Taksonomi Cipta, Rasa, Karsa Ki Hadjar Dewantara

sebagai Upaya Melestarikan Kebudayaan

Oleh: Wawan Susetya*

ADA gagasan Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendidikan bangsa Indonesia, yang sangat menarik mengenai konsep Taksonomi Cipta Rasa Karsa terutama bila dimaksudkan sebagai upaya untuk melestarikan kebudayaan.

Ki Hadjar Dewantara (lihat Darmanto Jatman dalam Psikologi Jawa, 1997) memperkenalkan konsep Taksonomi Cipta, Rasa, Karsa; yang oleh banyak kalangan dinilai menggunakan ‘othak-athik mathuk’, yakni dengan dicocokkan dengan susunan Aksara Jawa (HA NA) CA RA KA; Ca untuk Cipta, Ra untuk Rasa, dan Ka untuk Karsa.

Dalam penjelasannya mengenai Taksonomi Cipta, Rasa, Karsa tersebut, Ki Hadjar Dewantara mengklasifikasi mengenai rasa, yakni sebagai berikut;

Rasa Pangrasa, yakni rasa badan wadhag, seperti yang dihayati seseorang melalui indranya; rasa pedas, rasa gatal, kemudian juga rasa yang hadir dalam kebadanan seseorang, seperti misalnya rasa sakit atau rasa enak.

Rasa Rumangsa, yakni rasa eling, rasa cipta, rasa grahita, seperti misalnya ketika seseorang menyatakan bahwa Kramadangsa telah ‘ngrumangsani kaluputane’ atau ‘rumangsa amung titah, Kramadangsa amung caos sukur.’

Rasa Sejati, yakni rasa yang masih mengenal rasa yang merasakan, dan rasa yang dirasakan. Sudah manunggal, tetapi masih dapat disebut. Rasa damai, rasa bebas, rasa abadi termasuk dalam pilihan ini.

Sejatining Rasa, yakni Rahsa, yang berarti hidup itu sendiri yang abadi.

Dalam proses penciptaan—proses kreatifnya—Ki Sastrapustaka sudah menggunakan rahsa dalam merasakan keindahan. Ia melukiskan proses kreatif ini sebagai sesuatu yang paling dalam, yakni dari suasana suwung. Darmanto Jatman kemudian menggambarkan suasana suwung dengan ungkapan; “Osik-ginugah, wisik-ngumandhang, Cipta-winedhar, Rasa-tumama, Karsa-adreng.”

Wacana mengenai rasa memang amat luas, sebagaimana yang diungkapkan Ki Ageng Soerjomentaraman bahwa hanya dengan jalan mentransendensikan rasa, maka manusia dapat mengembangkan rasa yang lebih tinggi, yakni rasa bebas.  Dalam kepustakaan Jawa, setidaknya dikenal beberapa macam rasa, di antaranya rasa begja (rasa beruntung), rasa cilaka (rasa terkena musibah), rasa seneng (rasa senang), rasa sengit (rasa benci), rasa bebas atau rasa mlenet.

Akhirnya dikenal pula istilah ‘memurnikan rasa’; yakni dengan menembus rasa itu menuju rasa yang lebih mulia. Memahami rasa dengan rasa dalam rasa, atau dalam kepustakaan ‘Pangestu’ diungkap sebagai ‘bawa raos salebeting raos’ (memurnikan rasa di dalam rasa).

Sri Mangkunegara IV pun juga menjelaskan mengenai ‘rasaning urip’ ke dalam kehidupan sehari-hari; yakni dimaksudkan untuk mengetahui makna hakikat hidup, sebagai berikut;

“Rasaning urip iku, krana momor pamoring sawujud, wujuddollah sumrambah ngalam sakalir, lir manis kalawan madu, endi arane ing kono.” Artinya; “Rasa hidup itu, karena  manunggal citra berujud, kesaksian terhadap Tuhan berada di alam, bagai manis dengan madu, manakah sebenarnya.”

“Endi manis endi madu, yen wis bisa nuksmeng pasang semu, kasikep ing tyas kacakup, kasat mata lair batos.” Artinya; Mana manis mana madu, apabila sudah menghayati gambaran itu, pengertian sabda Tuhan, dirangkul dalam hati, terlihat lahir batin.”

“Ing batin tan kaliru, kedhap kilap liniling ing kalbu, kang minangka colok celaking Hyang Widhi, widadaning budi sadu, pandak panduking liru nggon.” Artinya; “Dalam batin tidak salah, segala cahaya indah diteliti, sebagai obor petunjuk mendekat Tuhan, keselamatan budi pinandhita, serta perobahan terjadi.”  

“Nggonira mrih tulus, kalaksitaning reh kang rinuruh, nggayanira mrih miwal warananing gaib, paranta lamun tan weruh, sasmita jatining endhog.” Artinya; “Bagaimana usahamu berhasil, terlaksana yang dicari, agar dapat melepas penghalang gaib, apabila tidak tahu, perumpamaan kejadian telur.”

