Undangan Kesedihan

Gusti Trisno

Ketiga tamu itu menyiratkan aroma kebahagiaan dalam tubuh. Tapi, apa yang terlihat belum bisa dianggap sabda, apalagi fatwa. Madin tahu itu.

“Mari masuk,” sahut Madin menyilakan murid perempuannya dan kedua orang tua si murid masuk ke dalam rumah.

Ibu turut menyambut tiga tamu agung itu dengan penuh keistimewaan. Ketiga tamu itu merupa kuda terbang yang diharap bisa menelan segala kepahitan. Juga, menjadi harapan di masa depan tentang sosok pendamping Madin. Dan, Madin tahu itu.

[iklan]

Bagi Madin, ketiga tamu itu benar-benar menelan angannya sebagai manusia. Tamu itu berhasil melintasi pijaran-pijaran ilusinya. Segera Madin, menepuk pipinya. Ia merasakan kesakitan, tanda jika tiga tamu itu benar-benar nyata.

Tiga tamu itu berbicara panjang lebar, penuh keakraban tanpa situasi canggung sekalipun. Anehnya, tanpa tedeng aling-aling si Ayah dari murid Madin menyatakan minatnya menjadikan Madin sebagai mantu. Sungguh, sesuatu yang benar-benar penuh kejutan. Mengetahui itu, Ibu hanya memandang Madin dengan penuh harap.

Madin memeriksa letak jantungnya. Selepas itu, ia memandang Bapak yang berada di ranjang kesakitan. Dari wajah Bapak, tergambar sekali harapan yang begitu mendalam. Madin mendesah. Memalingkan wajah sejenak. Kemudian, memberikan senyum terbaiknya. Lalu, mengangguk dengan penuh keyakinan.

**

Hujan datang tanpa diduga setelah tiga tamu agung itu pergi. Madin merasai hujan itu dengan tangannya. Setitik demi setitik air hujan masuk ke relung tubuhnya. Setitik demi seteitik air hujan masuk ke dalam ruang kenangan dalam tubuhnya. Setitik demi setitik air hujan itu juga menunggang waktu: mengembara menuju lembah menyambut perempuan lain di hatinya.

Delisa! Begitulah nama perempuan itu. Perempuan yang pernah menjamu suara-suara Madin semasa kuliah. Perempuan yang bagi lelaki itu mengajaknya untuk membangun rumah tangga. Perempuan yang kemudian pergi tanpa diduga.

“Din, masuk ke dalam rumah!” pinta Ibu.

Madin menurut permintaan perempuan firdausnya. Ia langsung menjumpai wajah pucat Bapak di ruang keluarga. Bapak hanya membalas dengan senyum. Selepas itu, Madin masuk ke dalam kamarnya sendiri.

Kamar bercat biru itu menyambutnya dengan kenangan hujan yang makin kentara. Madin kembali merasai hujan dengan tangannya. Setitik demi setitik air mata bumi itu masuk ke relung tubuhnya. Setitik demi setitik air mata bumi itu membuatnya kembali teringat Delisa.

Dulu, semasa kuliah. Ia begitu mencinta Delisa. Begitupun Delisa menurutnya begitu mencintanya. Perjalanan cinta itu dilalui tanpa sedikit pun ada masalah berarti. Mereka memegang prinsip yang sama: jangan sampai kita meninggalkan orang yang membuat kita nyaman, demi orang yang membuat kita kagum. Rasa kenyamanan keduanya memang begitu tercipta. Sebab Madin tak pernah menuntut rasa nyaman dari Delisa, tetapi ia sendiri menuntut dirinya untuk membuat nyaman Delisa akan kehadirannya. Akibat itu, Delisa melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Madin. Tanpa perlu disuruh. Tanpa perlu diminta.

Rasa nyaman itu juga berkawan girang dan selalu ada. Hingga, permasalahan datang begitu saja. Adalah rasa sakit yang didera Bapak menjadi alasan utama. Saat itu, Madin begitu bingung tiada tara. Ia meminta Delisa untuk menjadi sarana pendengar yang baik, juga menjadi dewan pertimbangan dalam mengambil keputusan. Sayangnya, Delisa yang dikenalnya mendadak berubah. Berubah begitu saja. Membuat kenyamanan yang pernah tercipta itu tergoda oleh kekaguman pada orang lain. Sehingga rasa kagum itu menjadi rasa nyaman yang lain.

Madin terpukul. Ditinggalkan Delisa tanpa kata pisah. Tapi, perjuangan rasa masih menjadi hal yang utama bagi ia. Oleh karena itu, ia mengejar waktu, saat itu ia langsung meluncur dari sekolah tempat mengajar menuju Gedung Soetardjo, berharap Delisa bisa menjelaskan semuanya.

