Penyair Nissa Rengganis meluncurkan antologi puisinya yang diberi judul Obituari Puisi, merupakan buku kedua setelah Manuskrip Sepi yang di tahun 2015 yang meraih salah satu dari sepuluh buku puisi pilihan versi YHPI (Yayasan Hari Puisi Indonesia). Acara launching dan diskusi buku Obituari Puisi digelar di Rumah Rengganis, Minggu 5 Januari 2020. Dalam diskusi tersebut, Fathan Mubarak dan Masruri sebagai pemateri, dengan dimoderatori Andri Wikono.

[iklan]

Dalam forum yang dihadiri berbagai komunitas lintas generasi tersebut, Fathan mengurai genealogi puisi dan penyair dalam tradisi juga sejarah filsafat barat. Tidak hanya itu, ia juga berupaya menyandingkan posisi Obituari Puisi dalam diskursus filsafat kontemporer.

“Begitu membaca puisi-puisi Nissa, Jokpin langsung teringat satu puisi Subagio Sastrowardoyo. Dan, begitu membaca puisi Subagio, saya langsung teringat Richard Rorty,” kata Fathan dalam ulasannya.

Buku puisi

Menurut Fathan, Rorty menjadi menarik karena “kenekatannya” meninggalkan tradisi fondasionalistik. Siapa pun yang tidak mempercayai universalitas kebenaran, lanjutnya, akan menganggap segala pencarian pada yang hakiki sebagai kesia-siaan.

Kebenaran niscaya terpaut pada yang unik dan spesifik. Sementara manusia sendiri senantiasa berada dalam situasi yang serba contingency. Sebab itulah, kebenaran yang bersifat plural sekaligus partikular, hanya dapat diproduksi dengan cara menghadirkan ruang privat di tengah-tengah ruang publik.

“Dan yang paling kompeten dalam mengetengahkan personalitas tersebut bukanlah para filsuf, sejarawan atau akademisi, melainkan justru para penyair dan novelis,” kata Fathan.

Situasi atau peluang itu, kata Fathan, agaknya tidak dikenali betul oleh para penyair. Fathan secara terbuka menyebutkan, banyak karya puisi yang ambigu. Lebih tegas lagi ia menyebut: ambiguitas kreatif. Karenanya, Antologi Obituari Puisi menjadi relevan dan nggenah.

“Sebab pengetahuan hanya mencatat, sedang sastra menghadirkan peristiwa dan menyeret pembaca masuk ke dalamnya,” ujar Fathan.

Sementara Masruri mengungkapkan proses kreatif para penyair: bagaimana pergumulan antarteks berlangsung, hingga sebuah puisi dimungkinkan lahir dan mengemban nasibnya sendiri. Masruri yang dosen sastra Unswagati itu juga memberikan motivasi-motivasi pada para mahasiswa agar terus belajar dan terus kreatif.

Buku puisi

Launching buku Obituari Puisi dihadiri oleh Komunitas Seniman Santri, Lingkar Jenar, Sentra Unswagati, Andara Rasa, Literasi Senja, Teater Roempoet, Sketbum, Pjuang Kreative, HMJ Diksatrasia FKIP UGJ, dan sejumlah musisi yang turut meramaikan acara. Beberapa di antaranya bahkan tidak hanya membacakan puisi, namun juga melantunkannya dalam komposisi lagu. Sekitar enam puluh hadirin tampak antusias dan intens larut dalam diskusi tersebut.

Nissa Rengganis berterima kasih kepada para apresiator yang hadir pada peluncuran buku keduanya. Dia berharap, dari Antologi Obituari Puisi bisa melahirkan karya-karya berikutnya.

“Atas nama puisi dan pertemanan yang ada, hari ini saya merasa bahagia,” ungkap Nissa. (6/01/2020)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *