Lentera Ayu

Hilmah

Kemana dia harus bertanya ketika tanda tanya besar menyelimuti setiap sudut saraf- sarafnya. Dia bukan siapa-siapa, hanya seorang manusia. Kala malam ia menjerit merintih,

“Jangan Kau tinggalkan aku. Aku tidak sanggup menghadapi ini sendirian. Jangan tinggalkan aku! Aku mohon! Aku mohon! Aku tidak punya kekuatan. Jangan tinggalkan aku! Walau terkadang aku sering lupa. Tolong jangan tinggalkan aku dalam menghadapi ini dan menghadapi hidup ini. Aku tidak tahu apa ini? Benar-benar membuatku bukan diriku. Aku mohon… jangan tinggalkan aku!”

Semua hening, ketika kristal bening mengalir dari sudut mata yang lentik. Ia terjaga. Alisnya yang tertata rapi seperti bulan sabit dan tangan yang lentik menutupi sebagian wajahnya, menengadah. Langit diam, hanya semilir angin yang berhembus meniupkan keagungan Sang Matta diringi suara nyanyian ayam yang membangunkan. Sajadah itu terhampar. Perempuan itu beranjak dari tempatnya.

“Hem… aku harus kuat! Besok adalah hari pertama aku pulang sendiri ke tempat

baruku. Mudah-mudahan saja tidak tersesat.”

Begitu tenang seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal setiap malam ia merintih dan mencari yang selama ini mengusik batinnya. Hati terus bertanya dan bertanya. Hanya diam dan sunyi malam yang ia dapatkan. Waktu masih terlalu dini untuk beranjak pergi. Fajar pun belum menyingsing menyambut matahari. Badannya lelah dan pikirannya gelisah. Waktu subuh masihlah lama.

Direbahkan tubuhnya yang mungil ke tempat tidur yang tidak terlalu kecil. Kelelahan di siang hari membuat mata perlahan-lahan terkatup. Ya, ia terlelap. Terlelap jauh ke alam mimpi yang banyak membuat orang percaya diri namun tak ayal banyak orang yang merenung sendiri.

Masih dalam keadaan yang sama, degup jantung berdebar kala melihatnya walau hanya dari jauh. Pandanga tertuju pada satu sosok yang sama sekali tak menyadari kehadirannya. Yang tak pernah menoleh sedikit pun padanya. Dalam hatinya berkata: Siapa kamu, Ayu? Mimpi!

la berlalu meninggalkan sosok itu. Namun bayangannya tak pernah beranjak dari otaknya. Ia terus berada 5 cm dari keningnya. Ia pun tak tahu harus kemana lagi melangkah dan bertanya, “Apa ini?”. Ia bingung. Ia tidak tahu dimana sekarang berada. Yang ia lihat sekarang hanya padang pasir yang terhampar luas dan teriknya matahari yang menyengat. Namun anehnya ia merasakan kesejukan di tengah panasnya yang membakar.

Rambutnya tergerai ditutupi kerudung yang tersampaikan menyilang di bahu yang datar. Sesekali hembusan angin membuat mahkotanya melambai-lambai. Tinggi tubuhnya yang semampai berbalutkan gaun putih yang tertiup angin menyibakkan putihnya pasir yang terhampar. Ia terus berjalan sambil membawa sebuah benda yang bercahaya ditangan, yang entah dari mana datangnya. Wajah yang senantiasa bersinar tidak mengurangi kepribadian yang sederhana di tengah gurun pasir begitu terik. Ya, dialah Lentera Ayu.

Sosok yang ditinggalkan terus menjauh pergi namun begitu jelas baginya. Seolah-olah tanpa batas ia melihat. Apa gerangan, ia pun tidak mengerti. Otaknya terus berpikir. Apa yang sebenamya telah terjadi dan benda apa di tangannya ini. Namun tetap dalam keadaan yang sama, hanya diam dan sepi yang ada. Hingga langkahnya terhenti di sebuah bangunan berasitekturkan India. Kubahnya yang indah membuat decak kagum. Ayu melihat ada seseorang yang duduk bersimpuh seperti orang yang sedang salat. Lalu ia bertanya pada orang itu berharap tanda tanyanya mendapat sebuah jawaban.

