Adik perempuan yang ceriwis itu dari belakang mengelus-elus rambut kakak perempuannya yang hitam dan panjang, seperti memuji. Walau, sebetulnya hanya alasan untuk mengatakan bahwa ia melihat adegan-pacaran kakaknya. Dari mulai duduk, makin mendekat, membelai rambut, sampai mencium …muuuah. Si kakak terkejut, malu, kesel, jengah jadi satu, lantas mengejar si adik. “Kamu ngintip aku, ya, bandel. Awas, tak kelitikin..”
“Kamu sekarang ada di mana, Tari?” Pertanyaan itu yang kembali melintas di benaknya. Sudah sekian lama ia mencari tak kunjung bertemu. Ingin sekali ia seperti dulu, bercengkerama dengan adiknya, saling keramas rambut, bersimburan air, bergantian menyisir, saling membuat kelabang, dan juga saling memberi pita atau menyelipkan kembang di cuping telinga. “Bu, Bu, lihat aku cantik dirias Kakak.” Suara renyah menyenangkan, makin membuncahkan ke-rinduan setiap kali dikenang.
Wita kepingin lebih mengingat adiknya ketimbang mengingat lelaki yang dulu jadi pacarnya, walau hanya 3 bulan jalan bareng. Pada saat yang hampir bersamaan sebenarnya ada lelaki lain yang mengisi relung hatinya, yang setiap minggu mengirimi surat. Bagaimanapun kencan bersintuhan lebih banyak mengendap dari hanya membaca kalimat yang tertulis di surat. Apalagi kalau tertulis di layar kaca, tak teraba. Suasana emosinya terasa berjarak. Ya, apa boleh buat, memang karena…. jarak memisahkan kita. Tapi aku percaya kamu masih merasakan kehadiranku seperti dulu. Boleh kan aku mempercayaimu?
Gombal. Lelaki yang satu itu memang seperti sastrawan. Kalimat-kalimatnya puitis atau prosa liris. Siapapun yang membaca, dan sedang bergelimang cinta boleh dipastikan ikut hanyut. Tapi, percaya? Kata yang satu ini terasa menjebak. Saling mempercayai bukankah abstrak? Karena manusia membawa dirinya sendiri. Tidak mungkin ada dua manusia yang selalu bersamaan di setiap saat. Ketika jalan bareng pun kadang obrolan bisa nggak nyambung. Secara fisik bergandengan tetapi lintasan pikiran masing-masing nglambrang, berkelana, ke mana-mana. Dan itu wajar. Jadi kualitas saling mempercayai itu relatif batas-annya. Boleh jadi bahkan pun Ladan & Laleh juga memiliki ketidak-samaan, padahal manusia kembar.
“Wita, le nyepak-i kertas, uwis ta?. Ibu arep adus sik. Tahu tempe-ne dekek tampah. Cepak-ke sing pener, ben Mbok Mar gampang le ngangkat..”
“Nggih, Bu”
Duduk di depan teve sambil merobek kertas suratkabar, setiap lembar jadi empat, untuk membungkus penganan, menjadi tugas Wita sebelum mandi. Nanti setelah mandi ia membantu Mbok Mar mengangkat tampah & cething, berisi tauge, daun pepaya muda, kangkung, bayem yang semua sudah di-godhok untuk membuat pecel. Angkatan pertama biasanya dibawa jam lima, usai shalat Shubuh. Karena peminatnya banyak, jam setengah delapan sudah mulai menipis sehingga harus dipasok lagi dari rumah, angkatan kedua, yang dibawa Wita itu.
Sejak Ayahnya pergi beberapa tahun lalu, Ibunya berjuang keras mencari sesuap nasi, dan sekitar setahun belakangan berjualan sega pecel, di dekat fakultas Tehnik UGM. Menunya hampir sama dengan SGPC-nya Pak Dalijo, cikal bakal penjual sega pecel di lingkungan universitas tertua di Yogyakarta. Kalau Ibu tak cepat berinisiatif mungkin saja peluang diambil oleh orang lain. Dengan penghasilan dari jualan pecel itu Wita dan adik-adiknya tak hanya mampu mengisi perut sehari-hari, juga bayar sekolah, dan kebutuhan hidup lainnya.
“Pecel keramas siji, Nasi-ne setengah, Mbak” ucap seorang pemudi, yang datang bersama dua temannya. “Ngana apa, Lin, Yan?”
“Sama, deh. Mbak saya minumnya es jeruk, ya,” ujar yang dipanggil Lin.”Kamu apa, Yanthi?”
“Aku pecel banjir ae, Mbak, ra nganggo sego. Ngombe-ne pada karo Linda,”sahut Yanthi. ”Kon sing nraktir ta Sel…”
Wita melayani permintaan tamu-tamunya itu. Langganan yang sedang makan cukup banyak. Lumayan sibuk. Ibunya belum sampai juga. Untung Sriti sudah datang dari pasar dan langsung ikut melayani tamu. Mbok Mar yang menyiapkan minuman.
Tiga perempuan yang dilayani Wita itu aktivis mahasiswa, yang hampir setiap hari sarapan ataupun makan siang di warung. Dari tiga mahasiswi itu Wita paling mengenali yang namanya Yanthi. Acapkali ia melihat Yanthi datang berdua saja dengan teman lelakinya, Baskoro, yang dari obrolan diketahui mahasiswa IAIN, katanya, lagi bikin skripsi.
Setiap kali melihat Baskoro, entah kenapa, Wita merasa ada getaran. Degub jantungnya jadi lebih cepat. Apakah karena kebetulan nama pemuda itu sama dengan nama Ayahnya, yang sering ngobrol akrab dengan Yanthi – yang adalah nama Ibunya.
Kehangatan didekap Ayah hanya dialami Wita sampai kelas 1 SMP. Setahun berikutnya hubungan Ayah dengan Ibunya mulai renggang, dan ketika Wita lulus SMP, berusaha mendaftar kian-kemari sampai bisa masuk SMA, hanya dilakukan bersama Ibunya. Pontang-panting, karena harus memenuhi berbagai persyaratan, terutama uang pangkal, uang bangku, uang seragam, uang buku, uang….
“Ora usah nggege mongso, Nduk,”
Ibu selalu menyapa setiap kali melihat Wita melamun ataupun bertanya penuh harap akan kedatangan ayahnya. Anak perempuan yang menjadi remaja tanpa ayah semakin banyak bertanya, walau disimpan dalam hati, ketika Ibunya menikah lagi, melahirkan seorang adiknya, Tari, dan…kemudian cerai lagi. Tari ikut Ayahnya.
Suatu siang, saat pelanggan yang makan hanya beberapa orang, Baskoro yang datang sendirian sempat ngobrol ngalor-ngidul dengan Wita. Tercatat dalam ingatan: asalnya dari Pati, di Yogya kost di belakang kampus, judul skripsinya “Masalah Perkawinan Muda Usia di Pedesaan, studi khusus di wilayah Bantul…,” membuat Wita terpesona, dan bathinnya bertanya sembari mematut diri di kaca,..,”lulusan SMA apakah belum pantas menikah?”
Wita menolak sendiri pertanyaan itu, Ia tak mau bernasib seperti Ibunya yang menikah muda. Rahim memang sudah siap dibuahi oleh sperma lelaki, bisa hamil, namun kejiwaan belum tentu siap berbagi. Perkawinan itu penyatuan antara dua mahluk, lelaki dan perempuan, yang berlatar belakang berbeda, maka harus saling mengerti, memahami, saling percaya…Ah, pada hal kepercayaan tak mungkin dibangun tanpa ada keterbukaan untuk mau memberi dan menerima antara dua pihak: apa adanya.
Setelah beberapa kali bertemu Wita merasa cocok ngobrol dengan Baskoro. Keinginan jadi mahasiswa yang lindap oleh persoalan keluarga muncul kembali. Antusias ia membaca buku-buku teks ilmu-ilmu sosial yang biasa dibawa Baskoro saat datang ke warung.
Pengalaman hidup menjadikan Yanthi dapat merasakan ada perubahan pada diri anak sulungnya. Suka dandan dan selalu ingin tampil rapih. Ia mafhum, maka tak mungkin dilarang. Sebab bukan Baskoro saja yang naksir Wita. Ada dua-tiga mahasiswa lain yang suka menggoda, berulah over acting untuk menarik perhatian Wita.
Yanthi bungah anaknya jadi kembang warung. Baskoro sengkut, tambah bersemangat, setelah ngobrol dengan Yanthi bahkan kemudian menjadikannya sebagai salah satu narasumber penulisan skripsinya. Meski, muncul gosip. Baskoro edan, masak sekaligus macari Ibu sama anak…
Yanthi, janda beranak 3, usia 34 tahun benarkah masih memiliki energi untuk bersaing dengan anaknya Wita, perawan, usia 20 tahun, memperebutkan cinta Baskoro? Persaingankah namanya jika masing-masing selalu mencoba memberikan perhatian terbaik kepada seorang lelaki? Apakah itu bukan sekedar emosional lantaran membutuhkan perhatian lawan jenis?
Yanthi, mahasiswa, yang pernah dekat dengan Baskoro, tak hanya sekedar mendengar gosip santer itu, tapi juga sempat menyaksikan ramah-tamah Ibu-anak pemilik warung sega pecel terhadap Baskoro, saat ia makan bersama teman-teman perempuannya. Sebagai aktivis, yang sering diskusi mengenai masalah gender, Yanthi merasa prihatin terhadap nasib kaumnya terutama dalam hubungannya dengan kaum lelaki.
“Cemburu, yaa?” Linda menggoda saat memergoki nanap mata Yanthi mahasiswa menatap perilaku Yanthi janda dan anaknya.
“Gak. Cemburu apa-ne. Baskoro durung dadi pacarku, mung konco,”
sahut Yanthi.” Piye cara-ne ben wong wedok ora gampang dadi dolanan wong lanang?!” Tambahnya, ketus.
Khas Yanthi mahasiswa, ia lebih mudah mengekspresi-kan dirinya dengan menggunakan bahasa Ibu walau teman bicaranya dari etnik lain. Seperti Linda yang punya nama fam Siregar atau Selly yang orangtuanya asal Menado. Di Yogya, dulu “kota pendidikan,” yang siswa maupun mahasiswanya datang dari berbagai penjuru Nusantara penggunaan sekian banyak bahasa Ibu saat ngobrol sudah biasa. Ragam, memang, kayak pecel. Unik.
Seorang lelaki, setengah baya, mengenakan kacamata agak gelap dan topi pet di kepalanya, yang duduknya berjarak dua meja dari Yanthi, Linda, Selly, tampak asyik melahap pecel emoh ngganteng (:nasi pecel tanpa taoge) padahal kupingnya menyimak obrolan 3 mahasiswi itu.
“Bas..!” Panggil Selly mendadak.”Gabung kita, dong. Ngana bikin apa di pojokan?”
Awalnya Baskoro sedikit clingukan, tapi kemudian beranjak mendekat.
“Lagi makan siang, nih?” Tanya lelaki mengenakan t-shirt berlambang gajah duduk, kikuk.
“Yanthi kenalkan. Dia pe nama Baskoro. Mahasiswa tingkat akhir lagi bikin skripsi,” goda Selly sambil matanya melirik ke wajah Yanthi. Yang merasa digoda mlengos sambil senyum kecut.
Pada saat yang sama lelaki setengah baya berkacamata agak gelap juga sedang memalingkan wajahnya ke arah meja Yanthi. Tertegun. Gerakan tangannya yang sedang memegang serbet untuk menghapus bumbu pecel menempel di bulu kumis dan jenggotnya yang lebat – sejenak terhenti.
“Yanthi, Baskoro..,” bisiknya pelan. Lantas, dari balik kacamatanya ia memperhatikan Yanthi dan Wita yang sedang melayani tamu. Mendadak airmata menggenang di pelupuk matanya. Segera ia buka kacamata dan mengusap matanya yang basah dengan sapu-tangan. Topi pet-nya tergeletak.
Ah, kejadian sekejap bisa merubah keadaan. Jarinya yang baru saja kena bumbu pecel menyentuh pelupuk matanya.”Aduh!”serunya. Ia geragapan sambil ngucek-ucek matanya. Pedih.
“Hei, kenapa, Pak?” Spontan Selly bertanya.
“Matanya kesenggol sambel, barangkali!” Sambar Linda.
“Sebentar, saya ambilkan air..,” sebat Baskoro beranjak ke arah dapur mengambil mangkok berisi air jernih, lantas setengah berlari ia segera meng asungkannya ke tangan lelaki itu.
Gerakan Baskoro tentu saja agak mengagetkan Yanthi dan Wita maupun beberapa pengunjung yang sedang makan. Sempat terucap tanya,”Ana apa, Bas?” dari bibir Yanthi pemilik warung yang tergopoh mengikuti langkah Baskoro. Setelah dibasahi dengan air jernih dan diseka sapu tangan, rasa perih di mata lelaki itu rupanya bisa hilang.
Yanthi pemilik warung memperhatikan wajah lelaki itu, seksama. Sekalipun berkumis dan berjenggot lebat, ia sama sekali tak pangling. “Mas Baskoro?!”
Lelaki itu menunduk.
********
Pamulang, 17 Agustus 2003 digubah-ulang 26 Juli 2021.
Kamus :
ceriwis : cerewet
bandel : nakal
klitikin : gelitik
kelabang: jalinan rambut
bareng : bersama
tampah: perangkat masak dari anyaman bambu
cething : tempat nasi
godhok : Kukus
pecel : kuliner mirip gado-gado
ngalor-ngidul: utara-selatan
clingukan : jengah, malu
kikuk : kagok
mlengos : buang muka
ngucek-ucek : menggosok-gosok
pangling : lupa, meski seperti pernah melihat
Dialog
“Memberesi kertasnya sudah. Ibu mau mandi dulu. Meletakkan tahu-tempe yang bagus, supaya membawanya mudah.”
“Pecel keramas (nasi pecel diguyur kuah sup) satu”
“Pecel banjir (nasi pecel banyak bumbu kacangnya) saja. Tanpa nasi, minum- nya sama dengan…”
“Kamu yang traktir kan..”
“Jangan terlalu berharap, Nak”
“Belum jadi pacar, Cuma teman. Bagaimana caranya supaya wanita tidak menjadi mainan pria”
“Ada apa, Bas?”