
BAWANG MERAH DAN BAWANG PUTIH
Diceritakan kembali oleh Abah Yoyok
Diceritakan, bahwa pada jaman dahulu kala, di desa Dadapan, hiduplah sebuah keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak perempuan mereka yang bernama Bawang Putih, Walaupun sang ayah hanya seorang pedagang kecil, keluarga tersebut senantiasa hidup bahagia, rukun dan damai. Namun sayang kebahagiaan itu tak berlangsung lama karena sang ibu meninggal dunia karena sakit yang dideritanya, Kepergian sang ibu benar-benar membuat anggota keluarga yang ditinggalkan sangat berduka, terutama sekali Bawang Putih. Sejak ia kehilangan ibu yang begitu sayang kepadanya, ia merasa kesepian dan sering menyendiri di dalam kamar. Untung di desa itu, di dekat rumahnya ada seorang janda bernama mbok Rhondo yang suka berkunjung ke rumahnya, membawakan makanan atau sekedar menemani ngobrol Bawang Putih bersama ayahnya. Bahkan seringkali mbok Rhondo datang untuk membantu Bawang Putih membersihkan rumah dan memasak.
Melihat kebaikan mbok Rhondo terhadap anaknya membuat ayah Bawang Putih tertarik untuk menikahinya agar putrinya tidak kesepian lagi. Namun sebagai ayah yang bijaksana ia tak ingin bertindak sendiri. Ia mohon pendapat putrinya yang hanya semata wayang itu.
“Bawang Putih, anakku. Dalam pandangan ayah, mbok Rhondo itu suka membantu kita dan sepertinya ia sangat baik kepadamu. Barangkali akan lebih baik kalau ia menjadi anggota keluarga kita,” kata sang ayah hati-hati. “Bagaimana pendapatmu, nak?”
[iklan]
Bawang Putih paham maksud ayahnya, dan ia pun merasa kalau kehadiran mbok Rhondo dalam keluarganya akan membuat dirinya tidak lagi kesepian. Apalagi mbok Rhondo juga punya anak perempuan yang sebaya dengan dirinya yang bernama Bawang Merah. Atas dasar dua hal tersebut, Bawang Putih sejutu jika ayahnya menikah lagi dengan mbok Rhondo.
Setelah menikah, mbok Rhondo bersama putrinya, Bawang Merah, tinggal di rumah Bawang Putih. Pada mulanya, mbok Rhondo dan Bawang Merah sangat baik kepada Bawang Putih, terutama ketika ayahnya berada di rumah. Namun, lama kelamaan sifat asli mereka yang buruk mulai kelihatan. Bila sang ayah sedang pergi berdagang, mereka sering memarahi Bawang Putih dan memberinya pekerjaan berat. Bahkan jika melihat Bawang Putih istirahat karena lelah setelah bekerja berat, tak segan-segan mbok Rhondo menamparnya. Setiap hari Bawang Putih hanya boleh makan satu kali saja. Makan kerak nasi dengan garam atau air garam sebagai lauknya.
Sementara itu, karena Bawang Merah adalah anak kandungnya sendiri, mbok Rhondo sangat memanjakannya. Semua pekerjaan rumah dibebankan kepada Bawang Putih. Pada saat Bawang Putih sedang sibuk bekerja, Bawang Merah dan ibunya hanya duduk-duduk santai mengawasai. Sesekali Bawang Merah juga ikut memarahi dan menyuruh-nyuruh. Walaupun diperlakukan secara semena-mena, Bawang Putih yang malang itu tetap tabah menghadapinya dan tak pernah menceritakan keadaannya pada sang ayah.
Suatu hari, ayah Bawang Putih jatuh sakit sampai akhirnya meninggal dunia. Sejak itulah, Bawang Merah dan ibunya semakin berkuasa dan memperlakukan Bawang Putih dengan sewenang-wenang. Setiap hari, dari pagi sampai malam, gadis malang itu terus bekerja, tidak pernah beristirahat. Ia harus bangun sebelum matahari terbit untuk menyiapkan segera keperluan mulai dari menyiapkan air mandi, membuat sarapan, memberi makan ternak, membersihkan rumah, mencuci pakaian di sungai, dan pekerjaan rumah tangga lainnya.
Pada suatu pagi, seperti biasanya, setelah selesai membuat sarapan dan membersihkan rumah, Bawang Putih pergi ke sungai, membawa satu bakul pakaian kotor untuk dicuci. Ketika ia sedang asyik mencuci, tak disadarinya jika salah satu cuciannya hanyut terbawa arus air. Cucian yang hanyut itu ternyata pakaian kesayangan Bawang Merah. “wah, bisa repot ini urusannya,” keluh Bawang Putih ketika ia selesai mencuci dan menyadari kalau ada cuciannya yang hilang, hanyut terbawa arus. Bawang Putih panik. Segera ia menyusuri aliran sungai untuk mencari cuciannya yang hanyut itu. Namun sampai sejauh ia berjalan ke hilir, cuciannya belum juga ia temukan, padahal hari sudah siang. Hatinya cemas. “Aduh, apa jadinya nanti jika cucianku tak ketemu. Bisa mati aku dihajar oleh ibu tiriku dan Bawang Merah,” gumam Bawang Putih.
Karena hari sudah mulai siang, maka dengan hati cemas dan bingung, Bawang Putih memutuskan untuk segera pulang saja, karena ia harus menyiapkan makan siang. Sesampainya di rumah, dengan terbata-bata karena takut, ia menceritakan kejadian yang baru saja dia alami kepada ibu tirinya. Betapa marahnya mbok Rhondo mendengar cerita itu. Segera ia mengambil sebatang kayu bakar dan memukuli Bawang Putih sampai tubuhnya lebam-lebam dan garis-garis warna merah di kaki dan tangannya.
“Dasar, anak bodoh, tolol, ceroboh! Ayo cepat cari baju itu sampai ketemu, dan jangan kembali sebelum kau menemukannya!” hardik ibu tirinya yang kejam itu.
Dengan hati sedih dan badan rasa sakit, Bawang Putih kembali ke sungai untuk mencari baju yang hanyut itu. Di sepanjang perjalanan, air mata gadis itu terus mengalir membasahi pipi. Setiba di sungai, ia pun mencari baju itu mulai dari tempatnya mencuci hingga ke hilir sungai. Sudah cukup jauh ia berjalan, namun belum juga menemukan baju itu. Kakinya sudah lelah melangkah. Walaupun begitu, ia terus berjalan menyusuri sungai sampai akhirnya ia bertemu dengan seorang penggembala yang sedang memandikan kerbaunya.
“Permisi, Paman. Apakah paman melihat ada baju berwarna merah yang hanyut di sungai ini?” tanya Bawang Putih dengan sopan.
“Tidak, Nak. Coba kamu tanya kepada orang yang sedang memancing itu,” balas paman penggembala sambal menunjuk ke arah seseorang yang sedang duduk di bawah pohon pinggir sungai.
Setelah mengucapkan terimakasih, Bawang Putih segera menghampiri orang yang sedang memancing di bawah pohon itu. Sayangnya, orang yang memancing itu juga tidak melihat baju yang sedang dicari Bawang Putih. Bawang Putih segera melanjutkan perjalanannya, dan selalu bertanya kepada setiap orang yang dijumpainya di sepanjang aliran sungai.
Menjelang sore, Bawang Putih terus berjalan dengan langkah sempoyongan menyusuri sungai hingga akhirnya ia berjumpa dengan seorang nenek yang sedang mencuci beras di tepi sungai. Mulanya ia merasa takut untuk mendekati sang nenek yang tubuhnya sangat besar itu. Rupanya dia adalah nenek raksasa yang dikenal orang sebagai Ni Buto Ijo yang tinggal di pinggir hutan. Bawang Putih memberanikan diri untuk bertanya.
“Maaf, Nek. Apa… apakah nenek melihat baju yang hanyut di sungai ini?” tanya Bawang Putih.
“He he he… Apakah baju yang kamu cari itu warnanya merah kembang-kembang?” sang nenek balik bertanya.
“Be… Benar, Nek. Apakah nenek menemukannya?”
“He he he… Iya, nak. Tadi kutemukan tersangkut di batu,”
“E… e… anu, nek. Saya… mmm… mau…”
“He he he… jangan bingung, cah ayu. Karena sekarang hari sudah mulai gelap, sebaiknya kamu menginap di rumah nenek saja, ya. Nanti bajumu nenek kembalikan.”
Bawang Putih tak pikir panjang lagi. Demi baju yang hilang itu, ia menuruti ajakan nenek raksasa. Setiba di rumah nenek, ia diajak untuk bantu nenek memasak.
“He he he… Aku akan mengembalikan bajumu, tapi dengan syarat kamu harus membantuku memasak,” kata Ni Buto Ijo.
“Baik, nek,” jawab Bawang Putih dengan badan gemetar.
Alangkah terkejutnya Bawang Putih karena ketika melihat peralatan memasak Ni Buto Ijo yang mengerikan. Centongnya terbuat dari tulang tangan manusia dan gayungnya juga terbuat dari tulang.
Walaupun agak sedikit ngeri dan ketakutan, Bawang Putih berusaha untuk tenang dan membantu memasak Ni Buto Ijo. Selain itu, ia juga membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek hingga larut malam. Pada keesokan harinya, Bawang Putih mohon pamit kepada Ni Buto Ijo, dan sesuai dengan janjinya, nenek raksasa itu mengembalikan baju Bawang Putih. Selain itu, sang nenek juga memberi hadiah dengan menyuruh Bawang Putih memilih salah satu dari dua buah labu kuning yang ukurannya berbeda. Bawang Putih memilih labu kuning yang kecil saja.
“Terima kasih, Nek,” ucap Bawang Putih.
“Sama-sama, nak. Tapi ingat, ya. Labu itu hanya boleh kamu buka hanya setelah kamu sampai di rumah,” pesan Ni Buto Ijo.
“Iya, Nek,” jawab Bawang Putih, lalu pamit pulang.
Sesampai di rumah, Bawang Putih segera menyerahkan baju yang berhasil ia temukan kepada Bawang Merah. Setelah itu, ia cepat-cepat ia pergi ke dapur untuk memasak sayur labu. Betapa terkejutnya ketika ia membelah buah itu. Ternyata, labu kuning itu berisi perhiasan emas permata. Ibu tirinya dan Bawang Merah yang mengetahui hal itu segera merampas perhiasan tersebut.
“Hai, Bawang Putih. Ayo ceritakan bagaimana caramu bisa mendapatkan perhiasan sebanyak ini!” seru ibu tirinya dengan bernafsu.
Bawang Putih lalu menceritakan dengan sejujurnya apa yang ia alami dalam mencari baju yang hanyut terbawa arus sampai dia berjumpa dengan Ni Buto Ijo. Setelah mendengar cerita Bawang Putih, mbok Rhondo segera memerintahkan putri kesayangannya, Bawang Merah, untuk melakukan hal yang sama.
Singkat cerita, Bawang Merah pun sampai di rumah Ni Buto Ijo. Ketika disuruh memasak, ia tidak bisa melakukannya karena merasa jijik ketika menyentuh peralatan memasak si nenek yang semuanya terbuat dari tulang-tulang. Bawang Merah hanya bisa membantu mengerjakan pekerjaan rumah yang lain, seperti menyapu dan mencuci piring. Itu pun dilakukannya dengan asal-asalan sehingga hasilnya pun tidak bersih. Akan tetapi, Ni Buto Ijo tetap memberi hadiah kepada Bawang Merah.
Bawang Merah disuruh memilih salah satu dari dua labu kuning yang ditawarkan. Karena sifatnya yang serakah, dengan cepat ia memilih labu yang besar. Setelah itu, ia segera pamit pulang dengan penuh harapan bahwa ia dan ibunya akan menjadi kaya raya karena mengira labu yang telah dipilihnya berisi lebih banyak perhiasan.
Sesampainya di rumah, Bawang Merah bersama ibunya segera membelah labuh itu. Astaga, begitu labu itu terbelah, ternyata isinya bukan perhiasan emas permata sebagaimana yang sudah mereka angan-angankan, tetapi binatang-binatang berbisa seperti ular, kalajengking, dan kelabang. Hewan-hewan beracun itu seperti yang memberi komando, segera menyerang ibu dan anak yang serakah itu hingga tewas.