Gerimis di Belgia
Catatan Perjalanan Atik Bintoro (2)

Pesawat pun mendarat tepat pukul 14.00 waktu Brussel-Belgia, sama dengan jam 08.00 waktu Jakarta. Kami segera bergegas antri menuju bis penjemput untuk membawa penumpang ke pintu masuk ruang kedatangan. Udara di luar mulai terasa dingin menerpa wajah dan tangan, kira kira sekitar delapan derajat celsius. Di ruang AC Jakarta, 14 derajat sudah terasa sangat dingin. Di sini 08 derajat. Jika malam hari bisa sampai 04 derajat Celcius, wow!

Masuk ke ruang kedatangan, terasa hangat. Sepertinya bandara Brussel ini tidak sebesar bandara Soekarno Hatta. Hanya saja keramah-tamahan dan senyuman Petugas Bandara bisa bikin hati tentram. Kami pun rehat sebentar.

Oh ya tentu bagi Muslim rata-rata di Indonesia, toharoh yakni bebersih setelah pipis selalu terbiasa pakai air putih. Di toilet bandara ini, pas di tempat buang pipis tidak tersedia air untuk toharoh, tisu kering pun tidak ada. Kabar baiknya saya bawa air minum botolan dari Pesawat. Saya isi lagi di kran wastafel deket pintu utama ruang Toilet. Air di botol itu yang saya gunakan untuk toharoh istinjak. Setelah istirahat sejenak, melanjutkan ke loket imigrasi. Di ruang menuju loket ini ada jalur jalan berliku dan dijaga ketat oleh petugas imigrasi Negara Kerajaan Belgia.

[iklan]

Berbagai raut wajah, antri menunggu giliran pemeriksaan dokumen terkait keabsahan kunjungan ke Belgia, semacam paspor dan visa. Ada pun wajah wajah yang antri tampak dari berbagai warna kulit: Coklat, Hitam, Bule, dan Putih. Mereka dari berbagai Negara. Satu persatu pengantri dipanggil petugas imigrasi. Tibalah giliranku.

“Ya kamu ke sini!” Panggilan dalam bahasa Inggris ditujukan kepadaku.
“Ya baik.”

Saya berjalan ke loket imigrasi, kemudian kuserahkan pasporku. Petugas pun memeriksa paspor sambil melihat komputer di depannya. Petugas Imigrasi pemeriksa manggut manggut. Masih dalam bahasa Inggris, dia berkata:

“Itu semua temanmu, satu rombongan ya?”
“Ya betul, kami berlima, yang satu ada di loket sebelah.”
“Ya sudah sini semua, tidak usah antri.”.
Aku pun memanggil teman teman, agar merapat ke loket imigrasi.
“Dari Indonesia ya, Piye kabare?”

Wah… bisa bahasa Indonesia, bahkan bahasa Jawa. Tentram rasanya, kirain mau diperiksa lanjut bersama sama. Udah khawatir saja. Ternyata malah diajak senyam-senyum sambil periksa dokumen kunjungan, dan bertanya tanya layaknya kawan lama, tanya tentang: Surabaya, Malang, Banyuwangi, Jogja dan Bali. Pemeriksaan dari petugas imigrasi usai, kami: saya, Giri, Angga, dan Abian ke luar ruang imigrasi dan mengucapkan terimakasih.

belgia

Di luar ruang sudah menunggu pak Syair yang sudah selesai lebih dulu dari loket sebelah. Langsung bertanya:

“Ada apa lama banget?”
“Diajak ngobrol, pake bahasa Indonesia, bahkan bahasa Jawa.”
“Ha ha…”

Tawa kami pun pecah, bergembira dan mulai masuk ke kota Brussel, di Negara Kerajaan Belgia. Segera kami menuju ruang tunggu, sambil foto foto selfi. Banyak orang hilir mudik. Pertokoan dan kafe makanan berjejer. Hampir semuanya bertuliskan bahasa Prancis atau Belanda. Tulisan bahasa Inggris hampir tidak ada.

Sekitar tiga puluh menit temen dari Thailand Mr. Swat datang menjemput untuk mengantarkan kami ke apartemen tempat kami menginap. Mr. Swat ini sudah berpengalaman tinggal di Brussel. Dia bekerja di Perusahaan Internasional di bidang peralatan instrumen elektronika. Di luar bandara hawanya terasa dingin, sekitar 8 derajat Celcius. Segera kami menuju bus di depan bandara. Bus ini modelnya mirip Bus Trans Jakarta. Hanya saja bayarnya masih menerima uang cash.

Bayar melalui lubang celengan yang berada di samping Sopir. Masing masing bayar tiga Uero sekali jalan. Sepanjang jalan naik bus menuju penginapan, jalanan terlihat lengang. Perjalanan terasa cepat, jalan rayanya tidak terlalu luas, tidak seluas jalan jalan di Jakarta. Hanya bedanya: tertibnya itu lho  yang wajib ditiru oleh warga Jabodetabek. Bus yang kami tumpangi berhenti di lokasi relatif jauh dari tempat yang akan kami tuju: Penginapan. Sepanjang jalan, kami menyusuri jalan petak petak batu tersusun mirip susunan konblok.

Sejak keluar dari bis, dan melangkah di trotoar sampai di depan Penginapan, semua permukaan jalan ditutup batu belah tersusun rapi. Hanya saja permukaannya tidak rata, sehingga di sepanjang jalan, koper yang kami tarik dan sesekali didorong bisa menimbulkan bunyi dari roda yang mengikuti kontur permukaan jalan yang tidak rata. Saya was-was saja, semoga tangkai rodanya kuat.

Nikmat juga menyusuri jalan sebagai orang asing di Belgia. Orang-orang yang berpapasan pun terasa seperti kawan lama, hampir semuanya murah senyum. Anak anak remaja ceria berlarian entah mengejar apa. Hal apa saja yang mereka bicarakan aku gak ngerti, hanya lamat-lamat sesekali suara senda gurau mereka terdengar di telinga. Seperti logat dalam bahasa Prancis, tidak terdengar yang berbahasa Inggris.

Trotoar di sepanjang jalan yang kami susuri terasa relatif luas jika dibandingkan dengan jumlah orang yang lalu lalang. Sedangkan jalan rayanya juga tidak terlalu besar. Jalur jalur jalan hanya dibatasi oleh cat putih di jalan tanpa tembok pembatas membelah jalan.

Tempat-tempat penyebrangan tersedia garis Zebra Cross, bahkan tanpa lampu lintas. Kabar baiknya setiap penyebrang di Zebra Cross dijamin aman, sebab mobil-mobil yang lalu lalang di jalan, langsung berhenti dan sabar menunggu pejalan kaki lewat di Zebra Cross dari tepian jalan ke tepian jalan di sebrang jalan. Itulah di antara nikmat menyusuri jalan-jalan di pinggiran kota Brussel sampai ketemu Penginapan.

Jalan Avenue Chazal di kawasan Schaerbeek, Brussel, Belgia, itulah area apartemen tempat kami menginap. Kami pun segera masuk berharap bisa mengurangi dingin di badan. Apartemen ini terdiri dari lima lantai, mempunyai sudut pandang menarik, menghadap ke taman kota kawasan Schaerbeek. Kabar baiknya ternyata ekskalatornya sedang rusak, kami pun naik melalui anak tangga ke anak tangga sampai di lantai lima. Setelah masuk ruangan, langsung rebahan  sebentar dan segera bebersih badan.

Brussel City

Ketika perut terasa lapar, lokasi warung makan pun belum tahu, ditambah hari  mulai berangkat malam, langkah terbaik adalah membuka koper dan mengambil mie instan. Alhamdulillah, satu tas mie instan sengaja dibawa dari Indonesia untuk persiapan makan cepat selama di Belgia.

Setelah semalam istirahat, siang harinya melalui informasi internet dapat diketahui lokasi warung makan halal masakan India. Lokasi warung tidak jauh dari penginapan, tinggal jalan kaki. Warung ini penyedia bafe makan sepuasnya: Nasi goreng, irisan daging ayam, sapi mau pun daging kambing, sayur salad, dan kentang. Selain warung ini ada juga warung halal masakan Turki. Ada menu kebab, nasi kebuli, dan goreng ayam. Yang jelas tentang makanan halal, di Brussel tempatnya, jangan pernah kawatir kehabisan.

Di hari kedua pas hari Selasa, ternyata di taman kawasan Schaerbeek, ada pasar rakyat. Tidak saya sia-siakan, langsung tengok keramaian. Di situ kutemukan penjual tanaman hias. Hobi koleksi tanaman hiasku pun tersalurkan. Kubeli satu pot untuk ditaruh di Penginapan sebagai penyejuk mata. Tiga Euro kuserahkan ke penjual ketika hari mulai gerimis sebagai tanda bahwa kota Brussel sudah siap-siap menghadapi akhir musim gugur menuju musim dingin. Salju yang ditunggu-tunggu segera turun di bulan Desember. Temperatur udara luar bisa mencapai dingin banget. Baju senam yang sangat ketat bisa membantu menangkis hawa dingin. Itung-itung bisa irit harga relatif murah di toko toko di Indonesia. Bisa juga beli di penjual online pakaian Longjohn baju daleman di musin dingin.

Gerimis pun terus berlanjut sampai masuk musim dingin.

Belgia, 29 November 2019.

belgia

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *