Hewan piaraan ialah hewan yang dipelihara untuk kesenangan atau untuk dibudidayakan. Memiliki hewan piaraan dapat membangkitkan suasana hati atau semangat bagi pemiliknya. Bayangkan, kita pulang dari sekolah atau dari tempat kerja yang kerap kali menguras pikiran dan tenaga. Kemudian di depan pintu terdapat seekor anak kucing yang sangat menggemaskan—yang membuat kita ingin mengelus-ngelus kepala hewan tersebut, bahkan ingin menggendongnya. Tentu rasa letih akan berganti menjadi rasa gembira.
Memiliki hewan peliharaan dapat menjaga kesehatan mental. Marwan Sabbagh, seorang fisiologi dari Cleveland Clinic mengatakan bahwa berinteraksi dengan hewan, seperti bermain dengan hewan atau membelai hewan—dapat meningkatkan suasana hati, menurunkan tensi darah, dan menenangkan jantung. Hormon stres—hormon kortisol akan menurun dan neurotransmiter hormon serotonin sebagai hormon “kebahagiaan” akan meningkat saat berinteraksi dengan hewan.
Selain itu, hewan piaraan dapat dijadikan sebagai teman. Apalagi jika kita hidup sendiri. Kaum urban yang hampir seluruh waktunya habis untuk mengejar cita-cita dan cinta-cintaan. Kini dihadapkan oleh makhluk yang dapat mendaur ulang semangat pemiliknya. Namun, hewan yang lucu dan menggemaskan dapat berubah menjadi malapetaka bagi orang lain dan menimbulkan konflik antartetangga.
Konflik yaitu pertentangan keinginan antara dua orang atau lebih. Konflik sosial adalah ketegangan antara individu atau kelompok yang memiliki kepentingan yang berbeda dalam suatu masyarakat. Konflik sosial disebabkan oleh perbedaan kelas dan ketidakadilan sosial. Konflik sosial juga dapat disebabkan oleh sikap manusia yang ingin dihargai oleh orang lain karena jenis kelamin, status ekonomi, jabatan, maupun ideologi yang dianut oleh orang tersebut. Apabila orang lain menyakiti atau melanggar batas norma-norma konvensional, maka akan terjadi pertentangan dalam suatu masyarakat.
Di tengah masyarakat yang beragam, konflik sosial sering kali terjadi baik karena masalah besar maupun masalah yang semulanya kecil/sepele yang menjadi besar seperti bola salju kecil yang diturunkan dari atas bukit menuju bawah. Konflik sosial tidak dapat dihindari sepenuhnya dan konflik dapat terjadi di mana saja dan kapan saja. Konflik sosial sudah dimulai dari zaman Nabi Adam a.s. dengan Siti Hawa yang ingin memakan buah khuldi hingga saat ini—di mana pesta demokrasi membuat kita membenci satu sama lain hanya karena berbeda pandangan dalam menentukan presiden. Konflik sosial dalam taraf kecil mungkin pernah kita alami atau saksikan seperti rebutan mobil-mobilan dengan adik sewaktu kita kecil, berdebat dengan orang tua karena tidak ingin makan sayur, hingga konflik besar seperti perang antara Rusia dengan Ukraina dan Palestina dengan Israel.
Pada kasus yang akan saya kupas ialah konflik sosial yang terjadi dengan tetangga—yang disebabkan oleh hewan piaraan. Hewan piaraan akan membuat kita bersitegang dengan bapak di sebelah rumah karena kucing kita yang unyu-unyu membuang kotoran di halaman rumahnya. Atau ayam yang kita pelihara dari kecil akan ditimpuk sendal karena memakan tanaman milik perempuan paruh baya yang rumahnya seperti taman. Anjing yang berisik saat berkelahi atau burung dara yang menghiasi atap rumah tetangga dengan kotoran. Masih banyak konflik sosial yang disebabkan oleh hewan piaraan yang tidak dijaga atau dipelihara dengan baik.
Hewan memang tidak mengetahui bahwa tindakan membuang kotoran sembarangan merupakan tindakan amoral. Namun, sebagai pemilik hewan piaraan sekaligus sebagai manusia tentu dapat membedakan yang baik dan buruk. Hal yang dapat dilakukan untuk membuat lingkungan kembali tenteram ialah meminta maaf dan mengganti kerusakan yang disebabkan oleh hewan peliharaan kita.
Lebih baik hewan piaraan tidak dibiarkan dengan bebas jika tempatnya tidak memungkinkan, apalagi bagi masyarakat yang tinggal di kota. Hewan piaraan hendaknya dimasukkan ke dalam kandang yang nyaman, lalu menyediakan makanan dan minuman, serta secara rutin membersihkan kandang dari kotoran.
Hewan peliharaan juga harus dibawa secara berkala ke dokter hewan. Tindakan tersebut dapat membuat hewan merasa dihargai, mencegah penyakit pada hewan, dan mengurangi konflik antartetangga. Berkurangnya konflik antartetangga mencegah sisi gelap manusia—yang menjadi serigala bagi sesama manusia, seperti yang pernah diungkapkan oleh Titus Maccius Plautus dan dipopulerkan oleh Thomas Hobbes. Menurut Thomas Hobbes kekerasan terjadi karena tidak tersalurnya naluri seperti harapan, keinginan, atau kehendak yang berlebihan.
Konflik sosial akan berujung kekerasan apabila tidak segera diselesaikan dengan kepala dingin. Terdapat lima tahapan untuk menyelesaikan konflik sosial. Pertama, “Pra-Konflik”: pada tahap ini terdapat ketidaksesuaian antara kedua belah pihak. Kedua, “Konfrontasi”: pada tahap ini konflik menjadi terbuka, konflik yang semula hanya satu pihak, lalu menjadi melebar karena pendukung masing-masing pihak melakukan konfrontasi. Ketiga, “Krisis”: pada tahap ini merupakan puncak konflik, kekerasan terjadi paling hebat. Keempat, “Akibat: pada tahap ini kedua belah pihak menyerah atau menyerah atas desakan pihak lain, kemudian melakukan negosiasi. Kelima, “Pasca-Konflik”: pada tahap ini konfrontasi berakhir, ketegangan berkurang, dan hubungan mengarah normal di antara kedua belah pihak.
Namun, konflik sosial juga mempunyai dampak positif dan menjadi pemicu untuk berkembang menjadi manusia yang lebih baik dan menghargai satu sama lain. Ketika kita dapat menyelesaikan konflik dengan baik dalam kasus ini (baca: hewan piaraan dan konflik sosial), maka kita akan mengganti tali persaudaraan antartetangga yang terputus dengan tali yang lebih kuat dan tidak mudah putus oleh goresan agama, ras, dan kebudayaan yang berbeda. (Rudi Setiawan.13/5/24)