Gedung yang memuat sekitar delapan ratus wisudawan itu penuh sesak. Madin segera berusaha menghubungi Delisa. Tak ada sedikit celah untuk mendengar suara nan manja. Suara Delisa benar-benar tak disambut lewat panggilan suara. Beberapa kali telepon itu tak terjawab begitu saja. Hujan lalu membuat semua kalang kabut. Para fotografer yang membuat studio mendadak di lapangan tak jauh dari Soetardjo langsung menutup standnya. Madin pun mencari tempat niup sejenak, sambil memandang kanan-kiri berharap gadis yang dicintanya terlihat batang hidungnya.

Nihil. Begitulah yang terjadi. Madin pun segera memikirkan opsi lain. Ia segera menstater motornya menuju rumah indekost Delisa. Hujan bersama angin yang turut menerbangkan dedaunan dan reranting menjadi temannya. Tapi, ia benar-benar bisa mengalahkan cuaca buruk itu menuju rumah indekost perempuan terkasihnya.

Di rumah indekost bercat biru tua itu, Madin segera menghubungi gadisnya. Pesan-pesan yang dikirimkan lewat WA menguap saja, tanpa ada usaha untuk membalasnya. Madin pun menunggu dalam bisu. Kemudian, teman kuliah gadisnya keluar disambut keluarganya dengan semangat memboyong segala yang ada.

“Mana Delisa?” tanya Madin.

“Delisa masih membereskan make up-nya,” jelas teman perempuan gadisnya itu.

Madin pun menunggu. Detik menjelma begitu cepat berganti menit. Madin menunggu dengan rasa dingin akibat hujan yang kelewat membasahi tubuhnya. Madin menunggu, hingga rasa menunggu itu terkalahkan oleh waktu.

Satu jam lamanya, ia dikekap bisu, jangankan untuk bertemu, membalas pesan saja tak ada gairah. Karena itu, Madin pasrah. Ia tak seharusnya melakukan penantian seperti itu. terlebih setelah perempuan itu pergi membawa rasa nyaman yang baru.

Madin pun segera memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Sebelum memberi tahu jika ada kado di ujung pintu. Hanya itu. Tapi, sungguh perjalanan menuju rumah indekost-nya benar-benar mengharu biru. Ia benar-benar dikalahkan waktu. Perempuan itu membuat rasa cengeng-nya mendadak keluar. Hampir saja, mata ia mengeluarkan hujan, tapi Madin menahan. Mengingat-ingat bahwa air mata itu tak pantas untuk Delisa.

Seharusnya, perempuan yang dianggap memberi rasa nyaman itu bisa menjadi tempat yang pas untuknya. Bukan meninggalkan tanpa permisi. Setelah tahu keadaannya yang begitu nelangsa. Memiliki Bapak yang berjuang melawan maut dengan kanker yang dideritanya. Serta bayang-bayang resign setelah acara wisuda gadis itu. Lalu, hidup kembali di tanah asal. Berharap dengan status baru bersama si gadis sambil menata hidup yang lebih baik, juga mengabdikan waktu untuk orang tua. Harapan yang kemudian kandas, setelah gadis itu memutuskan untuk pergi.

Cinta memang penuh kejutan. Seseorang yang begitu diharap menjadi sandaran bisa mengkhianati rasa begitu saja. Tanpa perlu permisi. Tanpa perlu berkata. Tanpa perlu berpisah.

“Madin!” suara Ibu menggema dari luar membuat Madin tersadar membiarkan air hujan membawa kenangan lewat tangannya.

Ia segera membasuh tangan dengan hujan. Lalu mengempasnya begitu saja. Serupa menghempas segala kenangan yang pernah tercipta.

“Masuk, Bu.”

Ibu segera masuk. Mengendarkan pandangan kepada putra bungsunya. Perempuan firdaus itu kemudian menatap heran pada satu-satunya anak yang tinggal bersamanya.

“Ada apa?”

Madin menggeleng lemah. Ia tak tahu harus menjawab apa. Ia takut jika keterusterangannya membawa petaka. Tapi, jika tidak bercerita, ia juga tak tahu bagaimana caranya menyingkirkan kenangan akan Delisa. Sekalipun muridnya di masa ia mengajar dulu kini menawarkan rasa yang sama.

Apakah baik bagi lelaki untuk terlalu mendramatisir suasana? Apakah baik bagi ia untuk selalu mengenang gadis yang pergi bersama hujan? Apakah baik hidup dalam kenangan yang menyiksa? Dan, apakah …. apakah ….

Ah! Pertanyaan-pertanyaan tak jelas itu benar-benar meloncat ke dalam pikiran Madin. membuatnya diam dalam bisu.

“Kalau tidak mau cerita ya tidak apa-apa. Tapi, di luar ada tamu yang harus kamu temui.”

**

“Jika kamu hadir hanya membawa luka, kamu tak perlu ada di depan mata,” ucap Madin tajam pada tamunya setelah Ibu meminta izin untuk membuatkan minuman.

Tamu itu menatap Madin penuh tekanan. Madin mengeluh dalam hati. Ia sungguh-sungguh tak percaya, jika tamu yang datang adalah Delisa.

“Kamu salah sangka,” papar Delisa tersekat.

Ibu datang membawakan teh hangat, lalu pamit ke dalam. Barangkali perempuan itu sedang membersamai Bapak.

“Aku meninggalkanmu karena merasa tak pantas bagimu.”

“Klise!”

“Kamu terlalu baik bagiku.”

“Apakah kamu mencari orang yang lebih buruk dariku?”

“Bukan begitu maksudku.”

“Perempuan itu memang sulit dimengerti. Ia menolak lelaki yang dianggapnya terlalu baik. Jika nanti disakitin oleh lelaki pilihannya yang lebih buruk. Ia dengan mudahnya mengatakan semua lelaki sama saja.”

“Bukan begitu maksudku.”

“Lalu, apa?”

Delisa tak menjawab. Percakapan-percakapan itu mendadak tidak sehat. Dada Madin begitu bergemuruh ketika berperang kata dengan mantan kekasihnya itu. Suara-suara yang bernada halus yang selama ini disimpannya meluap begitu saja. Nadanya benar-benar tinggi. Membuat ibu bahkan harus ikut campur menyuruh Madin mengecilkan suara.

“Nggak enak didengar tetangga!”

Protes Ibu itu juga membuat Madin bersama Delisa bungkam seketika.

“Aku hanya tidak siap bersamamu,” ungkap Delisa benar-benar memukul Madin.

Membangun komitmen bersama Delisa sejak pertengahan kuliah membuat Madin mengenalkan perempuan itu pada kedua orang tuanya. Begitupun Delisa. Hanya saja, ketika Delisa tahu keadaan Madin yang berubah. Mendadak perempuan itu pergi. Pergi bersama yang membuat rasa nyaman lain.

“Kamu takut kan hidup bersamaku. Bersama ibu yang hanya seorang pedagang ikan, bersama Bapak yang hidup dengan kankernya. Kamu takut jika nanti hidup bersamaku dalam keadaan melarat. Kamu takut ikut campur ngerumat Bapak. Kamu takut. Kamu hanya takut. Rasa takut itu membuatmu tak siap. Begitu kan?”

Delisa hanya mengangguk. Tak bicara. Hanya isakan air mata turut di wajahnya.

“Sudah kuduga!”

Kemudian, sunyi menjelma.

Madin mengatur napas. Suaranya yang tadi berupa emosi diaturnya sedemikian rupa membuat keadaan tenang.

“Lalu, untuk apa kamu ke sini?”

Perempuan itu kemudian mengambil sebuah kertas di tasnya. Kertas yang berisi undangan menempuh hidup baru. Madin menarik senyum di wajahnya.

“Aku akan datang.”

Perempuan itu pun langsung pamit. Pergi bersama hujan. Tapi, nama perempuan itu tak langsung pamit di hati Madin. Dan, ibu tahu itu. tahu sekali. Di dada perempuan firdaus itu, Madin melampiaskan rasa sakit.

“Ingat, Nak. Hidupmu bukan melulu tentang dia. Kamu harus bisa membuka hati,” pesan Ibu begitu tulus. “Dan, jika kamu benar-benar berusaha belajar mencintai perempuan lain. Buatlah ia tak hanya menerimamu, tapi juga menerima keadaan keluarga.”

Madin mengangguk larut dalam hujan yang diciptanya.

“Hujan memang memiliki sifat sedih, tapi percayalah selepas hujan ada pelangi yang membuat bahagia bagi kita. Kehilangan Delisa bukan akhir segalanya. Masih ada dia yang menerimamu tanpa syarat apa-apa.”

Madin mengangguk mengerti. Sekali pun ia tak tahu, apakah bisa mencipta rasa pada muridnya.

Situbondo, 9 Oktober 2019

Gusti Trisno merupakan mahasiswa S2 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang. Pemilik nama lengkap Sutrisno Gustiraja Alfarizi ini pernah meraih juara 2 Penulisan Cerpen dalam Pekan Seni Mahasiswa Jawa Timur 2016dan menerima Anugerah Sastra Apajake 2019. Bukunya yang telah terbit: Museum Ibu (Kumpulan Cerpen), Ajari Aku, Bu (Kumpulan Puisi), dan Rindu Paling Akbar (Novel).

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *