Menurut Wikipedia Indonesia, Warok adalah tokoh masyarakat dan tokoh seni di Ponorogo-Jawa Timur. Warok merupakan sebutan lelaki yang punya sifat kesatria, berbudi pekerti luhur, dan memiliki wibawa tinggi di kalangan masyarakat. Warok juga memiliki peranan penting dalam kesenian, kebudayaan, sosial, dan politik di Ponorogo.

Kata Warok berasal dari bahasa Jawa, yaitu wewarah yang maknanya adalah pengajaran. Warok merupakan wong kang sugih wewarah, orang yang mampu memberi petunjuk atau pengajaran kepada orang lain tentang hidup dan kehidupan yang baik.

Dahulu, sekitar abad ke XV, Ponorogo itu bernama Wengker yang termasuk sebagai daerah kekuasaan Majapahit yang dipimpin oleh Prabu Brawijaya V. Pada waktu itu daerah Wengker dipimpin oleh seorang Demang bernama Ki Ageng Suryongalam yang lebih dikenal sebagai Ki Ageng Kutu, karena dia tinggal di desa Kutu-Jetis. Ki Ageng Kutu juga terkenal sebagai Ki Demang yang sakti mandraguna.  Pada masa itu sebagai daerah kekuasaan Majapahit, Wengker punya kewajiban untuk membayar upeti ke penguasanya, yakni Majapahit, akan tetapi Ki Ageng Kutu membelot tak mau menghadap raja untuk menyerahkan upeti sampai beberapa tahun lamanya.  Hal ini tentu saja membuat Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V murka. Segera sang raja memerintahkan putranya, Pangeran Lembu Kanigoro, untuk menyelesaikan masalah pembelotan Ki Ageng Kutu tersebut.

Dalam perjalanannya menuju Wengker, sang Pangeran menyempatkan diri untuk singgah ke tempat kakaknya, Raden Patah yang menjadi Penguasa Demak. Di Demak itulah ia belajar tentang strategi perang dan agama Islam. Setelah kemudian memeluk Islam, Pangeran Lembu Kanigoro berganti nama menjadi Betara Katong atau Raden Katong. Selanjutnya, Betara Katong melanjutkan perjalanannya ke Wengker dengan ditemani oleh seorang abdi (asisten) bernama Selo Aji. Sesampainya di Wengker, Betara katong berjumpa dengan seorang muslim yang taat bernama Ki Ageng Mirah. Dengan dibantu oleh Ki Ageng Mirah kemudian Betara Katong menyusun kekuatan dan strategi untuk bertemu dengan Ki Ageng Kutu secara baik-baik. Akan tetapi apa yang kemudian terjadi?

Setelah bicara baik-baik mengenai tunggakan upeti yang harus dibayarkan ke Majapahit, Ki Ageng Kutu justru menolak dan menantang perang tanding. Maka terjadilah perang tanding adu kesaktian, dan Betara Katong kalah. Akan tetapi Raden Betara Katong tak kurang akal. Otaknya yang cerdas itu segera menemukan cara untuk menikahi putri pertama Ki Demang Suryongalam atau Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Sulastri. Barulah kemudian dia bisa mengalahkan Ki ageng Kutu setelah berhasil mengambil keris pusaka saktinya, keris Kyai Puspitorawe.

Ketika Ki Ageng Kutu masih menjadi Demang di Wengker, beliau mendirikan Perguruan-perguruan Kanuragan yang mengajarkan ilmu-ilmu kesaktian dan kebatinan. Muridnya banyak dan rata-rata sakti mandraguna.

Setelah Ki Ageng Kutu berhasil dikalahkan dengan pusakanya sendiri,  Raden Katong mengumpulkan para murid-murid dan pengikut Ki Ageng Kutu dan mereka diarahkan untuk menjadi Manggala Negeri. Adapun tempat-tempat perguruannya dijadikan tempat untuk membina dan melatih para pemuda menjadi satria-satria untuk pertahanan daerah yang baru didirikan, yaitu Bumi Ponorogo, dan Raden Katong atau Raden Betara Katong menjadi Bupati pertamanya. Para Manggala Negeri yang sakti inilah yang kemudian disebut Warok, Satria yang patriotik, berjuang untuk membela negara dan berbudi luhur serta berwatak jujur. Bertanggung jawab dan rela berkorban untuk kepentingan orang lain.

Keberadaan Warok ini merupakan kebanggaan masyarakat Ponorogo, dan memang begitulah pada dasarnya, karakter dan jiwa yang mendarah daging pada masyarakat Ponorogo. Paling tidak begitulah semangat mereka. Selanjutnya, apabila merujuk kepada sejarahnya, Warok itu penampilannya sangar. Kumis dan jenggotnya lebat dengan pakaian serba hitam. Baju ‘Potong Gulon’, celana panjang hitam komprang, pakai kain bebet (batik latah ireng), tutup kepala ‘Udeng’,dengan ‘mondolan’. Dan yang menjadi ciri khasnya adalah ‘Usus-usus’ atau tali kolor warna putih, panjang dan lumayan besar menjulur sampai ke kaki.

Warok telah menjadi idola masyarakat Ponorogo, dan dalam upaya untuk menjaga budaya warisan nenek moyang (uri-uri budaya), maka dalam setiap pertunjukan Reog Ponorogo selalu ada atraksi yang nama Warokan, yang kurang lebih merupakan gambaran atas penampilan Warok itu dahulu. Dalam pertunjukan tersebut biasanya ada Warok Tua dan Warok muda, bahkan juga Warok Bocah.(AY)

Dapoer Sastra Tjisaoek, Juni 2022
Dihimpun dari berbagai sumber oleh: Abah Yoyok.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *