
Bincang Puisi, 10 Desember 2022 yang diadakan oleh Yayasan Hari Puisi bekerjasama dengan PDS HB Jassin dan Yayasan Obor Indonesia menghadirkan maha karya dunia, Puisi Lusiadi karya Lois de Camoes, seorang sastrawan besar dari Portugal. Acara tersebut juga dihadiri oleh para penyair di wilayah Jabodetabek, dan beberapa wilayah lainnya di Indonesia melalui zoom meeting.
Emanuel B. Joaquim, wakil Duta Besar dan Konsul Portugal untuk Indonesia membuka acara dengan memberikan informasi bahwa puisi-puisi Lois de Camoes memiliki nilai sejarah yang sangat penting untuk bangsa Portugis. Lois de Camoes juga pernah ditahan dan diasingkan di wilayah Ternate, dan hari lahir Lois de Camoes dijadikan hari Nasional Portugal.
Beberapa bait-bait puisi dalam bukunya dibacakan oleh para penyair yang hadir di antaranya Nana Sastrawan, Lily Siti Multatuliana, Herman Syahara, Yahya Andi Saputra menjadikan suasana semakin membara, membakar peserta yang hadir dari berbagai kalangan; mahasiswa, guru, dosen, seniman, budayawan dan lainnya.
Nana Sastrawan, yang juga ikut terlibat dalam penyelia Bahasa Indonesia ketika telah diterjemahkan dari bahasa Portugis membacakan puisi di bab IV, bait-bait puisi di bab ini menjelaskan tentang Vasco da Gama melanjutkan sejarah Portugal kepada Raja Malindi dengan menceritakan tentang dinasti kedua kerajaan, yaitu raja Joao I sampai D. Manuel.
“Karya besar yang terdiri dari 559 halaman, sepuluh kidung (puisi), 1102 bait dan 8816 larik, oktaf dekasilab dengan rima tetap AB AB AB CC dalam buku ini,” ucap Danny Susanto selaku penerjemah buku Puisi Lusiadi. Tidak hanya itu, Danny pun mengatakan bahwa puisi-puisi dalam buku ini berbentuk naratif yang bertutur tentang kemenangan para penakluk (bangsa Barat), perang dan para pahlawan besar yang membuka wilayah-wilayah yang belum tersentuh. Tetapi, Camoes juga membahas tema cinta duniawi, nafsu, pujian pada raja dan keimanan.
“Puisi yang membuat sejarah, dan memperluas perspektif sejarah. Jika dilihat dari gelombang kedatangan bangsa Eropa, Lois ini kemungkinan datang pada gelombang pertama. Dalam buku ini, membuktikan bahwa penyair dapat memasukan ideologi, fakta-fakta sejarah dan nasionalisme. Puisi pertama ini memang ditulis di Indonesia, di Ternate. Tidak hanya itu, buku ini mengangkat sejarah pelayaran Eropa ke Nusantara, satu di antaranya bangsa Portugis selain Spanyol dan Belanda,” ucap Maman S Mahayana.
Para penyair yang ikut terlibat dalam proses penyelia bahasa Indonesia, di antaranya Syaifudin Gani (Kendari), Tri Astoto Kodarie (Pare-Pare), Umi Kulsum (Yogyakarta), Fakhrunas MA Jabbar (Pekabaru), Nizar (Tasikmalaya), Sosiawan Leak (Solo) memberikan testimoninya tentang puisi Lusiadi melalui virtual.
“Puisi Lusiadi seperti serat Centini di Jawa, jika Lusiadi memaparkan perjalanan laut, Centini menjelaskan perjalanan darat. Meskipun abadnya berbeda, tapi narasi-narasi pada puisi-puisinya adalah mencatat sejarah perjalanan yang lengkap,” ucap Sosiawan Leak.
Buku puisi Lusiadi sudah berusia 450, dibukukan pertama kali tahun 1572. Dan diluncurkan kembali Maret 2022 di Ternate, seolah menjadi simbol akan kelahiran kembali Lois de Camoes ketika pertama kali menulis puisinya. (red. 10/12/22)