Setiap penulis memiliki proses kreatifnya sendiri ketika menulis sebuah naskah. Bisa saja, dimulai dengan munculnya ide. Dengan kata lain, ada semacam pusat tema dalam pikirannya yang mendasari lahirnya sebuah karya atau naskah. Kemudian, tema itu diurai menjadi bahan-bahan untuk menulis, bisa menjadi puisi, cerpen, novel, naskah drama atau skenario film. Ada pula penulis yang terdorong menulis karena melihat keadaan sekitar, peristiwa-peristiwa yang berseliweran melintas di hadapannya. Bisa juga penulis menulis dari gejolak batinnya. Kegelisahan-kegelisahan yang berkecamuk dalam hati mereka, berupa; kerinduan, patah hati, cinta atau kegagalan-kegagalan. Selamat membaca! (redaksi).
Keringat Petani
Nasi putih terlihat menggoda di atas meja. Sayur Asem dan sambal terasi beraroma kuat sangat terasa. Namun, mulut tercekat sulit sekali rasanya untuk berkata-kata. Melihat tubuh bapak mengucur keringat sepulang dari sawah. Sedang, makanan dan alat-alat makan terpaku melihatku, seperti mengajak untuk segera makan dahulu. Namun, tak terasa air mata berlinang begitu saja. Bapak terlihat lelah dengan sorot mata keriput dan gelisah. Keringat yang mengalir dari tubuh bapak adalah harum nasi yang dimasak para ibu. Lantas, masih kau pandang petani sebelah mata?. Tidakkah kau ingin berbaik hati, membiarkan mimpi-mimpi ditanam untuk kehidupannya. Tanah ini milik bersama. Belum cukup menodai bumi, menghanyutkan batang-batang padi, dan membakar habis mimpi. Lihatlah, keringat petani adalah benih mulia. Tubuh yang dibakar matahari itu menopang mimpi-mimpi untuk tetap hidup esok hari.
Palembang, 2020
Merengkuh Impian
Dalam pikiran, berderet beribu angan
Yang terpendam dan ingin terwujudkan
Berpacu merengkuh satu dalam genderang
Tuk hidup esok kian benderang
Yang diharapkan pada malam sunyi,
Melangitkan doa pada Tuhan
Menggantungkan harap di langit mimpi
Dan dibiarkannya menetap dalam ingatan
Oh manusia, buatlah maju harapan
Mengubur kebodohan, melahirkan pengetahuan
Dalam merengkuh impian, jalan gelap dan sunyi pasti menanti
Aral rintang di depan harus siap ditentang
Dengan berbagai usaha yang mesti getir,
Mengasah untuk terus berfikir
Dalam perjalanan, teringat pesan bunda,
Untuk tetap tegar melawan badai,
Dan ikuti suara hati yang mengiringi
Dalam perjalanan merengkuh mimpi.
Dan aku sendiri tidak peduli seberapa banyak uang yang harus dicari
Aku ingin meraih mimpi selama umurku masih panjang lagi
Palembang, 2020
Perahu Kertas
Di musim penghujan, kau kerap kali ke rumahku untuk sekedar berteduh dan menghangatkan tubuh. Di saat itu kau mencoba menghiburku dengan sebuah kertas. Kau buat unik hingga membentuk menjelma perahu. Meski deras dan petir menerjang, kau berkata dengan irama indah memenuhi ruang. Katamu, kita akan berlayar, mengarungi samudera dengan cinta meski ombak akan menerjang kita. Kita ciptakan musim indah bersemi di samudera tak bertepi. Menikmati indah pagi dengan sebuah perahu kertas yang menjadikannya mimpi.
Palembang, 2020
Ni’am Khurotul Asna. Penikmat puisi, secangkir kopi, dan sepi. Sedang menempuh pendidikan di Prodi Pendidikan Bahasa Arab, Institut Agama Islam Negeri Tulungagung. Beberapa puisinya pernah dimuat dalam antologi Montase Kenangan, Buku Suluk Santri, dan Senandung Paceklik Murka Tuhan.