Novel Sejarah dan Permasalahannya
Oleh Rida K Liamsi
Belum lama ini saya menerbitkan lagi sebuah novel sejarah, Hamidah dan diluncurkan pada 5 Agustus 2021, bertepatan dengan 177 tahun wafatnya Engku Puteri Raja Hamidah, yang kisahnya saya jadikan latar belakang novel saya.
Mengapa saya menyukai sejarah, khususnya sejarah kemaharajaan Melayu sebagai sumber penulisan novel saya? Sampai saat ini saya sudah menulis 6 novel sejarah, baik dalam pengertian novel murni, maupun narative history atau cerita sejarah (Prasasti Bukit Siguntang, Megat, Bulang Cahaya, Mahmud Sang Pembangkang, Selak Bidai Tun Irang, Luka Sejarah Husin Syah, dan Hanudah dan dalam proses penulisan Lanun Alang Tiga).
Bagi saya, selain karena peristiwa sejarah itu menarik dan kaya dengan sisi kehidupan yang dramatis yang sangat diperlukan untuk penulisan sebuah novel, tapi juga karena peristiwa sejarah selalu menyediakan misteri dan sisi menarik untuk digali, dieksplor dan ditafsir ulang .
Menarik untuk menjadi bahan yang bisa diajak bermain main. Diajak Berandai andai dan juga diperbagaikan. Ini yang dikatakan sasterawan HJ sebagai bermain dengan bahan. Selalu ada methahistoria yang menjadi liang bagi lahirnya gagasan cerita yang bukan seperti cerita yang sudah lama ada. Selalu punya celah untuk dipersoalkan dan mengundang keterkejutan. Oh ya? Dll lain lain keterkejutan cerita.
Novel saya , Bulang Cahaya, misalnya , adalah sebuah novel yang berangkat dari methahistoria itu. Saya telah mengeksplore berbagai peristiwa sejarah di kerajaan Riau Lingga, dengan mengusung sebuah methahistoria dan permainan bahan : Andai kata Raja Djaafar tidak jatuh cinta pada Tengku Buntat, akankah Singapura lepas dari tangan Sultan Riau Lingga dan berpisah dengan Kepulauan Riau atau sebaliknya ?
Pertanyaan historikal inilah yang menjadi sumber penulisan novel itu. Juga dengan beberapa novel yang lain. Selalu ada methahistoria dan peluang untuk bermain main dengan bahan. Peluang penafsiran ulang, peluang mencari dan meriset untuk menemukan sesuatu yang belum pernah terdedah. Jejak sejarah.
Bagaimana sumber atau bahan bahan penulisan novel itu diperoleh? Riset dan Riset. Novel sejarah memang menghendaki kerja riset yang lebih banyak dan lama. Bahkan terkadang memakan waktu yang panjang dan lama. Novel Megat misalnya sekitar 5 tahun lebih. Bukan cuma riset pustaka, tetapi juga riset lapangan. Misalnya mencari jejak orang bunian di gunung Bintan dan gunung Daik.
Riset juga diperlukan untuk menjaga agar semangat sejarah dan locus dilektinya tidak tercerabut. Jejak sejarahnya harus tetap ada dan bisa diraba dan dihidupi.
Riset juga untuk menemukan sosok dan tokoh sejarah yang akan menyadi karakter utama cerita. Sejarah adalah tokoh. Tokoh yang dalam hidupnya penuh drama dan tragedi. Yang melalui penafsiran ulang boleh didesain dan dimasak ulang sebagai sebuah cerita. Hakekat novel adalah cerita.
Apakah novel sejarah itu bisa jadi buku sejarah? Tentu saja tidak, secara exteiritis menurut ilmu kesejarahan. Novel, bagaimanapun adalah karya fiksi, yang faktor imajinatif dan rekayasa lebih dominan. Sementara buku sejarah adalah karya teks dan ujud fisik, karena sandarannya adalah fakta dan dekumen sejarah. Hasil penggalian arkeologi, eskavasi, dan kerja-kerja ilmu kesejarahan lainnya.
Tapi novel-novel sejarah yang lebih muthahir sudah makin mendekati kaidah sebagai buku sejarah. Tak heran kalau buku-buku novel sekarang ini semakin dekat dengan peristiwa sejarah. Bahkan banyak novelis yang sengaja menyertakan jurai silsilah para tokohnya, meskipun tetap selalu ada sosok dan tokoh fiksi yang muncul dan berperan sebagai penggerak dan penjaga alur cerita. Juga sejumlah catatan kaki dan daftar pustaka.
Lalu, apa kekuatan sejarah kerajaan melayu sebagai sumber penulisan novel? Penghianatan dan interik politik. Keculasan dan juga pembentukan nilai atau filosofi baru. Sementara kisah percintaan termasuk sangat sulit dan sensitif untuk diekplore karena menyangkut etika dan moral hidup orang melayu dan agama islam. Sejauh ini masih termasuk sisi yang sensitif .
Tapi selalu ada celah kehidupan yang romantis yang selaku jadi misteri dan tersembunyi yang harus ditafsir ulang dengan hati hati. Misalnya kisah cinta Raja Djaafar dan Tengku Buntat dalam novel Bulang Cahaya, atau Mahmud Melaka dengan Tun Fatimah, atau Raja Hamidah dan Sultan Mahmud Riayat Syah, dan lainnya. Karena itu banyak penulis novel memilih jalan lain untuk mengaitkan cerita sejarah dengan novelnya, dengan memakai tokoh lain, tokoh yang diciptakan untuk melakoni jalan sejarah. Novel-novel alm Tusiran Suseno (Kepri), Mohd Thalib dan Faisal Tehrani (Malaysia), dll.
Apa visi dan misi ideal novel sejarah? Meluruskan jejak sejarah, karena seorang novelis bisa lebih netral dalam membangun sudut pandang dibanding para penulis yang istana sentris karena ada beban politis yang harus dipukul, meskipun novel sejarah bukanlah buku sejarah. Tapi cerita sejarah, sebagai mana hikayat. Syair dll, terbuka untuk ditafsirkan sebagai sumber tertiers, sebagai sastera sejarah. Hikayat Hang Tuah misalnya meski selalu ditolak sebagai sumber sejarah, dan dianggap mitos dan legenda, dan hanya sebuah karya sastera sejarah, tapi adanya sebuah catatan tahun hijriah 886 di dalan hikayat itu, yang jika dikonversi ke tahun masehi adalah tahun 1481, dan tahun itu dikatakan peristiwa Hang Tuah naik Haji, maka fakta itu sudah sulit untuk ditolak, apalagi setelah ditemukannya catatan Okinawa yang semasa dengan peristiwa itu. Hang Tuah fakta sejarah, dan bukan lagi mitos dan legenda. Sama halnya fengan Sulalatus Salatin, atau Tuhfat Al Nafis.
Novel sejarah juga bisa menjadi media pembelajaran sejarah yang mudah diterima para pembaca muda, karena mereka jenuh dengan cara penyajian teoritis dan catatan kaki . Karena itu narative history bisa menjadi genre prosa yang baru dalam sastera. Karena menjadi karya bauran antara fiksi dan fakta sejarah.
Beberapa buku saya, seperti Mahmud Sang Pembangkang, Selak Bidai, Luka Sejarah Husin Syah dll telah saya tulis dengan semsnfst narrative history. Meskipun belum tentu juga fakta sejarah yang ada dalam novel itu faktual , karena sejarah selalu ditulis ulang dan terus diperdebatkan, seperti yang pernah dikemukakan sejarawan Prof Susanto Zuhdi. Mungkin tokohnya sama, katakanlah Raja Hamidah, tetapi peran sejarahnya dalam sebuah novel bisa berlebih dan bisa juga berkurang dan bahkan sumbang. Narrative History karena itu tetaplah karya fiksi.
Apa masalah terbesar novel seharah? Bisa menimbulkan luka sejarah baru karena selalu masih ada pihak pihak yang sulit menerima novel sejarah sebagai karya fiksi, sebagai karya sastera. Bingkai pemikiran sementara pihak sudah dipaku oleh anggapan, semya jarya yang berlatar sejarah, adalah sebuah sejarah. Pemikiran tang sudah berakar sejak zaman syair dan hikayat. Penafsiran atau pembelokan peran seorang tokoh sejarah dalam sebuah novel, selalu menimbulkan perlawanan. Tokoh sejarah selalu dianggap tanpa cela, apalagi kalau sudah dinobatkan sebagai pahlawan. Tak boleh diutak atik, apalagi ditafsir ulang, meskipun sudah melewati 100 tahun dan ditemukan catatan dan dekumen kesejarahan yang baru. Peristiwa dan keberadaan tokoh tokoh sejarah itu sudah menjadi sesuatu yang purbakala dan suci. Sudah seperti istana yang pernah dibangunnya, tesergam dan semua cerita terperam di sana. (2020.-2021).
*) Esai sejarah ini pernah saya disampaikan dalam seminar sastera sejarah di Pekanbaru 2020, sebelum saya revisi dan perbaiki.