Lebih dari 4 dasawarsa Dia pergi ke Australia. Bukan saja meninggalkan Indonesia. Tapi, meninggalkan Masjid Kentungan. Masjid yang telah banyak membantunya. Menjadi tempatnya menumpang mandi, masak dan tidur. Lebih dari 10 tahun Dia tinggal di masjid tersebut. Banyak kenangan tumbuh dan mengabadi hingga sekarang.
Sebab itulah Dia memutuskan terbang ke Indonesia. Tidak untuk pulang kampung. Dia sudah tak lagi memiliki kampung halaman. Kampung halamannya ya di Australia. Di sana Dia mandi, masak dan tidur. Juga memacari banyak perempuan dari beragam negara.
Dia memilih jadwal penerbangan tercepat. Dipilihnya maskapai milik Indonesia. Meski kadang dikeluhkan penumpang, tapi maskapai ini terbukti tetap menjadi pilihan. Setidaknya Dia ingin memastikan dapat tiba di Indonesia. Di Yogyakarta. di Sleman. Di Kentungan. Dia tak ingin menunggu hingga 5 dasawarsa tiba. Apakah perlu setengah abad hanya untuk merajut kembali kenangan? Rindu ini harus dibalas tuntas.
Bandara Yogyakarta telah pindah ke Kulonprogo. Dia sudah mendengar kabar itu dari banyak media. Pemerintah Indonesia sedang jor-joran membangun infrastruktur. Selain bandara, pemerintah juga gencar membangun tol, jembatan, waduk, taman, dan pabrik. Banyak orang telah mengeluhkan jumlah hutang yang terus membengkak. Tapi, pemerintah bergeming dengan beragam alasan. Sebagai contoh, pemerintah membalik kritik barisan oposisi yang menyerang pembangunan yang gila-gilaan dengan pertanyaan: “Apakah ada cara lebih baik untuk menggerakkan ekonomi nasional, selain dengan cara membangun infrastruktur banyak-banyak? Investor masuk. Hutang mudah. Proyek menyerap banyak tenaga kerja. Belanja nasional bergerak. Dan sebagainya. Terlebih habis wabah panjang.”
Bila sudah demikian, barisan oposisi hanya mampu menghela nafas panjang. Mereka tak siap cukup argumen. Terlebih zaman mereka berkuasa pun mengambil langkah yang sama. Tak ada adu argumen, misalnya, siapakah yang harus melunasi hutang negara yang terus bertumpuk? Mereka seperti sepakat yang penting sekarang ekonomi bergerak. Mereka mendapatkan untung besar. Keuntungan yang dapat ditabung. Seperti kata pepatah: sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Syukur bisa ditimbun. Agar tujuh turunan anak cucu mereka tetap kebagian. Soal cicilan hutang biarlah dipikirkan penguasa berikutnya. Biarlah rakyat zaman berikut yang merasakannya.
Tapi Dia tidak peduli dengan situasi Indonesia secara umum. Sebab meski Dia Orang Indonesia, tapi nyatanya Dia telah diaspora. Dia Indonesia tapi bukan Indonesia. Hanya hati dan jiwanya masih Indonesia. Darahnya masih Indonesia. Tapi isi perut dan pikirannya bersumber dari tanah air Australia.
Sejak lulus kuliah di kampus keguruan, Dia memang memutuskan untuk pergi ke Australia. Sebenarnya Dia tergolong pintar dan cerdas. Dia pintar penelitian sejak sekolah menengah. Sering juara lomba penelitian tingkat nasional. Terus berlangsung hingga Dia kuliah di Karangmalang. Tapi Dia tidak mendapatkan pekerjaan idamannya. Mungkin karena IPK-nya terlalu rendah. Atau bisa jadi disebabkan lama kuliahnya melampaui batas jatah yang diberikan kampus. Dia sempat bekerja sebagai editor sebuah penerbit kecil. Sekadar untuk menyalurkan bakat dan sedikit honor untuk membeli kopi dan rokok. Dua kebutuhan yang sulit ditinggalkan apalagi dilupakan.
Tidak sampai setahun Dia menjadi editor di penerbit kecil. Dia mendapatkan informasi beasiswa untuk studi lanjut di Australia. Setelah melalui beragam ujian seleksi, Dia dinyatakan lulus. Dia sempat bingung karena beasiswa tidak langsung dapat diberikan saat keberangkatan pertama. Beruntungnya keluarga besar mendukung. Meski dengan susah payah. Mereka sepakat menjual 3 sapi milik keluarga dengan harga seadanya. Ternyata belum cukup untuk biaya keberangkatan dan cadangan dana bertahan hidup awal. Sebab blantik sapi membeli cukup merah. Blantik selalu mengerti celah kelamahan orang yang sedang membutuhkan uang. Tak ada posisi tawar bagi keluarganya untuk menjual sapi dengan harga tinggi. terlebih hari raya Idul Adha masih lama.
Akhirnya, dengan dukungan dan pertimbangan bapak, tanah jatah warisannya dijual. Sepetak kebun pisang yang tak seberapa luas. Letaknya di belakang rumah yang sekarang ini ditempati adik kandungnya. Untuk menuju kebun tersebut tak ada jalan meskipun hanya setapak. Tapi pembeli bisa memanfaatkan siring beton pinggir sungai kampung untuk lewat. Sebab itulah tanah hanya laku beberapa juta saja. Lumayan buat tambahan bekal keberangkatan ke Australia ketika itu.
Dia bertahan lama di Australia. Bahkan keterusan. Berprestasi selama kuliah magister S2 di Monash University. Bahkan langsung diberikan beasiswa S3 Doctoral di New Zealand University dan diminta dosen supervisornya untuk bantu riset. Supervisornya butuh bantuannya untuk meneliti gejala-gejala kejiwaan para pemeluk agama di Indonesia. Dan bukan kebetulan semata bila dia cocok dengan topik tersebut yang ternyata sambung dengan riset skripsi dan masternya. Ketika lulus program doktor dia masih tetap dipekerjakan bersama doktor muda asal Indonesia dan dari negara lain. Mereka dikumpulkan dalam pusat studi sebagai penaung atau payung riset besar lintas negara seluruh dunia. Mereka difasilitasi gaji tinggi, apartemen mewah, transportasi layak, gizi makan lebih dari cukup, dan seabrek fasilitas lain. Dia merasa bersyukur berada di titik capaian yang tak terduga. Tak terencana dalam hidup sebelumnya. Terlebih Dia dan timnya kerap mendapat keluhan dari kenalan-kenalan mereka yang bekerja sebagai dosen atau peneliti di negara lain dengan fasilitas seadanya, minim bahkan menindas para peneliti.
Meskipun Dia sering sekali berkunjung ke Indonesia untuk riset, tetapi tidak sekalipun Dia berkunjung ke Masjid Kentungan. Masjid yang telah menempa mentalnya. Melatihnya sabar menghadapi rasa lapar. Mendidiknya tabah ketika uang sedang habis sehingga menunda bayar kuliah dengan surat keringanan dari bagian keuangan kampus. Masjid yang diam-diam berandanya merekam banyak kehadiran rasa cinta. Mulai dari Ukhty Hani adik angkatnya di fakultas, Firoh, Fima, dan juga Ifah yang kini menjadi istrinya. Memang tidak semuanya menjadi pacar atau kekasihnya. Tapi sekadar teman diskusi atau rapat sesama aktivis mahasiswa keguruan. Sebagian juga sekadar menghabiskan waktu untuk obrol masalah pelaksanaan riset lomba.
Karena itulah, Dia tak ingin berlama-lama di bandara. Lagi pula bandara bukanlah hal asing baginya. Bandara hanya serupa tempat bermain. Singgah dari rumah, kantor, lapangan dan kantin semata. Kepada Ulum, teman SMA yang menjemputnya, Dia meminta langsung meluncur ke Masjid Kentungan saja. Untungnya ada teman SMA yang juragan rental mobil dan kebetulan kangen berjumpa. Bahkan, Ulum sendiri yang meminta untuk jadi sopir perjalanannya selama di Yogyakarta. Selain merajut kenangan di Masjid Kentungan, Ulum siap mengantar kemanapun termasuk warung kenangan, mantan, atau destinasi wisata yang sedang viral. Tapi ternyata Dia hanya ingin ke Masjid Kentungan.
Dia meminta tolong Ulum memotretnya sekali di depan logo bandara Yogyakarta. Lantas mengajak Ulum langsung tancap gas. “Kita makan di Selokan Mataram saja, Lum!” ujarnya lantang.
“OK Bos!” sahut Ulum. Dia lumayan riang. Dia ingin menyenangkan teman sebangkunya ketika sekolah itu. Ulum pun ikut bangga punya teman yang hidup di Australia. Bahkan Ulum bercerita bangga kepada ibu dan istrinya bahwa dia akan mengantar sendiri tamu dari Australia. Biasanya setiap orderan rental diurus oleh anak buahnya. Kali ini dia juga ingin kangeng-kangenan sambil menyusuri kenangan mereka zaman masih muda.
“Pelan saja, Lum. Penting sampai di Kentungan! Sambil menikmati perubahan di Indonesia!” kata Dia.
“Itu karena Njenengan lama di Australia saja. Bagi kami yang di Indonesia ya begini-begini saja. Apalagi saya, kalau bukan karena bisnis dan usaha bertahan hidup, sudah malas menjalani pekerjaan di tengah kemacetan jalan!” gerutu Ulum.
Jalanan dari bandara di Kulonprogo menuju Yogyakarta memang lumayan ramai. Ulum pilih lewat Jalan Godean yang tidak terlalu lebar. Meski padat merayap tapi mobil tetap melaju pelan. Dibandingkan lewat Jalan Wates yang super horor. Karena motor dan mobil seperti balapan antar kota, terlebih banyak bus dan truk lewat jalur tersebut.
Dari perempatan Ringroad Barat, Ulum membelokkan mobil ke kiri. Arah Ringroad Utara. Mobil berjalan santai hingga melewati Kampung Mlangi. Dia hanya senyum-senyum sendiri.
“Mantanmu dulu itu orang Mlangi kan?” celetuk Ulum. Dia melirik Dia yang senyum-senyum saat lewat Kampung Mlangi.
“Masih ingat Njenengan Lum!” sahut Dia malu-malu.
“Janda dia sekarang. Suaminya meninggal kena kanker dua tahun silam.”
“Innalillahi Wainna ilaihi roji’un..” Dia menyebut keras sekali. Dengan nada berat dia menghela nafas. Terkenang banyak kabar kematian. Terlebih selama wabah kemarin. Beranda dan grup medsos dipenuhi kabar duka. Termasuk kematian orang-orang dekat.
Mobil terus melaju melewati Perempatan Jombor dan Perempatan Monjali. Sekian kilometer berikutnya, sebelum masuk Perempatan Kentungan, Ulum telah masuk jalur lambat. Dan langsung belok kiri menuju Masjid Kentungan.
Masjid Kentungan terletak sekitar 20 meter sebelah utara Perempatan Kentungan. Perempatan itu menghubungkan Merapi di Utara, Kampus UGM di selatan, Pasar Condongcatur di Timur dan Monumen Yogya Kembali di Barat.
Jalan Kentungan hingga Jalan Kaliurang sungguh padat sekarang. Kafe, hotel, bengkel, toko, mall, dan kantor cabang leasing berdiri megah di sepanjang jalan. Barisan kiri dan kanan jalan. Ulum hampir saja melewati gang kecil menuju Masjid Kentungan. Untungnya Dia masih teringat Batang Nangka di pojok gang. Rupanya pohon itu masih abadi. Bahkan setengah legenda.
“Kiri Lum!” Dia mengingatkan. Ulum banting setir mendadak tapi halus. Untung mobil melambat semua sehingga tidak terjadi insiden.
Ulum memarkir innova di tempat parkir. Sopir senior yang terampil. Mobil mundur halus sesuai garis parkir yang dibuat. Selesai mengangkat rem tangan, Ulum turun menemui Dia yang sedang berdiri di depan beranda Masjid Kentungan.
Matanya memandang tajam ke arah kubah. Megah. Pasti kotak amalnya selalu surplus. Sebab jama’ahnya tak lagi serupa dulu. Zaman Dia jadi marbut, kebanyakan jama’ah ialah mahasiswa dari beragam daerah yang kuliah di kampus negeri berbiaya murah. Makanya sering disebut kampus rakyat. Saat ini telah banyak mahasiswa berasal dari keluarga kaya. Selain itu, warga sekitar pun tampak semakin sejahtera seiiring uang sewa lahan dan bangunan yang kian mahal. Kabarnya, tokoh setempat juga menjadi anggota dewan. Bahkan, dari televisi ada juga warga yang anak gadisnya diambil menantu oleh presiden. Tapi Dia tak paham dia tinggal di RT berapa. Lagipula saat Dia jadi marbut, keluarga menantu presiden itu belum tinggal di sekitar Masjid Kentungan.
Sekarang Masjid Kentungan semakin megah. Berandanya sangat luas. Di samping masjid dibangun gedung bertingkat. Tempat wudhu yang dulu berada di dekat parkir ini, sekarang telah berpindah tempat.
Diam-diam Dia terharu. Air menumpuk di sudut matanya. Masih terbayang di matanya, rombongan Jama’ah Tabligh berdiam beberapa hari di beranda. Mereka mengaji dan makan bersama. Dia mengizinkan mereka tinggal sementara untuk menghabiskan kegiatan khuruj. Bahkan menyilahkan para anggota Jama’ah Tabligh untuk ikut menyalakan kompor minyak di dapurnya. Sekarang dapur itu sudah tak tampak. Berganti bangunan asrama yang lebih rapi.
Di sudut beranda itu pula Dia sering ngobrol bersama para perempuan yang diam-diam mungkin jatuh cinta kepadanya. Meski dia tidak pernah menaruh hati. Atau lebih tepatnya tak berani jatuh cinta. Kecuali kepada Ifah yang sekarang jadi istrinya itu. Kalaupun dekat dengan perempuan hanya sebatas teman tapi mesra. Pacaran juga tidak tapi sering bicara bareng. Bahkan pergi makan bersama. Tapi bukan ikatan kekasih. Sebab di antara mereka tidak ada yang menyatakan cinta. Ya berjalan sama-sama begitu saja. Beda dengan Ifah yang memang menyatakan cinta lebih dulu. Itupun waktunya sudah sangat mepet dengan usia yang semakin menua dan jatah kuliah yang telah lewat. Tak heran selepas wisuda dan bekerja seadanya, dia berani melamar Ifah ke rumah mertuanya yang jauh di Rembang sana. Dari Yogyakarta ke Rembang dia harus naik bis dan berpindah bis berulangkali. Bahkan sempat menginap di rumah teman kuliahnya di Pati karena kemalaman dan tidak mengetahui jalan kea rah rumah Ifah. Beruntungnya kisah itu bertahan hingga sekarang anak mereka sudah dua. Dia dan Ifah beserta kedua anaknya tinggal di Australia.
Dari lorong asrama sebelah kiri Dia seperti melihat kemunculan Slamet. Difabel yang setia menjadi marbut. Meneruskan cita-cita memakmurkan masjid. Tapi bayangan Slamet lantas hilang. Dia segera sadar bahwa Slamet hanya hadir sebagai bayang-bayang masa silam. Slamet sekarang menjadi pejuang difabel internasional. Dia sudah doktor dan ahli difabel bahkan ikut berjuang menggerakkan isu difabel.
Dari arah mimbar yang temaram tanpa lampu, bayangan Fauzi juga menuju ke beranda. Apakah Fauzi lepas adzan? Ataukah iqomah? Ataukah sekadar merapikan kotak amal? Ataukah melipat karpet dan sajadah lepas sholat? Sebagaimana Slamet, bayangan Fauzi pun hilang begitu saja. Tentu saja Fauzi tidak lagi jadi marbut di Masjid Kentungan. Dia telah menjadi politisi kondang di pusat. Juga merangkap sebagai pengurus pusat sebuah organisasi keagamaan yang tersohor.
“Kesini Mas Ulum!” Kali ini Dia menambahkan panggilan Mas kepada Ulum.
Ulum mendakati Dia yang sudah lebih dulu duduk di tangga beranda. Kakinya bersila. Rokoh dinyalakan dan dipegang tangan kiri. Tangan kanan menyorongkan bungkus rokok ke Ulum. Tapi Ulum menolaknya.
“Sudah istirahat merokoh, Kang! Istri alergi asap. Bisa asma!” ujar Ulum tersenyum getir.
“Memang begitu ya Mas. Jalan hidup tak ada yang menduga. Meski kita sudah merencanakannya. Dulu Mas Ulum sangat hobi merokok. Bahkan maniak. Padahal rokok sangat mahal. Tapi tak menyurut niat Mas Ulum terus merokok. Tiap jam nyala tiada henti. Sehari mungkin berbungkus-bungkus habis! Tapi lihatlah sekarang, harus berhenti karena situasi. Mungkin banyak kehidupan kita pun begitu!” ujar Dia.
Dia dan Ulum lantas diam begitu saja. Dia menghisap rokok dan menghembuskan asap ke arah lain. Ulum duduk santai dengan tangan berpangku ke lutut. Sembari memandang dua mahasiswi yang memarkir motor. Dia juga ikut pandangan Ulum memandang dua mahasiswi itu. Dia seperti tergiring pada masa lalunya. Masa lalu yang sebagian ialah kegetiran. Tapi sebagian kini berubah jadi kebahagiaan.
Ketika dua mahasiswi itu masuk ruang wudhu, Dia mengajak Ulum pergi. Ke warung pecel di Selokan Mataram. Ulum tak banyak tanya mengapa Dia hanya sebentar singgah di Masjid Kentungan. Bahkan terbang jauh-jauh dari Australia hanya untuk singgah sebentar. Berdiri memandang kubah, duduk merokok sebatang dan mengenang kembali beberapa bagian sejarah hidupnya. Apakah setiap orang sukses memang semacam itu? Apakah mereka yang telah mencapai puncak karir menjadi sedemikian sentimental dengan kenangan? Ulum hanya tersenyum kecil. Tak sanggup memikirkan hal-hal yang jadi pertimbangan orang seperti Dia yang pilih menghabiskan banyak uang untuk membeli tiket pesawat, sewa mobil, mentraktir jajan teman lama, dan banyak oleh-oleh untuk dibawa pulang ke Australia.
2023
Muhammad Thobroni. Lahir di Jombang 25 Agustus 1978. Ketika lulus Magister, dia menjadi dosen di STKIP PGRI Pacitan, Jawa Timur. Menjadi dosen linguistik dan sastra. Dia juga mengajar kuliah dasar-dasar pendidikan. Dari Pacitan, dia berpindah ke Kalimantan menjadi dosen di Universitas Borneo Tarakan. Sebuah perguruan tinggi negeri di perbatasan Indonesia-Malaysia. Dia mengajar kebudayaan Indonesia, dasar-dasar pendidikan, linguistik dan juga sastra. Di Kalimantan, dia mengenalkan budaya literasi kepada anak-anak di daerah terluar, terdepan dan tertinggal (3T). Sebagian mereka anak-anak nelayan dan tenaga kerja asing di luar negeri atau buruh migran.
Mantappp…
Cerpen dengan tema sederhana dan gaya yang tetap memukau. Cukup detil bila menjelaskan suatu keadaan. Ah renyah lah. !