CINTA LAMA
Di bawah guguran daun puluhan tahun lalu, di rindangnya pohon-pohon sekolah, aku pernah bertemu sekaligus kehilanganmu. Aku tak pernah punya keberanian mengatakan rasaku yang sesungguhnya kepadamu selama ini. Aku hanya bertahan menatapmu dari jauh atau sekedar lewat depan kelasmu, mencuri pandang diam-diam di pintu kelas yang setengah terbuka. Aku terlalu takut mendekatimu. Kamu terlalu sempurna di mataku. Hanya melempar senyuman saja sudah membuatku susah tidur berhari-hari. Desideria, kamu seindah namamu.
Aku tahu kamu tidak sedang memikatku, tapi hatikulah yang tergerak merasakan getaran aneh ini. Aku jatuh cinta padamu sejak melihatmu jatuh pingsan saat pengenalan sekolah. Kamu begitu manis dengan poni di rambutmu. Mata bulatmu berkedip sayu. Dan aku tahu, sejak saat itu aku harus bersaing keras merebut perhatianmu. Tapi begitulah, saat itu aku hanya lelaki muda yang tak punya banyak daya. Hingga aku menemukan kehidupan baru bersama istri dan dua anakku yang beranjak remaja. Dan mungkin juga dirimu, menemukan kebahagiaan lain bersama pilihanmu. Tapi satu hal, hari ini siapa yang tak tahu aku, Adrian Kuntoaji, seorang pengusaha sukses yang dekat dengan pejabat pusat maupun daerah.
Kamu berdiri di samping ranjang, membenahi pakaianmu. Mengikat tinggi rambutmu. Tengkukmu yang jenjang semakin jelas indahnya. Kamu semakin cantik saja. Aku menelan ludah memandangmu lekat. Dua puluh tahun lamanya kekagumanku tak berkurang sedikitpun. “Des, apakah kau tak pernah tahu aku mencintaimu selama dua puluh tahun dan hingga hari ini?” aku sedikit merajuk. Kamu mendekat hingga wajah kita hanya berjarak sejengkal. “Apakah itu perlu kujawab sementara saat ini aku sudah di sini, bersamamu?” harum napasmu menyapu lembut wajahku membuatku tak bisa berkata-kata. Jika sudah begitu, dengan sekali rengkuh tubuhmu sudah kembali dalam pelukanku kuhujani dengan ciuman. Entah pertemuan keberapa ini setelah temu alumni setahun lalu, kita tak lagi terpisahkan. “Adrian tersayang, jangan lupa, besok transfer yaaaa..” aku tersenyum dan menggangguk pasti. Desahmu semakin menggoda, membuatku lupa segala.
Bandung, 2022
TABIR MIMPI
Ruangan ini mulai dipenuhi debu. Cat dindingnya pun mulai mengelupas. Beberapa lampu yang ditanam di langit-langit bahkan sudah mati. Tinggal dua lampu duduk berbentuk kubah saja yang berada di meja sudut yang masih bisa kunyalakan. “Aku di sini…” Bisikku pada keheningan yang menyambutku. Tiga bulan sudah tempat ini kosong.
Ah, sofa beledu hitam tempatmu membaca nampak masih utuh di tempatnya, kupilih menunggumu di sana. Betapa aku perlu waktu tak sebentar untuk menguatkan hati datang ke tempat ini lagi. Jika saja kau tak terus menganggu mimpiku memohon aku datang ke apartemenmu ini, sungguh aku tak ingin berada di sini. Tiba-tiba semilir wangi yang kukenal menyeruak lembut, tanda hadirmu. Kupejamkan mata, terasa tanganku dibimbing ke sebuah tempat. Ketika kubuka mata, di antara cahaya bulan temaram yang mengintip di jendela tak bertirai, aku melihatmu duduk bersimpuh menunjuk sebuah cermin besar. Naluriku menuntun mendekati cermin itu dan degup jantungku semakin kuat, tembok di balik cermin itu seperti baru saja disemen dengan tergesa.
“Kin, Kinanti bangun Kin.. sadarlah,” lamat-lamat aku mendengar suara Indra, suamiku. Perlahan kubuka mata, aku masih ada di apartemenmu dan aku melihat Indra serta Kapten Piere, detektif yang selama ini mengusut hilangnya dirimu. “Ndra.. tadi Kirana ada di sini,” suaraku sudah bercampur tangis. Indra memelukku, “Kin, yang sabar ya Kin. Kirana, adikmu sudah kami temukan. Jasadnya tertanam di tembok, di balik cermin itu..” Suara Indra bagai tiupan angin semakin lama semakin tak terdengar membuatku terlempar jauh ke lubang gelap.
Bandung, 2022
SATU STASIUN LAGI, KEKASIH
Satu stasiun lagi dan aku akan sampai padamu. Mengulang suka cita setahun yang lalu. Saat langit begitu jernih tanpa awan, burung-burung begitu riang mengepak sayap dan pelukmu melapangkan rindu yang menyesak. Masih terngiang suara manjamu di telepon kemarin ketika kukabarkan aku akan datang ke kotamu dengan kereta api malam. Aku akan datang untuk mewujudkan mimpi-mimpi indah yang selama ini menghias taman hati kita berdua.
“Semalam aku memimpikanmu. Aku melihatmu memakai baju warna putih padahal kau paling tak suka baju warna putih kan?” katamu terdengar khawatir. Aku terkekeh, “Iya, kecuali baju seragam sekolah.” Suara tawamu di seberang sana membuat rasa rindu ini semakin menjadi. “Besok jemput aku dengan senyum terbaikmu, ya!” kuakhir pembicaraan di telepon malam itu.
Tak sabar rasanya ingin segera menjumpai senyummu, mencium lembut keningmu. Kuhapus resahmu, hingga tak ada lagi jarak yang mesti kutempuh. Kupastikan kotak mungil berisi cincin itu tak tertinggal. Terbayang pipimu yang bersemu merah, mata yang mengerjap indah ketika nanti kupersembahkan cincin ini.
Brakkk! tiba-tiba kereta berguncang keras, sangat keras. Jerit penumpang terdengar di sana sini. Kupejamkan mata di tengah hiruk pikuk yang semakin tak terkendali. Kugenggam erat kotak mungil di saku jaketku, aku tak ingin kehilangan benda itu. Selang beberapa menit, kuberanikan diri membuka mata. Ya Tuhan! tubuh-tubuh berhimpit, bergelimpangan, jerit tangis, rintih kesakitan dimana-mana. Bau anyir darah menyeruak memenuhi udara. Perlahan kucoba berdiri, tak kuhiraukan rasa sakit dan darah yang menetes di belakang kepalaku karena seketika aku merasakan tubuhku sangat ringan. Ternyata aku melayang! Aku terbang! Aku terbang semakin tinggi sambil terus menggenggam kotak mungil itu. Ah! tunggu aku, kekasihku.
Bandung, 2022
Windhihati Kurnia, lahir dan berdomisili di Bandung. Kembang Ronce (2015) Istana Pasir (2016) dan Kotak Pesan (2021) adalah antologi puisi pribadinya yang telah diterbitkan. Bergabung bersama beberapa komunitas kepenulisan dengan berbagai karya tulis yang sudah dibukukan.
terbaca habis…
indah…
pada cinta lama mengingatkan jaman skolah dulu…
😊👍