Tanah Leluhur
Rini Intama
Batavia abad ke 17, Tjoe Hok masih kecil ketika orang tuanya membawa dia ke tanah Batavia. Tanah yang kaya dan ramah. Boen adalah ayahnya, seorang laki-laki kuat, pedagang dan pelaut yang gagah berani mengarungi samudra menggapai harapan. Dia memutuskan datang bersama keluarga dan ratusan orang dari sebuah negeri yang terkenal sebagai pedagang itu. Bersama perahu-perahu Cina lainnya yang menepi di Batavia, perahu mereka membawa barang dagangan porselen dan beberapa kapal memuat barang-barang lain.
[iklan]
Angin laut dan perahu-perahu besar memang telah membesarkan Tjoe Hok. Riak ombak, dan camar-camar adalah darah yang mengaliri nadinya. Tahun-tahun itu adalah kegembiraan masa kanak-kanaknyayang penuh dengan mimpi dan petualangan. Bersama keluarganya. Tjoe Hok dibesarkan dalam suasana berjuang dan penuh mimpi. Ayahnya mengajarkan bahwa perjuangan adalah bagian dari hidup dan untuk menggapai mimpi-mimpi itu. Lalu, hingga pada masa dimana dia harus mengakhiri mimpi , ketika pelabuhan telah mulai hiruk pikuk penuh dengan perahu-perahubergambar naga dan benang-benang lampion menjuntai indah.
“Semakin banyak kapal datang dari negerimu, Tuan Boen,” ujar Van Eych , seorang opsir Belanda yang bertugas di pelabuhan. Laki-laki itu tersenyum sinis menjabat tangan Boen.
“Tanah ini begitu ramah, Tuan Van Eych,” jawab Boen tenang.
“Itu makanya bangsa kami datang terlebih dulu,” sahut Van Eych sambil mengetuk-ngetuk ujung tongkat panjangnya ke tanah.
“Dan kami ikut berpesta di sini,” jawab Boen tertawa keras.
“Apa yang kau bawa besok pagi dalam kapalmu, Tuan Boen,” tanya Van Eych lagi.
“Beberapa ton cengkeh, Tuan Van Eych,” sahut Boen tenang. Mata opsir itu membelalak. Alisnya terangkat tinggi.
“Hmm…!” jawab Van Eych menahan geram. Boen tersenyum menyambut kemenangan.
Sejak saat itu beberapa orang pribumi ditemukan mati di beberapa tempat. Boen mengenal mereka sebagai penjual hasil bumi, karena beberapa minggu sebelumnya mereka menjual cengkeh dan lada kepadanya. Darah Boen mendidih. Harga sebuah kemerdekaan yang begitu mahal. Langit pelabuhan mulai mendung. Pertikaian politik dagang antara orang-orang Tionghoa dan Belanda mulai memercik api kemarahan . Perlahan, huru-hara mulai terjadi.
Karena itu, pada akhirnya, sekitar tahun 1740 Pemerintah Hindia Belanda melalui kongsi dagangnya dengan tegas mengeluarkan keputusan mengusir mereka dari tanah ini. Siapa saja orang-orang Tionghoa yang tidak mematuhi aturan ini, maka kematian akan siap menjemput. Beberapa teman Boen ditangkap dan dipulangkan ke negeri asal. Beberapa orang yang dikenalnya harus mengakhiri hidupnya tanpa cerita. Dia ingat saat itu hampir setiap hari semua orang mengajaknya terus bersembunyi. Mereka memilih berpindah kea rah barat kota. Saat itu Tjoe Hok menangis karena harus meninggalkan kapal kebanggaannya.
“Kenapa kita terus bersembunyi?” tanya Tjoe Hok.
“Di luar sana banyak orang jahat, nak, yang akan menangkap kita,” jawab ibunya lembut. Mata Tjoe Hok meredup saat membayangkan apa yang sedang terjadi saat itu.
“Siapa yang jahat?”
“Ssssttt…!” isyarat ibunya sambil menempelkan jari telunjuk di bibirnya yang pucat.
“Kenapa mereka harus menangkap kita?” tanya Tjoe Hok lagi. Ibunya terdiam sambil mengusap kepala anak laki-lakinya.
“Lalu kapal kita?” tanya Tjoe Hok lagi. Ibunya menghela nafas dalam.
“Tidurlah Tjoe Hok, ini sudah malam!” ujar bapaknya. Tjoe Hok kecil lalu merebahkan kepalanya di pangkuan ibu. Bersama anak-anak lainnya mereka harus bersembunyi di sebuah ruangan gelap dan pengap. Bangunan yang dibangun bapaknya dan orang-orang kampung itu menyerupai sebuah goa di kaki bukit, dikelilingi pohon-pohon akasia dan semak belukar.
Tiba-tiba…
Tok… tok… tok… terdengar suara ketukan di pintu. Suasana menjadi tegang, mereka saling pandang. Beberapa perempuan langsung mendekap anak-anaknya yang masih kecil di dada mereka. Boen melangkah perlahan menuju pintu; menempelkan telinganya di sana.
“Boen… ini aku A Lung,” terdengar suara di luar, lalu di ruangan terdengar helaan nafas lega.
“Ada apa, Lung?” tanya Boen sambil menggeser peti-peti kayu dan membuka pintu dengan tiga palang besar.
“Orang-orang yang terakhir dibawa ke kapal bulan lalu, semua dibuang ke laut,” ujar A Lung dengan suara bergetar, lalu terdengar beberapa isak tangis.
“Kata siapa, Lung?” tanya Boen gusar.
“Tadi aku mendengar beberapa orang Belanda mengatakannya di dermaga,” sahut A Lung dengan suara terbata-bata.
“Untung kamu tidak tertangkap, Lung,” suara Kong keras, lantas menghampiri dan menepuk pundak A Lung.
“Aku bersembunyi di balik peti-peti barang di pelabuhan,” jawab A Lung pelan.
Darah Boen mendidih, tangannya mengepal dan memukul meja.
“Belanda keparat!” teriaknya. Semua terdiam.
Malam hari para lelaki berkumpul. Mereka berbicara pelan mengatur strategi meninggalkan kota untuk bergabung dengan para pemberontak pribumi di pusat Batavia. Esoknya segerombolan orang sudah berkumpul di sebuah tempat di balik bukit. Mereka bertemu dan menggambar denah di atas tanah dengan ujung kayu.
“Boen bersama orang-orangmu menyerang kota bagian utara, sementara kami akan ke arah selatan,” ujar seorang laki-laki berbadan tegap dan berkulit hitam. Boen mengangguk lalu menyiapkan pasukan bergerak ke arah utara. Sekilas dia mengingat para perempuan dan anak-anak yang tertinggal di ruang pengap itu. Dadanya berdenyut.
Kerusuhan pun mulai berlangsung di berbagai tempat, dan keadaan mulai bertambah tegang. Orang-orang Cina di sekitar pusat kota juga sudah bersatu dengan pemberontak dan mulai menyerbu pasukan musuh di setiap sudut kota. Massa terus bergerak, mereka berteriak “Majuuu…!”
Satu per satuorang-orang sudah mulai roboh bersimbah darah. Langit jingga menyimpan amarah dan ketakutan yang tumpah ruah, harga diri yang terjarah dan kemerdekaan yang terjamah. Kemudian Boen harus menjerit ketika menyaksikan Liem, ayahnya, disiksa lalu dibunuh.
“Maafkan aku, pa,” teriak Boen seraya menutup mata ayahnya yang terbelalak dan kepalanya penuh darah. Lalu, Boen berlari membopong adik laki-lakinya yang terkulai di samping jenazah ayahnya yang mati tanpa aroma bunga.Tapi itu pun harus berakhir ketika Shen, adiknya, sudah meregang nyawa, Boen menurunkan dia di atas mayat-mayat lain, air matanya mengalir deras.
Langit berawan, tembok-tembok kota jadi saksi sejarah yang sunyi, ketika pemberontakan dan pembantaian pun terjadi. Suara perang bergemuruh, tak peduli mati.
“Lari… lariii!” seru Boen lagi, mengajak orang-orang ketika pasukan musuh mulai bergerak menyusun perlawanan , pembantaian tanpa henti. Mereka berlari ke semak-semak di bagian pusat kota lalu menyusuri hutan menembus jalan mencari kata menang, sementara beberapa orang menangis ketakutan.
Pemberontakan terjadi di mana-mana. Orang-orang mati kelaparan dan dibantai. Lalu ribuan mayat tergeletak dan dibuang ke Rawa Bangke. Boen mengusap matanya, ada bapak dan adik laki-lakinya di antara tumpukan mayat itu.
Boen terus menyimpan dendamnya, terbayang saat dia harus menyaksikan kompeni membunuh orang-orang itu.Dia terus menembang kisah itu dalam doa panjang.
Serangkaian kisah telah kubawa ke tanah ini, tentang lautan samudra yang telah kutinggal jauh.
Seperti imlek-imlek sebelumnya, tahun ini mereka tak lagi merayakan kegembiraan, hanya diam dan menundukkan kepala. Ada seberkas cahaya putih melintas-lintas di langit abu-abu.
“Ada apa?” tanya Mey Yin ketika dua hari kemudian melihat suaminya dan beberapa orang datang malam itu.
“Papa, Shen dan ribuan orang mati dibantai,” jawab Boen menahan tangisnya , mata Mey Yin basah.
“Lantas kita mau ke mana?”
“Pergi ke mana saja kaki melangkah,” jawab Boen tak berdaya.
“Pulang saja, Boen,” ujar Mei mulai menangis.
“Pulang kemana, Mei?” tanya Boen dengan gusar.
“Ke tanah kita.”
“Ini tanah kita, Mey!” teriak Boen. Tangis Mey semakin keras. Beberapa orang ikut menitikkan air mata.
“Tapi aku rindu merayakan imlek di sana,” kata Mey Yin terbata-bata.
“Kita bisa merayakan imlek di mana saja, Mey.”
“Sudahlah, Boen,” ujar Kong melerai.
“Biarkan saja agar dia mengerti bahwa kapal-kapal telah pergi jauh meninggalkan kita semua. Dan inilah tanah kita,” jawab Boen berapi-api.
Malam itu menyimpan kisah tentang ribuan orang yang mati sia-sia. Debu-debu kota tertiup angin kemarahan. Ratusan rumah menjadi abu, tumpukan mayat semakin meninggi dan bergelimpangan di sepanjang jalan. Pertumpahan darah tak terelakkan lagi. Setelah pemberontakan ditumpas dengan kejam. Berhari-hari Boen dan ratusan orang terus melarikan diri, membawa anak dan istrinya menghindari kebiadaban itu. Bau amis darah telah menyesakkan dadanya. Lupa pada kaki yang melepuh menyusuri jalan.
Dan puncaknya, ketika Belanda akhirnya menghentikan pembantaian itu, perjanjian damai pun digelar. Sejak siang itu mereka membuang orang-orang etnis Tionghoa yang berhasil menyelamatkan diri, bagian dari sisa-sisa peristiwa pembantaian itu. Belanda menunjuk sebuah tanah harapan dengan perjanjian bahwa mereka bersedia memenuhi persyaratan membuka lahan dengan menganut system Tanam Paksa. Orang-orang Tionghoa itu diminta untuk menanam tanaman yang hasilnya akan dikirim ke Eropa sebagai komoditas dagang Belanda.
Awalnya mereka menyebut perpindahan mereka adalah menyelesaikan kisah sedih itu dimana mereka berharap penuh pada tanah ini, yang akan memberi mereka nafas dan kehidupan yang tak punya lagi perang.Tapi tanam paksa itu sendiri adalah perang tanpa kata yang menhadang mereka.
“Apakah kami boleh menanam tanaman lain, Tuan?” tanya Boen hati-hati.
“Tidak!” Suara orang Belanda terdengar jelas.
“Kenapa, Tuan?” tanya Kong berani, lalu… door suara senapan dan peluru menembus jantungnya. Semua tertunduk diam, bahkan menangis pun mereka tak bisa. Dada Boen berdetak. Kong sahabatnya harus pergi dengan cara itu. Suasana hening. Suara itu adalah jawaban yang harus diterima selain kata mati yang siap menunggu dari selongsong senapan yang sudah dikokang di tangan-tangan kekar itu. Sudah terlalu banyak luka yang mengerat langit.
Pada akhirnya perjajian Tanam Paksa terpaksa diterima dan disetujui; perjanjian yang membuat mereka tetap melarat dan tercekik. Suara mobil serdadu Belanda yang mengintai setiap waktu, suara-suara cangkul mengayun dan arit menyabit rumput menandakan kehidupan baru itu telah berlangsung sunyi. Meski berladang, menggarap tanah, menyemai benih, menunggu bulir-bulir padi menguning dan batang-batang jagung yang berambut adalah bagian dari keinginan yang kosong. Meski luka mereka masih belum mongering karena harus meninggalkan perahu-perahu di dermaga, melupakan laut, ombak, dan camar-camar, membuang senjata, melupakan luka tentang peristiwa pembantaian itu.
Tanah ilalang di kaki langit, di sana mereka sekedar ingin menembang lagu damai. Kemudian entah bagaimana orang-orang menyebut tanah ini dengan nama Kampung Sewan. Awalnya tanah ini terhampar luas dengan hutan lebat tak berpenghuni, gemercik air aliran sungai Cisadane yang membelah kota, cericit burung masih terdengar di sana-sini, merajut mimpi tentang harapan dan bongkahan tanah keras yang masih berdiri angkuh. Mereka hidup seadanya menempati tanah bersemak dan sebagian lagi menempati tanah sepanjang bantaran sungai Cisadane yang membentang.
Semua menulis tentang pelarian ke tanah ini adalah bagian dari sejarah yang pedih. Seperti lembaran kisah yang tak lagi pernah dibaca orang hingga kesaksian sejarah yang tertulis dalam kertas-kertas rapuh dan membusuk.
Mey mematikan computer,menyudahi tulisannya sejenak, air matanya jatuh berderai. Dia menghela nafas panjang dan menulis kisah ini dari dongeng pengantar tidur ‘Tentang Tanah Leluhur’ yang sejak dia kecil saat masih bisa mencium aroma tanah itu dan orang-orang menyebutnya Cina Benteng. Kisah itu telah ratusan kali diceritakan oleh A Yin ibunya, seorang perempuan bermata sipit berkulit gelap yang lahir di Tanah Sewan dan begitu mencintai tanahnya. A Yin kini telah pergi dan jenazahnya telah menjadi abu saat terjadi keributan atas penggusuran tanah itu. Tanah yang telah didiaminya secara turun temurun.
November 2013.
Rini Intama,
Ibu rumah tangga kelahiran Garut Jawa Barat pemilik sebuah Lembaga Pendidikan ini kesibukan sehar-harinyaa adalah mengajar dan menulis. Kesukaan menulis dan belajar sastra sudah sejak duduk di bangku SMP. Ia menulis puisi, cerpen dan novel. Karya-karyanya yang berupa puisi dan cerpen banyak tersebar di beberapa antologi bersama. Antara lain, Kado Sang Terdakwa, Merapi Gugat, Negeri Laut, Skizoprenilove, dan banyak lagi. Panggil Aku Layung adalah novel perdananya. Buku kumpulan puisinya, Kidung Cisadane, terpilih sebagai 5 Buku Puisi Terbaik versi Yayasan Hari Puisi dan meraih Anugrah Acarya Sastra dari Badan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Selain itu, buku tersebut juga ditetapkan sebagai Karya Sastra Unggulan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) bidang Puisi tahun 2019.