Kini, fenomena baru dalam sastra Indonesia, sedang terjadi. Lahirnya sastra(wan) generasi facebook (fb). Keberadaan dan peranan yang dimainkan media sosial macam fb, seperti membuka jalan bagi kelahiran mereka. Sebagai sebuah aliran, kita dapat mencermati adanya kecenderungan karakteristik yang sama dari para penulis di fb ini: instan, ahistori, narsistik, tanpa seleksi, tanpa kritik (yang baik).
Tentu saja karakteristik itu tidak terlepas dari sifat media sosial itu sendiri yang cair, bebas, licin, tak perlu legitimasi, asal cuap, dengan semangat merayakan hasrat terpendam. Ia menjadi saluran kebebasan ketika media cetak koran dan majalah, makin dikepung berbagai masalah. Rubrik sastra yang makin tergusur, perubahan orientasi pembaca pada media online, dan mudahnya menerbitkan buku mendorong orang merasa lebih nyaman mendekam di fb.
Situasinya sangat berbeda dengan sastrawan generasi koran dan majalah. Seleksi sangat ketat dilakukan para redaktur. Di sana (hampir) tidak berlaku pertemanan.
***
Tidak dapat dimungkiri, hadirnya media sosial, macam facebook (fb), telah memberi kemungkinan lain bagi perkembangan berbagai bidang ilmu. Di dalamnya, termasuklah sastra. Jika pada masa sebelumnya, kemunculan sastrawan—juga kritikus (sastra)—secara langsung atau tidak, (sangat) ditentukan oleh peran redaktur suratkabar atau majalah, maka kini, orang bebas membuat klaim dirinya sebagai apa pun. Jika persaingan di media massa, terutama suratkabar, begitu ketat, yang terjadi di facebook (fb), justru begitu longgar, cair, dan licin.
Longgar, lantaran di fb, orang bebas mengeluarkan apa pun. Setiap saat, siapa pun, bisa mempublikasikan karyanya yang berupa apa pun yang berkaitan dengan sastra, atau apa pun. Lalu, orang-orang yang tergabung dalam lingkaran perkawanannya, boleh menanggapi sesuka hati; mengklik tanda jempol atau cukup komentar singkat: keren, mantap, dan seterusnya.
Situasinya sangat cair. Berbagai klaim bisa muncul setiap saat. Klaim yang satu, bisa menyalip klaim yang lain. Klaim itu-ini, bisa timbul tenggelam begitu cepat. Lalu segalanya berakhir tak selesai. Menggantung. Tidak ada pihak mana pun, tanpa atau dengan otoritasnya, punya kekuatan memberi legitimasi atau melarang orang membuat klaim.
Pergerakannya juga begitu licin, sebab di sana, orang bisa menikmati ketidakjujurannya lewat perbuatan lempar batu sembunyi tangan. Orang bisa begitu bangga jadi Pak Turut atau Eyang Kutip –menurut bla … bla … atau sekadar mengutip judul-judul atau cukup menyebut nama-nama doang. Ketika ada orang yang bertanya atau minta klarifikasi, Pak Turut atau Eyang Kutip itu cuma berkilah, bersilat lidah atau ngeles, tanpa ada penjelasan dan pertanggungjawaban etik, moral, intelektual, bahkan juga sosial.
Situasi itu tidak terjadi dalam proses pemuatan sebuah karya di suratkabar atau di majalah. Ketika sebuah karya akan dimuat sebuah suratkabar, seorang redaktur mesti mempertimbangkan banyak aspek: keterbacaan karya itu dan pertimbangan lain yang berkaitan dengan kualitas; pertanggungjawaban etik, moral, dan sosial; dan pembinaan pada nama-nama baru. Sekadar menyebut beberapa, H.B. Jassin, Saini KM, Ajip Rosidi, Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri, Ahmad Tohari, Efix Mulyadi, Willy Hangguman; atau redaktur yang lebih muda, Nirwan Dewanto, Kenedi Nurhan, Djadjat Sudradjat, Triyanto Triwikromo, Jamal D. Rahman, dan entah siapa lagi, sangat mempertimbangkan aspek pembinaan ini. Maka, para redaktur yang disebutkan tadi, akan memuat karya-karya yang sebenarnya belum begitu bagus, tetapi potensial mendorong penulisnya akan menghasilkan karya yang lebih bagus lagi.
Lewat pemuatan karya di suratkabar dan majalah itu pula, masyarakat perlahan-lahan dapat melabeli seseorang —yang secara konsisten dan berkelanjutan—karyanya dimuat di suratkabar atau majalah itu, sebagai penyair, cerpenis, atau kritikus. Tentu saja proses pelabelan itu tidak jatuh pada seseorang yang karyanya secara kuantitatif belum teruji oleh waktu. Pernyataan Budi Darma yang memelesetkan larik puisi Chairil Anwar, “Sekali (tidak) berarti, setelah itu mati!” sebagai isyarat, bahwa predikat kesastrawanan mesti dibarengi dengan kualitas dan kuantitas karya. Jadi, masyarakat itulah yang melabeli predikat penyair, cerpenis, atau kritikus, dan bukan klaim dirinya sendiri. Maka jangan harap seseorang yang karyanya hul-hol –lama tenggelam, dan setelah itu muncul lagi, lalu lama lagi tenggelam—akan mendapat label dari masyarakat. Nah, di sini, proses seleksi sebagai penyair, cerpenis atau kritikus dimulai dari redaktur, lalu konsistensi dan kontinuitas, dan setelah itu kualitas dan kuantitas.
Generasi facebook tak mengalami persaingan ketat dan seleksi seperti itu. Cenderung instan. Tak bakal ia berhadapan dengan kesabaran luar biasa, sebagaimana yang terjadi pada Gus tf (Sakai), Pamusuk Eneste, Tjahjono Widarmanto (Widianto), Isbedy Stiawan, Mardi Luhung, Wayan Sunarta, dan entah siapa lagi, yang pada karya yang kesekian puluhnya, baru nongol menghiasi suratkabar atau majalah nasional terkemuka. Tanyalah mereka, berapa banyak prangko dan amplop kabinet, mereka persiapkan; berapa lembar fotokopi naskah dan potongan wesel berwarna kusam, mereka simpan; dan setebal apakah kesabaran mereka hari Minggu nongkrong di lapak koran membacai nama-nama para penulis?
Medsos facebook memang sebuah keniscayaan. Perlakukan ia secara bijaksana. Sebagai ajang berlatih menulis, sharing gagasan, atau berdiskusi, fb bisa menjadi medan yang baik dan bermanfaat. Maka, bertindak sebagai pendekar mabuk, mengacung-acungkan golok untuk membabat rumpun, dan membusungkan dada lalu mengajari ikan berenang, hakikatnya seperti orang meludah ke langit.
* Dimuat Harian Kompas, 22 April 2017.
Maman S Mahayana, dosen FIB Universitas Indonesia dan dikenal sebagai Kritikus Sastra Indonesia.