“Apa gerangan yang berada di tanganku ini? Kenapa sosok itu begitu jelas?”

Orang itu tersenyum. Bajunya yang seperti gaun perempuan dan topi yang khas dikenakannya menandakan bahwa ia bukanlah orang sebangsanya.

“Lentera! Hatimu! Di dalamnya adalah pelita,” jawabnya singkat.

Ayu masih penasaran. Dengan sopan ia bertanya kembali.

“Pelita apakah gerangan, Tuan?”

“Lewat dialah semua yang pahit menjadi manis. Lewat dialah yang tembaga menjadi emas. Lewat dialah semua yang endapan akan menjadi mumi. Lewat dialah kesedihan akan jadi obat. Lewat dialah si mati akan jadi hidup. Dan lewat dialah raja jadi budak,” paparnya dengan penuh ekspresi.

Ayu memperhatikannya dengan seksama. Hatinya derdesir. Kemudian ia tertunduk. Pertanyaan pun keluar kembali dari mu1utnya.

“Apa gerangan, Tuan? Siapakah Anda?”

Secepat kilat orang itu menghilang. Entah kemana. Ia buang pandangan ke segala arah, mencoba mencari sosok tadi yang bersamanya. Tapi yang didapatkan hanya hamparan gurun pasir dan waktu yang beranjak menyambut senja. Tenggorokan kering. Rasa haus tak bisa ditahannya. Ayu melanjutkan langkah kaki mencari oase yang berharap dapat memulihkan kesegaran.

Dari jauh terlihat pantulan air. Senang sekali hatinya dapat menemukan sumber kehidupan di tengah terik padang pasir. Diteguk air oase itu dengan perlahan. Tidak jauh dari tempatnya terlihat seorang perempuan berjilbab sedang memandang lepas ke ujung oase. Jilbabnya yang panjang tersapu oleh angin, melambai-lambai. Rasa penasarannya akan lentera ini membuatnya ingin bertanya padanya.

“Siapakah gerangan, Wahai Humaerah?” sapa Ayu melihat air muka perempuan tersebut yang kemerah-merahan.

 “Aku adalah Husna, terlahir dari tangan dingin Kang Abik. Engkau pasti akan bertanya apakah lentera itu?” jawabnya dengan tersenyum.

Ayu tercengang. Siapa yang tidak tahu Kang Abik, salah satu sastrawan yang karyanya begitu membooming dan filmnya ditunggu-tunggu. Dan yang lebih membuatnya terheran-heran adalah kenapa perempuan itu bisa tahu bahwa ia akan bertanya. Ayu menganggukan kepala tanda ia setuju apa yang dikatakan perempuan yang mengaku bemama Husna.

“Dia adalah hatimu. Aku sependapat dengan orang yang kau temui tadi. Dialah yang mengubah duri jadi mawar, mengubah cuka jadi anggur, mengubah malang jadi untung, mengubah sedih jadi riang, mengubah setan jadi nabi, mengubah iblis jadi malaikat, mengubah kikir jadi dermawan, mengubah kandang jadi taman, mengubah penjara jadi istana, mengubah amarah jadi ramah, dan mengubah musibah jadi muhibah,” sambil menunjuk pelita yang berada di dalam lentera yang ia pegang, Husna memaparkannya panjang lebar.

Ayu menanyakan padanya siapakah orang yang barusan ditemui. Husna menjawab bahwa beliau adalah Rumi. Ia pun menanyakan bahwa sebenamya apa yang dimaksud mereka berdua. Perempuan itu menjawab. Namun suaranya terdengan samar. Hanya gerakan mulutnya yang jelas terlihat oleh Ayu mengucapkan sebuah kata yang sangat mencengangkan dan merupakan jawaban baginya yang selama ini ia cari. Lalu, samar terdengar suara azan. Ia terbangun

“Kau adalah sahabatku, Ayu! Benarkan, kau punya sesuatu terhadapnya?” Tanti rupanya mengetahui apa yang terjadi.

Ayu hanya mengangguk. Baru kali ini ia mengiyakan pertanyaan sahabatnya itu. Tanti juga memberi tahu bahwa sosok yang selama ini ada dalam benaknya akan kembali walau hanya sebentar. Tapi Ayu harus pergi ke tempat barunya, karena itu adalah tugas yang tidak bisa ditinggalkan. Mungkin Tanti hanya tahu bahwa dirinya sekarang sedang merasakan sesuatu.

Padahal rasa itu sudah sejak lama sekali ada dalam hati sanubarinya. Ya, sejak pertama bertemu dengan sosok itu Ayu merasakan keanehan yang lain di dada. Ia simpan rapi dalam hati. Hanya satu keyakinannya jika memang suatu saat Tuhan akan menjadikannya. Ia hanya berusaha menjaganya dan setia.

“Dia sudah bersama yang lain, Mbak! Entah, dia sudah tahu atau belum tentang aku. Karena aku tidak pernah bicara. Aku pamit berangkat, Mbak!” Tanti tercengang mendengar itu.

Deru mobil mengantar kepergian Ayu. Hatinya luluh-lantah tapi baginya inilah bumbu kehidupan. Pahit, manis, asem dan kecut sekali pun kita harus menelannya agar kita merasakannya. Seolah biasa namun luar biasa. Padat penumpang membuat udara begitu panas. Telepon genggamnya berbunyi. Tertulis satu nama yang tak asing bagi pemilik rambut ikal itu. Hati berdegup kencang. Tapi ia bisa kuasai. Dengan begitu tenang, ia menjawab panggilan tersebut. Lama mereka bicara hingga satu pertanyaan yang membuatnya diam terpaku seribu bahasa.

“Siapa orang itu, Ayu? Orang yang selama itu kau simpan perasaannya di hatimu?”

Ayu terdiam. Ia berusaha mengumpulkan kekuatan untuk dapat menjawab satu nama tersebut. Satu nama yang selama ini menyita seluruh waktunya.

“Maafkan aku jika ini sebuah dosa dan berdoalah untukku agar aku senantiasa bersabar dan bersyukur. Orang itu tidaklah jauh dariku. Yang jelas kenyataanya ia sudah bersama orang lain. Dia adalah. yang sekarang bicara denganku.”

Di sana hanya terdengan satu kata:

“Mengapa?”

“Bukan aku yang menghadirkan rasa ini dan bukan aku pula yang akan menghilangkannya. Dan selama itu juga aku mencari jawabannya. Apa ini? Namun ketika tahu… aku hanya manusia biasa. Jangan seperti itu sobat bila engkau seperti aku, tentu engkau akan tahu. Ketika Dia memanggilmu, engkau pun akan memanggil-Nya!” jawabnya seperti ketika Rumi menjawab pertanyaan sorang laki-laki yang menanyakan bagaimana keadaan sang pecinta.

Ayu hanya bisa menghela napas. Dalam batin berkata ia kan membawa lentera itu sampai Sang Matta mempunyainya, mengambilnya kembali dan mungkin akan menggantikan dengan memberi lentera yang lain. Karena ia hanya bisa menjaga dan berusaha setia walau pada kenyataannya kesetiaannya hanya untuknya.

Blender, 11 mei 2008

Cerita Cinta

Hilmah. Pendidikan S1 tadris matematika IAIN Syekh Nurjati dan pernah aktif di lembaga Pers Mahasiswa FATSOEN, makanan kesukaan siomay dan coklat, karya tulis yg pernah dimuat di koran lokal cerpen, aktivitas saat ini mengabdi di bidang pendidikan sebagai guru di SMP Satu Atap dan Karangwareng, SMPN 2 Greged.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *