Melukis dengan Kopi

Artikel & Foto: Heryus Saputro Samhudi *)

Haikal (7 tahun) asyik ngedeprok di karpet merah yang digelar di bawah tenda krucut yang belakangan ini biasa dimanfaatkan sebagai stand-stand pameran. Tangan Haikal menggenggam sebatang kuas kecil yang berkali-kali ia celupkan ke wadah-wadah cairan berwarna coklat, ada yang pekat ada yang lebih encer cairannya. Ujung kuas yang sudah dipenuhi cairan itu lantas ia sapukan ke atas kertas gambar di depannya. Corat-coret dengan intens dan sapuan tangan yang lentur tapi pasti. Sebentar saja di lembar kertas itu muncul gambar sosok anak yang dengan pasti ia kasih nama: HAIKAL.

Haikal tidak sendiri. Bersamanya ada anak-anak lainnya, yang lebih kecil dan yang lebih besar, laki-laki dan perempuan, bahkan beberapa orang dewasa yang barangkali para orang tua mereka. Semua sama asyik duduk di atas karpet, dipandu beberapa mentor, menikmati aktivitas melukis bareng dengan menggunakan cairan kopi.

[iklan]

Ya, kopi. Cairan berwarna coklat atau sephia yang dipulaskan Haikal di kertas gambarnya bukanlah cat air, cat minyak ataupun ataupun cat akrilik. Melainkan cairan warna yang dihasilkan dari serbuk kopi yang dicampur air hangat atau disemprotkan water spray. Bahkan, bukan bermaksud neko-neko, ada yang sungguhan menggunakan ampas kopi di cangkir yang baru saja diteguk habis, ha…ha…ha…!

Belajar melukis dengan cairan kopi sebagaimana dilakukan oleh Haikal dan anak-anak lainnya itu terjadi di Sabtu sore tanggal 12 Oktober 2019 di pelataran Museum Fatahilah – Kota Tua Jakarta, saat berlangsung Pameran Museum Indonesia yang diikuti oleh berbagai museum yang ada di Indonesia, serta Sahabat Museum – wadah organisasi nirlaba yang terbuka untuk umum, menghimpun para peminat dan pemerhari permuseuman.

melukis dengan kopi

Satu di antara anggota Sahabat Museum adalah Komunitas CPI (Coffee Painter Indonesia), yang merupakan gerakan melukis dengan menggunakan ‘ampas kopi’ sebagai cairan pewarna untuk membentuk gambar di atas kertas ataupun kanvas. Dalam rangka memasyarakatkan gerakan melukis dengan (cairan) kopi itu, Komunitas CPI ikut hadir di satu tenda di Pameran Museum Indonesia.

Alternatif pengganti cat

Saat ini aktivitas melukis memang cenderung kita fahami sebagai kegiatan menggambar sesuatu di atas kertas atau kanvas, dengan pensil pewarna, tinta atau produk zat pewarna yang kita kenal sebagai: cat. Padahal kita tahu, sejarah seni lukis lahir jauh sebelum masyarakat budaya menghasilkan tinta, pensil ataupun cat.

melukis dengan kopi

Pada lempeng batu-baru atau dinding goa misalnya, para akreolog menemukan gambar-gambar hasil tangan-tangan manusia purba, yang mencoret atau menoreh gambar-gambar khas dari bahan lumpur ataupun cairan warna alamiah yang didapat di permukaan bumi di dekat situ.

Pada perkembangannya, kita juga tahu, orang lantas menggambar atau mendokumentasikan sesuatu bentuk di alam dengan menorehkan batun runcing atau arang kayu yang hitam legam, sampai kemudian ditemukan budaya sabak (batu tulis), kertas, pena bulu angsa, tinta, pensil warna-warni, lembar kain kanvas, dan juga ragam cat modern.

Namun ada hal yang tidak berobah, yakni: seni menggambar atau melukis selalu menggunakan alat untuk melukis (pensil, pena, kuas atau tongkat lukis), media datar (juga cembung atau cekung) sebagai tempat untuk menggambar, serta cairan tertentu untuk menghadirkan gambar sesuai imaji dan fantasi artistik si pembuat gambar.

“Sekarang ini, siapapun yang ingin melukis, bisa dengan mudah membeli dan mendapatkan alat-alat lukis,” ungkap Jan Praba, pelukis dan aktivis Sangar Lukis Garajas – Bulungan, Jakarta Selatan yang juga Presiden PAKARTI (Persatuan Kartunis Indonesia).

Tapi tidak demikian dengan masyarakat di desa apalagi yang berkampung nun jauh di pinggir hutan dan gunung. Cat khusus untuk melukis masih merupakan sesuatu yang susah didapat, disamping harganya yang relatif mahal. “Karena itu pada tanggal 1 Oktober 2018, saya dan kawan-kawan pelukis di kitaran Jakarta membentuk Komunitas Pelukis Kopi Indonesia, atau kerennya: Coffee Painter Indonesia,” lanjut Jan yang sekaligus didapuk menjadi ketua komunitas CPI.

menulis dengan kopi

Selain terus bekerja sebagai pelukis konvensional, dengan pulasan cat, Jan Praba dan teman-teman juga bergerak dan bergiat melukis dengan menggunakan produk berjenis kopi sebagai bahan dasar warna.

Penggunaan bubuk biji kopi sebagai dasar pewarna, tidak dimaksud untuk menggantikan fungsi cat. “Ada atau tidak ada gerakan melukis denga kopi, cat ataoun tinta akan tetap dicari dan digunakan orang untuk menggambar atau melukis,” kata Jan Praba yang menyebut penggunaan kopi cuma sebagai satu dari beberapa alternatif pengganti cat yang sudah umum dikenal orang.

Yang penting: Minat.

Sejujurnya diakui oleh Jan bahwa sebelum CPI hadir, sudah banyak orang melukis dengan menggunakan bahan kopi, di luar negeri ataupun di dalam negeri. “Tapi sebagai komunitas, saya kira…Coffee Painter Indonesia hadir sebagai yang pertama.”

melukis dengan kopi

Menurut Jan Praba, kini ada lebih dari 30 orang pelukis nasional bergabung dalam wadah CPI. Masing-masing dari anggota melakukan aktivitas melukis (dengan media kopi) di rumah atau sanggar lukis masing-masing, lalu ngumpul (sementara ini numpang tempat di Museum Seni Rupa dan Keramik di Kota Tua Jakarta) untuk merancang gelar pameran bareng.

Jangan sepelekan kopi sebagai bahan dasar zat pewarna. Betapapun hanya dari ampas kopi di cangkir yang sengaja dibuat dan diminum si seniman, gambar yang dihasilkan di lembar kertas ataupun kanvas, dalam nuansa coklat ataupun sephia, tak kalah artistik dengan lukisan cat minyak, akrilik, paint brush, cat air, ataupun menggunaan pewarna lainnya. Beberapa lukisan yang mengilustrasi tulisan ini bisa dijadikan contoh, yang satu diantaranya sudah ditawar seorang kolektor dengan harga Rp 20 juta.

“Melukis dengan media kopi relatif sama dengan cara melukis dengan menggunakan cat air. Butuh teknik dan ketelatenan tersendiri untuk memulas atau menutulkan warna pada kertas atau kanvas yang digunakan. Tapi semua itu bisa dipelajari,” ungkap Jan yang bersama teman-temannya di komunitas lantas membuka diri sebagai kelompok ‘mentor” bagi siapapun masyarakat yang berminat ikut melukis dengan media kopi.

Tak ada batasan umur. Anak-anak ataupun orang tua, asal bisa pegang kuas atau pensil, silakan menggambar dengan kopi. Murah meriah, bisa didapat di mana saja. Indonesia juga dikenal sebagai negara penghasil nomor tiga di dunia setelah Brazil dan Vietnam. Di tiap daerah ada tumbuh tanaman kopi. Anda bisa mencobanya sendiri di rumah, atau mengontak Komunitas CPI dan lalu menggelar acara melukis bareng di Balai Warga.

“Lupakan dulu soal bakat melukis. yang penting adalah minat. Jika seseorang tak punya minat, mengerjakan apapun, termasuk melukis atau menggambar, pasti tak akan berhasil,” kata Jan Praba, sederhana.

Yuuuk…melukis dengan media kopi.***

melukis dengan puisi

Heryus Saputro Samhudi *) Sastrawan dan wartawan anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jakarta, penulis masalah-masalah sosial-budaya, pariwisata dan lingkungan hidup.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *