Puisi bisa dikatakan pengelanaan spiritual. Dia menangkap berbagai peristiwa, merasakan segala kegundahan, dan dapat diramu secara melankolis atau pun gamblang. Meskipun terkesan individualis dengan pengalaman-pengalaman batin penyairnya, puisi akan menemukan pembaca dan menyentuhnya, lalu dapat dimaknai oleh mereka sesuai dengan kemampuan dan perasaan masing-masing. Selamat Membaca. (redaksi).

Almasih
seperti di bukit golgota
sedarah-darahnya diri kau
lukamu  tidak lebih dalam
dari mata tombak yang melukai lambung-Nya

2021

Matius
:untuk sebuah kematian

diucapkannya  doa bapa kami dari mulutnya yang merah senja
untuk menaklukan rasa takut yang membekas
pada labirin hatinya setelah kematian ibu
seperti kisah-kisah suci, adalah jalan pulang menuju kekekalan

di jenang altar yang memutih
ia salurkan doa dari mulutnya
berharap seperti lasarus, langit pecah dan malaikat-malaikat
turun-naik mengantar  jiwa ibunya ke pangkuan abraham

2021

Di Sinagoga

seperti sedang memasuki eden
orang–orang kusut berdoa
medendangkan aleluya
mendengarkan sabda Tuhan
merenungkan kotbah pastor

sepuluh jarak langkahku  dari tabernakel
orang-orang menamakannya, Ekaristi
saya  menyebutnya, Iman.

2021

Dari Kisah Odysseus

dari kisah-kisah odysseus
hanya tidur yang kuinginkan
senandung dari katup suaramu
sebab kemiskinan seperti  gemerlap bintang
sudah memancar dari mata langit nenek moyang
tahkala rahim ibu meledakan diriku
ke hamparan bumi yang gemu-gemulai

aku berpikir suatu hari nanti kita berbaring
seperti malam musim dingin yang transparan.
dari setangkup matamu yang mesra
kubayangkan bagaimana kau meletakan jasirah tangamu
ke atas kepalaku tanpa alasan berkata bahwa
mencintai adalah melukai
melukai ialah jalan menutup rasa bahagia

dan ialang-ilalang liar
pinggul batu-batu
dan keropong-keropong lumut
aku berharap semuanya bermekaran bagai bunga lotus
harum kedamaian di kaki kita
yang penuh debu dan dosa

2021

Ada yang Selalu Menangis di Pagi Hari

ada yang selalu menangis di pagi hari
pada mata altar yang memutih harapan-harapan baru
menumbuhkan bayang masa depan yang bening
demi memeluk segala duka lara anaknya
ketika air mata dalam sunyi  adalah doa paling agung
sekalipun ia benar-benar kehilangan seluruh dirinya.

2021

Dhery Ane adalah seorang  mahasiswa Ilmu Filsafat Unwira Kupang.  Menulis puisi, artikel, dan opini. Puisi-puisinya tersebar di sejumlah media onlline, jurnal sastra, majalah puisi, dan buletin sastra.  Juga tergabung dalam lebih dari sepuluh antologi seperti di antaranya  Menenun Rinai Hujan (2019), Semesta Jiwa (2020), Antologi Sepeda dan Buku (2021) Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian (2021).  Kini, bergiat di Komunitas Sastra Filokalia Kupang.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *