Cerita dari Korea: Corporate Culture

Agus Budiyono, Alumni MIT dan Founder kopichoy.com

Selama delapan tahun saya berkarir di Korea Selatan sebagai Foreign Professor, saya mempunyai kesempatan premium untuk bisa mengamati industri dalam level BUMN sampai Small Medium Entreprise (UKM). Saya berkunjung dan masuk ke jantung perusahaan KARI (Korea Aerospace Research Institute), ADD (Agency for Defense Development), sampai ke perusahaan-perusahaan kecil di pinggiran kota Seoul. KARI adalah semacam NASA-nya Korea, kalo di Indonesia ini setara LAPAN. Mereka mampu meluncurkan roketnya dan satelitnya, dan juga mempunyai astronot perempuan. ADD kalau di Amerika setara dengan DARPA (Defense Advanced Research Project Agency, tempat di mana hampir semua teknologi strategis AS diciptakan). Di ADD saya menyaksikan mereka bertransformasi secara tahap demi tahap, sistematis dan konsisten dari negara yang tahun 70an masih bersifat agraris menjadi negara yang mempunyai kemandirian dalam bidang defense. SVP ADD (orang no 2) yang menerima kami waktu itu memutar video yang membuat saya, sebagai engineer, hampir menitikkan air mata. Video corporate biasanya berisi company profile yang diolah sedemikian menampilkan keberhasilan-keberhasilan dan kemampuan perusahaan.

[iklan]

Namun siang itu, SVP memutar video berisi kegagalan-kegagalan yang mereka alami sejak ADD didirikan (missile yang nyasar, roket yang tidak meluncur, meriam yang meledak dsb). Bagaimana mereka berjuang hari demi hari dalam memerdekakan diri mereka dari ketergantungan dari negara lain. Bagaimana TOT (transfer of technology) itu sebenarnya hanyalah cerita indah di atas kertas. TOT never happened. Bagaimana mereka melakukan upaya terbaiknya supaya tidak diakali negara lain, baik Eropa, Amerika atau musuh bebuyutan Jepang. Mereka mengumpulkan SDM yang hebat dari pelosok negeri dan bahkan penjuru dunia. Tidak segan untuk membayar sangat tinggi. Kebetulan memang posisi saya sendiri di Korsel saat itu adalah expat yang dikompensasi secara tidak biasa.

Pada suatu waktu yang lain, saya juga memperoleh kesempatan berkunjung ke sebuah perusahaan kecil, sekira 2 jam dari Seoul. CEO-nya adalah sahabat dari teman baik saya, sehingga saya bisa diterima masuk juga ke dalam organisasinya. Untuk benar-benar mendalami keseharian dan mempelajari sedikit banyak corporate culture mereka. Perusahaan ini adalah pemasok komponen produk-produk Samsung Electronics, khususnya divisi Smartphones. Perusahaan-perusahaan yang sukses di Korea (dan juga Jepang), mungkin tidak seperti yang akan dibayangkan sebagian besar orang. Perusahaan yang saya kunjungi misalnya, mempunyai lokasi yang saya sendiri pun tidak menyangka. Route mobil yang membawa saya melewati perkampungan, sawah dan tegalan. Dan in the middle of nowhere, tiba-tiba ada workshop dan bangunan yang menyerupai kantor.

CEO yang meng-host saya untuk makan siang dan kemudian saya temui di kantornya bukanlah seseorang yang sophisticated, misalnya berpenampilan kayak aktor Korea atau berpendidikan Amerika misalnya. Alih-alih blio seseorang yang sederhana, malah cenderung seperti yutun/lugu. Tangannya kasar dan wajahnya terbakar matahari, khas orang dari desa di sana. Kalimat-kalimatnya juga sederhana sehingga mudah saya ikuti. Praktis tidak bisa bahasa Inggris. Ketika saya masuk ke ruang kerjanya, suasananya juga apa adanya. Di dindingnya tertempel semboyan yang dipigura. Bukan, bukan Murphy’s Law atau quote yang beken dari Harvard Business School. Alih-alih adalah semboyan lokal Korea, yang kalo diterjemahkan kurang lebih berarti “Rajin Pangkal Kaya”.

Saya kemudian diberi kesempatan untuk Plant Tour. Di tengah tegalan itu, di workshopnya ada Clean Room di mana high-precision machining berlangsung. Dalam kesederhanaan tampilan depan, ternyata di dalamnya terdapat pemahaman akan state of the art technology. Komponen-komponen presisi yang kelak akan sampai di tangan kita dalam bentuk flat screen atau smart-phone yang canggih. Perusahaan yang saya kunjungi adalah entitas yang berada dalam supply chain bisnis global dari perusahaan mikroelektronik terbesar dunia. CEO dan timnya adalah kumpulan orang-orang yang sangat paham posisi mereka dalam mata rantai panjang tersebut. Ada beberapa golden nuggets dari budaya perusahaan organisasi-organisasi bisnis di atas yang saya sering bagi di kelas-kelas dan seminar saya.

  1. Penting mempunyai teknologi, tapi jauh lebih penting mempunyai manusia yang tepat di tempat yang tepat. SDM berkualitas menjadi pivot utama dari transformasi industri di Korea dari level BUMN sampai UKM. Dari bluechips seperti Samsung Electronics, Hyundai dan Hanhwa sampai start-ups. Semua bertumpu pada pengembangan SDM yang mumpuni. Untuk ini mereka meng-hire expert untuk mengajari dan mempercepat learning curve SDM mereka.
  2. Dalam era persaingan global, keberlanjutan hidup perusahaan dan organisasi sangat bergantung kepada kemauannya untuk berinovasi. Secara terus menerus. Inovate or die. Sebuah mantra yang terbukti berulang-ulang sepanjang sejarah korporasi modern. Nokia tinggal menjadi sejarah karena keengganannya untuk berubah dari status quo. Begitu juga Netscape yang pada zamannya adalah market leader segmen browser. Perlu sikap untuk mau terus belajar. Dan dari mana saja. Samsung bahkan belajar dari musuhnya, Sony, sampai akhirnya bisa mengalahkannya.
  3. Tidak ada jalan pintas dan cepat untuk kesuksesan. You have to work hard to earn it. Perusahaan sebesar dan semapan Boeing harus membayar keteledorannya dalam mengambil beberapa jalan pintas prosedur perancangan sistem kendali pesawat terbang. Mereka harus membayar sangat mahal dengan masalah pesawat Boeing 737 Max yang saat ini tereskalasi di seluruh dunia. Banyak airlines meng-cancel order Lion Air harus menanggung kerugian Rp 6 milyar per hari karena pesawat Boeing 737 Max yang harus grounded.

Masih banyak lagi, tentunya versi lengkap ada dalam seminar atau keynote saya. Atau bisa juga dalam event sharing book discussion. Banyak yang saya simpan dalam memori saya selama delapan tahun. Tidak semua tentang teknologi, tapi kadang juga tentang gang buket di Seoul tempat saya ngopi dengan kolega. Juga tentang Bibim Nengmyon (mie pedas pake es). Sangat khas Korea. Exquisitely original. Ini memang value satu lagi yang saya belajar dari sana: value originality. Yang membuat mereka membuat prestasi ekonomi yang dicatat sebagai Keajaiban Sungai Han.

Dr. Agus Budiyono memiliki 4 gelar lanjutan dari ITB & MIT dan lebih dari 25 tahun pengalaman berbicara termasuk 15 tahun di lingkungan akademik dan perusahaan pemula di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Penemu, pendidik, dan penulis buku, karyanya telah dikutip di seluruh dunia (1522 kutipan dicatat dalam Google Cendekia). Dia diundang oleh industri, lembaga pemerintah dan akademisi

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *