aku berhenti sejenak. Tidak seharusnya aku pergi begitu saja. Bukankah ini yang aku tunggu? Bukankah kerelaan seseorang yang tulus seperti Pandu lah yang sedang aku damba? Lalu, kenapa aku kekanak-kanakkan dan malah lari?
Aku membalik badanku kembali masuk kafe. Kuhampiri Pandu yang masih terenyak di kursinya semula. Wajahnya masih sibuk menatap lantai.
“Ndu …?”
Pandu mengangkat wajahnya perlahan. Matanya merah, ada sisa air mata yang tergenang di sana. Anehnya aku justru tertawa melihat Pandu menangis. Dia buru-buru mengusap matanya. Pandu menatap penuh tanda tanya.
“Yas …?”
“Ayo kita menikah!”
Sebuah beban berat di hatiku luruh seketika. Aku melihat senyum lebar mengembang di bibirnya. Pandu berdiri dari duduknya kemudian memelukku erat.
“Terimakasih, Yas,” bisiknya di telingaku.
Titis Nariyah. Seseorang yang senang dengan sastra dan sesekali memainkan peran di atas panggung. Kini ia tergabung di komunitas Dapoer Sastra Tjisaoek.