Gerakan Masyarakat Menolak Rancangan Undang-Undang
Demontrasi menjadi salah pilihan masyarakat untuk mengemukakan pendapat, menyampaikan inspirasi, dan melakukan kritisi (check and balance) untuk pemerintah atau penguasa. Di negara yang menganut demokrasi seperti Indonesia, demontrasi menjadi pilihan yang lumprah dalam menyampaikan uneg-uneg berbagai kalangan baik para mahasiswa, buruh, dan lainnya.
Beberapa bulan terakhir, seluruh mata dunia menyoroti beberapa aksi demontrasi yang terjadi baik di Indonesia maupun Hongkong. Maraknya aksi demontrasi di Indonesia yang dimulai sejak tanggal 23 hingga 30 September 2019 dengan adanya aksi turun ke jalan sejumlah pelajar dan mahasiswa di depan Gedung DPR Jakarta dan meluas di beberapa wilayah seperti Semarang, Palembang, Makassar, Solo, Medan dan sejumlah kota lainnya. Aksi unjuk rasa yang dilatar belakangi oleh protes penolakan Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Revisi Undang-Undang KUHP (RUU KUHP), dan kebijakan kontrovesial lainnya bergerak meluas.
[iklan]
Sedangkan di Hongkong, yang telah lebih dulu terjadi aksi demontrasi besar-besaran oleh jutaan masyarakat, pertama kali dimulai tanggal 9 Juni 2019 dan berlanjut hingga beberapa bulan berikutnya. Aksi demo yang terjadi di Hongkong menyuarakan penolakan tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) ekstradisi. Dalam konteks aksi demontrasi di dua negara ini, semuanya terkait dengan Rancangan Undang-Undang dan berujung bentrok antara para demonstran dengan aparat kepolisian.
Sejak 23 September hingga puncaknya tanggal 30 September 2019, ribuan mahasiswa turun ke jalan. Demo di Indonesia berawal dari keputuhan pemerintah dan DPR yang akan meloloskan beberapa poin dalam draf RUU KPK yang dikhawatirkan akan membuat KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif. Para pengunjuk rasa juga menolak pembentukan Dewan Pengawas KPK dan menolak birokrasi pelaksanaan fungsi penyadapan. Isu kedua yang tak kalah panasnya yakni RKUHP, yang menjadi kekhawatiran masyarakat karena sejumlah pasal di antaranya tentang penghinaan terhadap presiden/wakil presiden, dan penghinaan terhadap lembaga negara dan pemerintahan. Penolakan terhadap RUU lainnya pun bergulir; di antaranya RUU Lingkungan; RUU Ketenagakerjaan; RUU dan Pertahanan, RUU PKS. Massa dengan kompak menyuarakan untuk pembatalan segenap RUU tersebut dengan dalih RUU tersebut telah menciderai demokrasi.
Terkait dengan demonstrasi yang terjadi di Hongkong, isu utamanya yakni RUU ekstradisi. RUU ekstradisi tersebut dipandang oleh Masyarakat Hongkong sebagai sebuah masalah besar, karena jika RUU ini disahkan akan memberikan kuasa kepada Hongkong untuk menahan orang yang sedang berada di sana (warga negara ataupun bukan) untuk kemudian dikirim dan diadili di Tiongkok (China). Hal ini dipandang sebagai masalah besar oleh masyarakat Hongkong, karena kebebasan yang selama ini menjadi pembeda antara Tiongkok dan Hongkong akan musnah, meskipun Hongkong adalah bagian dari Tiongkok, tetapi masyarakat Hongkong menikmati kebebasan khusus.
Aksi demo yang terjadi di Indonesia dan Hongkong memiliki beberapa persamaan seperti dipicu oleh penolakan pengesahan revisi undang-undang. Kemudian, rangkaian demontrasi di dua negara Asia ini melibatkan para pelajar dan mahasiswa. Persamaan lainnya baik di Hongkong dan sejumlah kota di Indonesia dalam demo ini sama-sama berujung pada terjadinya bentrokan antara pendemo dan aparat keamanan.
Dalam pola aksinya, terdapat beberapa hal yang membedakan antara aksi protes Indonesia dan Hongkong. Masyarakat Hongkong mengunakan simbol pakaian serba hitam dan mengenakan payung. Aksi demonstrasi tersebut menyebabkan lumpuhnya sejumlah moda transportasi di antaranya MTR dan penundaan penerbangan yang berangkat dari Hongkong. Berbeda dengan demonstran Indonesia, pelajar dan mahasiswa tampil dengan berbagai almamater, bendera organisasi dan komunitas. Kemudian, aksi protes ini hanya berlangsung di depan kantor pemerintahan dan jalanan sekitarnya di beberapa wilayah di Indonesia.
Aksi unjuk rasa dari dua negara di Asia ini, merujuk pada teori gerakan sosial menurut politic science Jacquelien van Stekelenburg dan Bert Klandermans dalam buku “Social Movements: An introduction” editor D. della Porta and M. Diani, merupakan gerakan sosial yang saling berhubungan dengan jaringan kelompok, jaringan sosial, individu, dan hubungan di antara mereka dengan identitas kolektif bersama yang mencoba mencegah atau mempromosikan perubahan sosial oleh taktik yang tidak dilembagakan.
Hongkong merupakan daerah yang berbeda dari kota-kota China lainnya. Sebagai negara warisa koloni Inggris, Hongkong memiliki hak-hak termasuk kebebasan berkumpul dan kebebasan berbicara yang dilindungi, kecuali dalam urusan luar negeri dan pertahanan. Namun, dengan pembentukan RUU Ekstradisi yang kontroversial ini memungkinkan seorang atau pelanggar hukum untuk diekstradisi dan melewati proses peradilan dengan sistem hukum Tiongkok. Hal inilah yang membuat masyarakat Hongkong melakukan gerakan penolakkan terhadap perubahan sosial yang belum dilembagakan.
Sejauh ini, peran negara dalam aksi demo ini memerlihatkan kenyataan bahwa di negara Hongkong menemukan titik terang dengan menghasilkan keputusan pemerintah mengenai tuntukan yang disampaikan sesuai dengan harapan masyarakat Hongkong yaitu pembatalan RUU ekstradisi. Berbeda dengan di Indonesia, hingga berakhirnya aksi unjuk rasa pada tanggal 30 September 2019 kemarin, pemerintah tetap melakukan pengesahan terhadap RUU KPK. Sementara RUU lainnya masih dalam keadaan penundaan pengesahan. Dalam konteks inilah dapat ditarik benang merah bahwa aksi demontrasi menjadi salah satu bagian penting dalam menahan lajunya rancangan undang-undang. Sementara hasil akhirnya, tergantung pada keputusan pembuat, perancang, dan pengesah undang-undang.
__________
Dinda Mutia Khaerun Nisa
Mahasiswa Magister Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Indonesia.