Tujuh hari yang lalu, Sari tiba-tiba mendapatkan telepon dari Dira, seorang sahabat lamanya saat masih duduk di bangku kuliah. Perempuan itu menyampaikan informasi bahwa ia akan pindah tempat kerja, kembali ke tanah kelahirannya, di kota kediaman Sari.

Tak pelak, Sari merasa senang mendengar kabar tersebut. Pasalnya, mereka telah berpisah kota dan tak lagi bertemu selama lebih dari tiga tahun. Karena itu, Sari menjadi sangat rindu dan sangat ingin bersua dengan Dira.

“Kau pasti merasa tenang sekarang, sebab tak lama lagi kau akan menikah,” tuding Sari, setelah Dira menuturkan bahwa ia akan menikah dengan seorang lelaki yang masih ia rahasiakan.

“Jangan terlalu memusingkan soal jodoh. Suatu saat, kau juga pasti akan menemukan jodohmu,” balas Dira, menyemangati.

“Tetapi kapan?” sergah Sari.

Dira menjeda beberapa detik sebelum akhirnya menimpali dengan nasihat sekenanya, “Soal kapan, itu rahasia Tuhan. Bersabarlah.”

Sari mendengkus saja dengan perasaan kalut.

Waktu bergulir cepat.

Akhirnya, atas ketidaksabarannya soal jodoh, hari ini, Sari pun menjadi sangat bersemangat untuk menyongsong sesi perkenalannya dengan seorang lelaki bernama Ruli, yang ia kenal lewat Facebook. Ia bahkan sudah lebih dari setengah jam berada di sebuah kafe untuk menunggu kedatangan lelaki itu. Ia terus bersabar demi bertemu dengan sang lelaki yang telah berjanji akan datang menemuinya.

Tetapi detik demi detik bergulir, ia tak juga melihat keberadaan lelaki itu. Ia pun tak lagi mendapatkan kabar tentang kepastian kedatangannya. Panggilan telepon dan pesan-pesan pertanyaannya, bahkan tak lagi berbalas. Karena itu, perlahan-lahan, ia mulai gusar dan menduga bahwa sang lelaki telah mempermainkan keluguan dan kepercayaannya.

Sampai akhirnya, setelah hampir satu jam menunggu, Sari pun menyerah. Ia sudah yakin bahwa sang lelaki memang telah memperdaya dan membohonginya dengan janji-janji pertemuan yang privat dan mewah. Karena itu, setelah menandaskan segelas susu cokelat hangat pesanannya, ia lantas berdiri dan melangkah meninggalkan kafe dengan perasaan kecewa.

Kini, Sari pun menyadari bahwa dunia maya memang penuh dengan tipuan. Ia yakin bahwa lelaki bernama Ruli itu tidak benar-benar punya niat untuk mendekatkan diri kepadanya. Ia yakin bahwa ucapan sang lelaki melalui kotak pesan Facebook hanyalah gombalan semata. Itu terbukti dengan ketegaan sang lelaki yang telah membuatnya menunggu untuk sebuah janji pertemuan yang ternyata teringkari.

Sepanjang perjalanan, Sari pun terus menguatkan tekadnya untuk tidak lagi memercayai kata-kata sang lelaki. Ia bahkan berjanji pada dirinya sendiri untuk berhenti menanggapi dan membalas pesan-pesan sang lelaki, meski dengan permintaan maaf dan penyesalan sekalipun. Baginya, janji pertama telah dilanggar oleh sang lelaki, dan ia tak punya alasan lagi untuk bisa percaya.

Akhirnya, dengan perasaan yang kacau, ia terus saja melajukan sepeda motornya, sembari membayang-bayangkan nasib percintaannya yang mengenaskan. Beberapa kali sudah ia menjalin hubungan spesial dengan lelaki, tetapi selalu saja berakhir gagal setelah ia dikhianati. Bahkan kali ini, nasibnya begitu malang, sebab ia dicampakkan oleh seorang lelaki yang bahkan belum pernah ditemuinya secara langsung.

Wajar saja jika Sari begitu terluka atas pengingkaran Ruli. Pasalnya, ia telah mengembangkan angan-angannya bahwa ia akan berjodoh dengan lelaki yang terlihat tampan dan mapan di profil media sosialnya itu. Ia telah menggantungkan harapannya bahwa lelaki itu akan menikahinya, sebab ia sudah mendesak untuk menikah di usianya yang sudah kepala tiga. Tetapi kenyataan ternyata melukainya.

Atas segenap permasalahan itu, Sari pun benar-benar kalut. Detik demi detik, perasaannya menjadi semakin tidak keruan. Ia merutuki takdirnya yang tak mujur dalam persoalan jodoh, hingga orang-orang mulai meledeknya sebagai perawan tua. Ia bahkan meminta di dalam hatinya untuk mati saja ketimbang harus menanggung malu sepanjang hidupnya akibat persoalan jodoh.

Di tengah emosinya yang kacau, akhirnya, ia jadi kehilangan konsentrasi pada kendali kemudinya. Ia kehilangan fokus pada lajur lintasannya. Hingga akhirnya, ia melajukan roda sepeda motornya pada lubang jalanan yang dalam. Maka sontak saja, motornya terperosok dan terjungkal, hingga ia terpental dan terjatuh keras di atas badan jalan.

Tak pelak, ia menderita kesakitan. Sisi lututnya dan siku tangannya berdarah. Pergelangan kakinya dan pangkal lengannya terkilir. Akibatnya, ia jadi tak kuasa untuk berdiri. Tetapi beruntung, orang-orang segera memberinya pertolongan. Mereka lekas menggotongnya ke atas sebuah mobil, hingga ia segera dilarikan ke rumah sakit.

Seketika pula, ia menyesal telah menyerapahi takdir jodohnya. Ia merasa bersalah karena kehilangan kesabaran untuk menemukan belahan jiwanya. Karena itu, di tengah kesakitannya yang semakin menjadi-jadi, ia pun memohon perobatan, semoga Tuhan mengampuninya dan segera mengantarkannya pada keadaan dan takdir yang baik.

Sejenak berselang, ia pun sampai di sebuah rumah sakit. Ia lantas mendapatkan penanganan untuk persoalan tulang dan persendiannya, juga luka-luka yang ia derita. Ia mesti menahan rasa sakit demi kesembuhannya sendiri. Sampai akhirnya, setelah sekian lama, kedaruratan keadaannya pun teratasi, hingga ia mendekam di sebuah ruang perawatan dengan luka-luka yang berbalut perban.

Namun tak lama berselang, Sari pun terkejut setelah melihat Dira, teman baiknya semasa kuliah dahulu, tiba-tiba melintas di depan kasur perawatannya. “Hai, kenapa kau ada di sini?”

Sontak, Dira pun terheran, kemudian bertanya tanpa terlebih dahulu menjawab pertanyaan Sari, “Apa yang terjadi padamu?”

Masih dengan raut terkejut, Sari pun menjawab, “Aku mengalami kecelakaan tunggal dengan sepeda motorku.”

“Astaga. Kenapa bisa?” tanya lekas Dira.

Sari lantas mendengkus. “Aku hanya kurang konsentrasi, hingga aku melintasi lubang dan terjatuh.”

Dira pun tampak sangat prihatin.

“Kamu sendiri kok ada di sini? Ada apa?” tanya ulang Sari.

Wajah Dira pun menjadi lesu. “Barusan, calon suamiku juga mengalami kecelakaan sepeda motor.”

Seketika, Sari balik prihatin dan penasaran. “Bagaimana bisa?”

“Katanya, ada seekor kucing yang tiba-tiba melintas di jalan. Ia pun mengerem secara mendadak, dan terjatuh,” terang Dira.

 “Terus, suamimu di mana?” selidik Sari.

Dira lantas menuding bilik bertirai pada sisi belakanganya. “Di sini.”

Sari pun merasa aneh atas kebetulan itu.

Dira kemudian menyibak tirai yang memisahkan bilik antara calon suaminya dengan Sari.

Seketika pula, Sari tersentak setengah mati ketika melihat wajah seorang lelaki yang telah melanggar janji pertemuan dengannya beberapa jam yang lalu, yang membuatnya kalut dan kehilangan kendali kemudi, hingga ia mengalami kecelakaan.

Lelaki itu pun tampak terkejut, kemudian melayangkan senyuman yang canggung.

Sari lantas membuang wajah.

***

Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Alumni Fakultas Hukum Unhas. Berkecimpung di lembaga pers mahasiswa (LPMH-UH) selama berstatus sebagai mahasiswa. Aktif menulis blog (sarubanglahaping.blogspot.com).

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *