
Aku Tidak Pernah Melihat Rembulan
Topan Bagaskara
“Katanya sinar rembulan itu berwarna keemasan, itu pun jika sudah berbentuk bundar penuh. Katanya rembulan itu muncul ketika cakrawala berubah menjadi hitam dengan dihiasi oleh ribuan bintang-bintang. Katanya rembulan itu tidak pernah bersua dengan matahari, hmm! Aku pun mengiyakanya…”
Aku, yang suka dengan kesunyian beralasan untuk bergabung dengan dirinya yang lebih suka dengan keramaian. Keasikanku ketika sedang sendiri, menikmati coklat panas sambil mendengarkan musik klasik era 80an. Aku yang mengingat dirinya sebagai seorang pangeran tanpa mahkota dan tidak punya kuda. Aku yang begitu kagum atas kesahajaanya. Aku yang mudah mengingat dirinya tapi aku yang tidak mudah melupakannya, sungguh istimewa.
Namaku Nuan, Nuantika Sandy. Aku seorang wanita yang tidak terlalu cantik namun aku berani tanding dengan gayaku berpakaian. Menurutku wanita terlihat menarik bukan dilihat dari seberapa elok parasnya, namun seberapa kamu dapat membuat suatu kreasi dalam berpenampilan dan bersikap.
[iklan]
Saat ini aku sedang duduk santai, menyilangkan kedua kaki sambil menatap sebuah album foto di masa Kuliah. Seketika teringat disaat melihat foto dirinya. Dirinya yang pernah bermain-main dipekarangan hingga singgasana hatiku. Dirinya yang pernah memberikanku sebuah puisi yang tidak begitu bagus namun menarik dari cara dia menyampaikan. Dirinya yang tak pernah telat dalam mengucapkan “jangan lupa senyum”. Dirinya yang selalu menawarkan kopi setiap bertemu di warung belakang, sambil bercerita tentang apa pun yang sebetulnya aku pun tidak begitu mengerti, tapi terkadang berbicara hal masa depan. Dirinya yang hanya dengan tatapan saja dapat membuatku terbuai bukan kepalang.
Aku teringat akan puisi yang pernah diberikan oleh dirinya. Sebuah puisi pertama yang pernah kuterima di sepanjang hidup. Di mana pada suatu malam tanpa hiasan bintang-bintang namun diiringi dengan derasnya hujan, aku sibuk menyiapkan coklat panas yang biasa kuminum sebelum aku bergegas tidur. Di tengah derasnya suara riuh hujan, terdengar suara khas dari pintu rumah.
“Assalamualaikum…” Suara pintu diketuk. Ini pukul 07.00.
“Waalaikumsalam, siapa…?” Ibu yang dekat dengan suara pintu segera melayani tamu yang tidak kutahu itu.
Aku tidak begitu menghiraukan siapa tamu yang datang disaat hujan deras seperti ini, aku lebih baik menikmati coklat panas yang baru saja aku seduh sambil ditemani cemilan yang selalu ibu buat untuk stok agar aku tidak sering jajan sembarangan.
“Nuan. Kesini nak, ada teman kampusmu!” terdengar Ibu memanggil dari ruang tamu.
Bertanya-tanya siapakah gerangan yang tanpa janji berani menjajaki kediamanku.
“Siapa Bu?” aku bertanya disaat berpapasan dengan ibu, tapi ibu hanya tersenyum sambil memegang kepalaku.
“Hai…kok masih berpakaian santai?” aku kaget bukan main ternyata yang datang adalah dia. Dia yang telah mengenakan baju panel dan celana levis begitu rapihnya.
“Ha! kamu? Memangnya kita punya janji ya?” tanyaku padanya.
“Sama kamu tidak ada, tapi aku sudah janji dengan Ibumu,” jawab dengan ciri khasnya yang begitu tenang.
“Ha? Baru saja bertemu, masa sudah janji sama Ibu mau kemari begitu?”
“Hahaha aku berjanji bukan itu, aku berjanji kepada Ibu kamu untuk mengantarkan kamu pulang tepat jam 9 malam nanti, hayo cepat ganti bajumu.”
“Ha? memang mau kemana?” tanyaku kesal.
“Ke acara pentas seni, banyak karya-karya sastra yang bisa dilihat.”
“Tapi aku tidak berkenan untuk datang! apalagi tidak ada janji”
“Hmm, ya sudah kalau tidak berkenan, aku main saja di sini di rumahmu. Silahkan duduk Nuan…,” sambil menempatkan posisi duduk santai.
Sumpah! Dia membuatku kesal sungguh kesal. Baru kali itu aku didatangi oleh sesosok lelaki yang senekat dirinya. Kamu bayangin saja, datang kerumah saat hujan deras, tanpa janjian, dan parahnya lagi sudah berani-berani membuat janji dengan Ibuku yang jelas-jelas baru saja berjumpa. Hadeeh.
“Baiklah, daripada kamu berlama-lama di rumahku, aku bersedia ke acara itu, meskipun aku tidak pernah ke acara seperti itu. Tapi… Sebelum jam sembilan aku harus sudah di rumah!” Berkatanya aku padanya sambil menolak pinggang dan pergiku ke kamar untuk berganti pakaian. Dan dia hanya memberikan isyarat dengan tanganya yang menjelaskan: OK.
Setelah diriku sudah siap dan hujan pun sudah terlihat tidak turun lagi. Aku bersama dengannya menuju acara pentas seni itu, menaiki motor dengan suasana jalan baru saja selesai diguyur hujan. Hawa yang masih terasa sejuk dan nyaman indah jika dirasa. Aku merasakan kenyamanan dengan menghirup wangi bumi sehabis hujan. Aku hampir lupa bahwa aku sedang dibonceng olehnya. Aku sedikit merasa gugup, sungguh.
“Nuan, kamu rikuh bersamaku?” tanya dirinya dengan perkataan yang sungguh kaku.
“Ha? Rikuh? Apa itu?”
“Hahaha rikuh itu canggung Nuan.”
“Oh sedikit. kalau kamu?” tanyaku kembali sambil melihat pepohonan yang masih terlihat basah.
“Hmm, aku sih juga sedikit, sedikit dari kamu pastinya.”
“Emang bisa? Eh kita masih jauh?”
“Bisa dong, itu di depan ada persimpangan tinggal ambil kiri.”
“Itu tempatnya?”
“Bukan lah, itu danau masih ke sana lagi. Kamu tidak suka dengan acara ini?”
“Bukan tidak suka lebih tepatnya, hanya aku baru pertama saja.”
“Oh ya sudah, semoga kamu suka. Kamu tidak kedinginan?”
“Iya semoga. Eeee… Sedikit sih. Habis hujan.”
“Ohh… Naaah… akhirnya Nuan…”
“Apa? Sampai?”
“Engga, cuman iseng.”
“Lucu!”
“Hahahaha.”
Selama perjalanan aku dibonceng dirinya timbul berbagai pertanyaan yang terus menggerayang di dalam pikiranku, misalnya, siapa sih dirinya? Dari mana sih datangnya orang ini? tercipta dari apa sih orang ini ya Tuhan? Kok berani-beraninya melakukan hal seperti ini. Inginku jambak rasanya rambutnya ini, ingin ku acak-acak bahkan gunduli jika perlu. Sumpah! Itu semua terus berputar-putar di dalam pikiran ini. Tapi jika aku perhatikan dari penampilan dan cara bicaranya sepertinya anak yang baik, kalau tidak baik kenapa juga aku mau ikut ya, Ibu juga langsung menyetuju lagi.
Hmm! Selang beberapa waktu disaat aku masih menikmati indahnya pepohonan serta dipadukan dengan aromanya yang membuat hati ini terasa nyaman. Suara kayu yang berasal dari penjual bakso yang begitu khas terdengar di telinga seperti menambahkan kesyahduan mendalam. Hujan rintik-rintik masih terus menghiasi malamku dengan dirinya, tidak ada percakapan lagi setelah itu. Aku yang lebih menikmati indahnya malam setelah diguyur hujan dan dirinya yang tetap fokus mengendarai sepeda motornya dengan santai. Kondisi jalan begitu hening, tidak banyak kendaraan yang berlalu-lalang, hingga dirinya seakan-akan menguasai jalanan. Aku bisa menyatakan namun ragu mengungkapkan bahwa ini malam yang begitu indah.
“Nuan, aku lapar. Kamu juga lapar?” dirinya yang tiba-tiba bertanya padaku
“Hmm, tidak begitu.”
“Berarti sedikit lapar bukan?”
“Iya tapi tidak begitu lapar, masih bisa kutahan,” intonasi bahasaku yang kutinggikan.
“Nuan, sesampai di sana pokoknya kita harus makan bersama.”
“Ha? Kenapa?”
“Iya karena aku ingin sesekali makan berhadapan dengan kamu,” jawab dirinya yang seketika aku menjadi kikuk
“Ha? kenapa mau kamu seperti itu?” aku bertanya dengan perlahan
“Yaa. supaya aku punya cerita.”
“Ha? Maksudnya? Aku tidak mengerti.”
“Setidaknya aku punya cerita dalam hidupku jika aku pernah makan bersama dengan kamu.”
“Hahaha sudah punya cerita berapa banyak memangnya?” itu sungguh lucu menurutku.
“Tentu banyak, namun ini berbeda. Aku akan makan bersama dengan rembulan yang sudah aku cari-cari.”
“Ha? aku benar-benar tidak mengerti maksudmu.”
“Hahaha kamu akan mengerti, tunggu sajalah Nuan. Oh iya Nuan?”
“Tidak jelaaas, iya apa?”
“Cuman mau bilang, jangan lupa senyum!” dirinya berkata seperti itu saja sudah membuatku tersenyum.
Aku pun tersenyum.
Setelah aku melewati sebuah tiang listrik, terdengar suara musik menggema. Pikirku langsung saja bahwa itulah tempatnya dan ternyata benar, dia yang langsung saja mengarahkan motornya ke area parkir yang berada sebelum lokasi pentas seni. Terlihat suasana di sana cukup ramai dan ini juga adalah pengalaman pertama hingga menimbulkan kesan asing dengan suasana ini.
Sesampainya di sana, apa yang dikatakan olehnya benar. Banyak para seniman memamerkan hasil karyanya. Mulai dari pintu masuk sudah dihidangkan lukisan-lukisan dan patung yang terbuat dari barang-barang daur ulang. Oh iya! kebanyakan hasil karya disini terbuat dari barang- barang yang bisa didaur ulang kemudian diolah sedemikian rupa menjadi suatu karya yang berkualitas juara. Sungguh kreatif tanpa batas bagiku.
Aku berjalan mengikuti tepat di belakangnya, seakan aku tidak mau tertinggal olehnya aku pegang saja baju bagian bawah tepat di belakangnya. Aku tidak mau sampai tertinggal di tengah keramaian. Aku tidak mau bertanya mau dibawa kemana aku ini, asalkan tidak tertinggal. Aku perhatikan setiap orang yang berpapasan dengannya selalu menyapa lebih dulu padanya. Selayaknya dirinya ini yang dituankan pada acara ini. Aku pun diajak ke sebuah kursi yang seperti sudah dipersiapkan. Posisi kursi tersebut persis di dekat panggung kecil dan ada beberapa alat perkusi yang sudah siap untuk dimainkan. Aku duduk tepat berhadapan denganya.
“Nuan…bagaimana kamu suka?” tanya dirinya sambil memberikan setangkai bunga yang entah didapati dari mana.
“Ha? aku suka sih tapi aku tidak suka terlalu ramai hehe, tapi ini juga baru sampai kok belum tahu nantinya,” jawabku sedikit kikuk dan menerima bunga pemberiannya.
“Oh gitu, ini bunga mawar Nuan. Warnanya merah dan berduri. Cocok untuk kamu yang sedikit agak merepotkan untuk didekati hahaha.”
“Hahaha kamu ngomong apa sih? Kita baru saja kenal jangan begitu”
“Hahaha bukan begitu Nuan, asal kamu tahu aku sudah memperhatikan kamu sejak lama.”
“Masa? Mana buktinya?”
“Hmm mau bukti? Oke, tunggu!”
Setelah itu aku terdiam dan menoleh ke berbagai arah sambil mencoba menikmati suasana yang asing itu. Dirinya pun memanggil seseorang yang berada di seberang panggung.
“Der, ke sini…” Kulihat dirinya memanggil seseorang dengan mengayunkan tangan kanannya.
“Wah…datang juga, Ini siapa?” Kusebut saja dia namanya Deri, berkata dan menunjuk ke arahku.
“Rembulan…” Dirinya menjawab dengan tersenyum.
“Hahaha ini yang kamu bilang rembulan?”
“Iya inilah dia! Bagaimana semua sudah siap? aku langsung naik ya?” Dirinya berdiri seakan hendak meninggalkan kursi yang disinggahi.
Aku yang terlanjur bingung dengan percakapan mereka tentang rembulan, aku lebih diam saja dan senyam-senyum partisipasi.
“Kamu tunggu di sini ya, aku tinggal sebentar,” dirinya berkata padaku.
“Kamu mau kemana?” sudah dibilang aku akan resah jika ditinggal pergi di tengah keramaian. Namun hanya lewat senyuman dirinya membalas. Membuatku menjadi semakin bingung harus bagaimana, yang jelas aku lebih memilih diam dan mencoba tetap tenang.
“Check, check, hallo. Ya pas!. Selamat malam para hadirin. Eee… malam ini aku ingin bercerita, bercerita melalui sebuah puisi tentunya. Ceritaku kali ini adalah tentang bagaimana aku mencari sang rembulan, rembulan di sini dikhususkan untuk seorang gadis yang sedang duduk menyilangkan kedua kakinya dan bernama Nuantika Sandy. Aku ingin memberitahukan kepada kalian bahwa rembulan itu dekat, tidak usah kalian menadahkan wajah kalian dan menengok ke langit. Cukup kalian bertanya saja pada hati kalian, tanyakan siapa yang telah menempati dan menerangkan hati kalian selama ini. Seperti bulan yang rela menyinari pada malam yang gulita. Untukmu Nuan kaulah rembulanku…”
Sumpah! Dirinya berkata yang disaksikan banyak orang, membuat aku serasa malu tingkat tinggi. Semakin aku malu semakin pula wajahku memerah merona.
Aku Tidak Pernah Melihat Rembulan
Pandangan luas terpampang ladang sabana di malam hari Hamparan penuh akan perdu-perdu menempati setiap sisi Aku menegaskan diriku untuk membuat puisi
Angin mendayu-dayu mengetahui isi hati kendati…tidak ada rembulan yang menyinari
Terlontarkan ucapan terencana memikirkan dia Sebagai pembubuh dalam setiap bait untuknya
Aku siapkan puisi termanis di antara ribuan jenis madu dan sebagainya.
Kendati… Rembulan tetap tidak berjumpa
Aku begitu penasaran akan kisah rembulan yang melegenda Mengisyaratkan dengan perumpamaan sesosok wanita Berkelana mencari hakikat dengan berbagai tanda
Aku tidak meyakini apakah ini sebuah tandanya
Seakan telah bertemu sinar yang menyilaukan
Hingga membuat diriku terperangah atas keanggunanmu Dikala bersua dengamu hingga membuat ku terpatri Terasa dag-dig-dug jantung lebih cepat dari biasanya
Menarik kesimpulan, apakah ini yang dinamakan rembulan? Karena aku tidak pernah melihat rembulan.
Dan aku melihatmu.
~ Seorang Insan, April 2018
Hmm! Dirinya yang sampai detik ini belum tergantikan, dirinya tidak mungkin aku lupakan. Sebuah pesan yang terlontarkan sebelum dirinya pergi untuk selamanya: Nuan… tetap terus tersenyum, jangan berhenti untuk menjelma sebagai pelita dalam keadaan gelapku. Terus menjadi terang, terang dan terang karena memang aku adalah malam.
Untukmu Tiran Bayudika aku merindu.