Lebaran hari ke 3 setelah pusing melihat segala opor dan rendang rasanya saya ingin makan sesuatu yang segar-segar. Saya harus makan buah-buahan. Pergi ke swalayan atau ke supermarket tentu ada banyak buah-buahan meski kadang tak segar lagi. Hanya display yang menarik dan harga yang tinggi dibanding membeli di pedagang pinggir jalan. Kadang, membeli buah-buahan di pinggir jalan pun harganya sama saja seperti di supermarket. Apalagi jika kita turun dari mobil. Ulala.
Untungnya saya punya langganan lapak pedagang pinggir jalan yang selalu memberi saya harga murah dan miring. Bapak sepuh yang menggelar dagangannya di pinggir jalan arah ke Parigi yang hanya 3 km dari tempat saya tinggal, yaitu di Bintaro sektor 9. Saya pikir beliau si langganan pedagang buah saya belum berjualan. Namun saya beruntung, karena ia baru saja membenahi dagangannya padahal baru pukul 8 pagi. Saya membelinya. Meski bukan pembeli penglaris. Karena ada satu ibu sebelumnya yang baru selelsai membeli ketika saya datang.
Jeruk, melon, semangka kuning, buah naga, manggis, mangga indramayu dan jambu air. Hmm…
Saya langsung memilih apa yang saya mau. Mangga, manggis, jambu air dan semangka yang langsung ditimbang si bapak pedagang. Sekilo mangga pagi itu dihargai 25ribu/ kg. Manggis 25ribu perkilo, semangka 10 ribu per kilo dan jambu air 30 ribu.
Ini masih suasana lebaran dan ada beberapa orang ibu dengan anak dan cucu mereka yang ikut duduk berjualan dan menyaksikan dengan serius kala memilih dan si penjual yang lalu menimbang semuanya. Dia seperti tak percaya kala saya mengeluarkan uang lembaran-lembaran merah untuk membayar semuanya. Saya lihat wajahnya yang tak terkira mimiknya. Saya ini suka literasi, suka menulis. Saya suka bertanya dan mengajak ngobrol siapapun yang ingin saya ajak bicara.
“Ibu… lagi kunjungi saudara, ya?” tanya saya basa basi sambil menunggu kembalian.
“Iya… saya lagi demen ini lihat abang saya dagang…, ” kata si ibu.
“Ini mpok saya, bu… ” kata si Abang sambil serahkan kembalian. 130 ribu untuk semua buah yang saya beli dan 70 ribu kembalian telah saya pegang.
“Oh ini adik si bapak…?” tanya saya lagi.
“Iyak. Biasa ini… kalu lebaran suka dateng.” Jawab si bapak lagi.
“Ibu ini cucunya…? kata saya lagi ketika melihat 2 balita berlarian di rumput belakang lapak.
“Iyak… ini cucu saya… ntuh… anak saya…” Si ibu menunjuk dua perempuan usia 20-an yang memakai baju kebaya berenda khas lebaran. Mereka semua tersenyum.
Lalu kami semua terlibat obrolan. Si ibu bilang, kecilnya dia, mereka dan saudara sekandung tak harus membeli jika ingin makan buah. Belakang rumah emaknya ada pohon pepaya dan jambu batu yang tak berhenti berbuah. Rambutan dan Jamblang yang berkah ketika musim. Saya serius mendengarkan. Jangankan ibu itu yang kira-kira usianya sudah diatas 60. Karena saya kecil pun dulu masih mengalami punya pohon mangga belakang rumah dan jambu tetangga yang bisa dipetik jika kami mau. Dulu rasanya kami bisa sehat hanya dengan makan buah-buahan yang tumbuh di sekitar rumah. Jaman kini? Itu semua hanya mimpi. Jika ingin merasa sehat maka harus makan buah dan itu semua harus dibeli. Dan banyak orang-orang yang kini tidak lagi punya halaman untuk memiliki tanaman-tanaman sehat. Satu-satunya cara ingin sehat dan makan buah adalah harus membeli.
Then… otak saya mulai merangkai kemana-mana. Saya teringat kakak ipar saya yang kemarin ngobrol ketika lebaran hari pertama. Ipar saya ingat sekitar 50 tahun lalu dia masih anak lelaki kecil yang masih tinggal bersama orang tua di Tasikmalaya. Kakak Ipar saya mengenang masa kecilnya tentang rumah yang asri, sawah ladang, dan segala tanaman di sekitar rumahnya. Dia ingat orang tuanya punya Jambu Air Apel di depan rumahnya yang selalu berbuah dan menjadi incaran banyak warga. Buah yang ranum, manis, rangu dan hanya sedikit mengandung air. Buah jambu air yang mungkin dari jenis langka dan mungkin sudah musnah varietasnya. Mereka menyebutnya jambu apel sanking ranumnya. Dia menyesal mengapa dulu tak terpikir untuk mencangkoknya.
Ipar saya juga bercerita hal lain. Selain jambu air dia juga kerap memanjat pohon Jambu Batu samping rumahnya. Dulu, anak-anak di desa jarang sakit mungkin karena mereka rajin makan buah yang dipetik langsung tanpa harus membeli. Pun demikian jika ingin memasak. Seledri, daun bawang dan jeruk nipis adalah tinggal petik dan ambil di samping rumah. Para tetangga kerap meminta. Bahkan orang tuanya menghibahkan tanaman-tanaman itu bagi siapa saja yang membutuhkan tanpa harus ijin/pamit atau kulonuwon pada sang pemilik. Pokoknya, silahkan ambil. Pohon pepaya dan pisang? Aduh… ipar saya bilang… itu semua banyak tumbuh liar di lahan-lahan tak terurus di desa. Warga bisa dengan mudah mengambil buah-buahan dari pohon-pohon itu.
Kemudian saya menyambung obrolan ipar saya kemarin dengan ibu adik pedagang buah langganan pagi ini. Betapa mungkin jaman dulu penduduk bisa sehat dengan memakan buah-buahan hasil tanah mereka. Mudah dan murah. tak harus punya uang untuk membeli.
Jaman kini, dimana jumlah penduduk semakin banyak dan mereka lebih memilih tinggal di perkotaan. Maka harga tanah akan semakin mahal. Tentu mereka yang punya lahan lebih memilih sisa tanahnya menjadi petakan-petakan kontrakan ketimbang ditumbuhi tanaman meski buah adalah untuk kesehatan.
Lalu saya menghayal. Andai kita di kota masih ada lahan tersisa yang bisa bebas ditamani aneka pohon-pohon sehat. Andaikan trotoar dijalanan-jalanan kelurahan/kecamatan ditamani pohon-pohon manfaat? tentu banyak manusia bisa sehat. Jambu batu yang kandungan vitamin C nya paling tinggi apalagi jika dikonsumsi tak lama setelah dipetik, kini nyaris jarang terlihat pohonnya. Mungkin anak-anak kita bahkan tak paham lagi bentuk dari pohon jambu kecuali mencari di internet. Jaman saya kecil, masih banyak rumah-rumah yang halamannya ditumbuhi pohon- pohon itu. Buah lain? Belimbing salah satunya. Itu buah yang hebat untuk turunkan tensi atau darah tinggi. Kini orang mungkin sudah lupa dengan khasiat buah-buahan itu. Ketika tensi mereka tinggi? Ketika kolesterol mereka tinggi? Orang lebih ingat pergi ke apotik dan membeli obat yang harus rutin diminum setiap hari.
Dalam sepuluh dua puluh tahun ke depan? Serbuan penyakit datang dari segala penjuru dan apapun bisa menjadi pencetusnya, dan manusia-manusia Indonesia lebih andalkan dokter dan minum obat. Padahal, mencegah adalah lebih baik daripada mengobati. Dan ginjal kita tak perlu rusak oleh asupan zat kimia jika kita aware dengan kesehatan dan paham bahwa dengan makan buah dan sayur kita bisa menghalau berbagai penyakit yang bisa mendatangkan kematian itu.
Ah… soal buah-buahan yang selalu membuat daku melantur kemana-mana. Salam sehat.
(Cikeu Bidadewi)