“Putih lan kuningpun, lamun rasa titah teka mangsul, denen nora mantra mantra yen ing lair, bisa aliru wujud, kadadeyane ing kono.” Artinya; “Putih dan kuningnya, apabila menetas berbalik, tidak diduga bahwa kenyataan, berganti wujud, kejadian di situ.”

“Istingarah tan metu, lawan istingarah tan lumebu, dene ing njro wekasane dadi njawi,    rasakna kang tuwajuh, aja kongsi kasturon.” Artinya; “Dapat dipastikan tidak keluar, dapat dipastikan tidak masuk, kenyataan di dalam menjadi di luar, pikirlah dengan sebenar-benarnya, jangan terlanjur tidak mengerti.”

“Karana yen kebanjur, kajantaka tumekeng saumur, tanpa tuwas yen tiwasa ing dumadi, dadi wong ina tan weruh, dheweke den anggep dhayoh.” (pupuh Gambuh, pada 1-7). Artinya; “Sebab apabila terlanjur, kecewa sepanjang hidup, tidak ada guna bila mati, menjadi orang hina tak tahu, diri dianggap tamu.”

“Wong Jawa iku nggone rasa,” demikian Darmanto Jatman—dalam bukunya Psikologi Jawa (1997)—menyitir sebuah ungkapan yang sangat dikenal di kalangan masyarakat Jawa.

Menurutnya, orang dianggap kasar bila ia tidak tahu rasa. Makanya, orang yang tidak halus perilakunya dianggap durung Jawa (belum Jawa). Rasa, jelas Darmanto Jatman, dengan demikian sudah menyatu dengan Jawa. Ungkapan ini, setidaknya, mengisyaratkan bahwa orang Jawa sangat menjunjung tinggi terhadap rasa. Sebab, setiap diri (manusia) sebenarnya sudah dikaruniai oleh Tuhan tentang piranti (alat) rasa itu, sehingga potensi rasa pada seseorang tadi diaktifkan atau tidak, benar-benar bergantung pada orang yang bersangkutan.

Kata ‘jawa’ sendiri bermakna dua. Pertama, pulau Jawa ini. Kedua, ‘jawa’ identik dengan orang yang sudah mengetahui rasa. Jadi, bila ada orang Jawa yang tidak berperilaku halus dianggap belum “jawa”. Itulah sebabnya, Darmanto Jatman menyatakan bahwa rasa sudah menyatu dengan orang Jawa.

Suwardi Endraswara (2003) juga menyebutkan dalam konteks kehidupan masyarakat Jawa: “Wong Jawa nggone semu, papaning rasa, tansah sinamun ing samudana”, maksudnya dalam segala aktivitasnya, manusia Jawa sering menggunakan simbol-simbol tertentu, segala tindakan menggunakan rasa, dan perbuatannya selalu dibuat samar. Simbol-simbol tersebut merupakan gambaran sikap, kata-kata, dan tindakan yang abstrak, pelik dan wingit.

Sementara, Purwadi dalam bukunya Semar Jagad Mistik Jawa (2004) menjelaskan bahwa laku mistik Kejawen yang dilaksanakan dalam tempat, tatacara dan waktu yang spesifik, jelas terdapat aneka macam bentuk kiasan budaya yang tidak wantah (jelas). Bahkan, hampir semua laku budaya yang ada dalam ritual merupakan serentetan simbol-simbol budaya spiritual. Dan, simbol-simbol budaya tersebut digunakan untuk mengekspresikan gagasan, emosi, dan pemikiran yang bersifat transental.

Lebih jauh dikatakan oleh Suseno FVM & Reksosusilo (1983) bahwa dalam kesusastraan Jawa Klasik, rasa dapat bermakna sangat dalam, yakni ‘hati nurani’. Dalam bahasa aslinya, yaitu Sansekerta, ‘rasa’ mempunyai berbagai arti. Arti pokoknya ialah ‘air’ atau ‘sari’ buah-buahan atau tumbuhan. Dari situ, rasa lalu berarti pengecapan (taste), perasaan (perasaan cinta, marah, belas kasihan, kemesraan dan sebagainya), tapi rasa juga berarti sifat dasar (charakter) dari seorang manusia. Namun rasa juga berarti ‘inti’, ‘suara suci’ yang merupakan pernyataan kodrat Ilahi. Bagi para pujangga, rasa berarti kenikmatan terdalam (delight, charm), sedangkan rasa dari suatu karya sastra ialah ‘inti dasarnya yang halus dan dalam’.

Daftar Kepustakaan

  1. Darmanto Jatman, Psikologi Jawa, Penerbit Yayasan Bentang Budaya Yogyakarta, 1997.
  2. Purwadi, Dr, Semar ‘Jagad Mistik Jawa’, Penerbit Media Abadi, tahun 2004.
  3. Suseno FVM & Reksosusilo, Etika Jawa dalam Tantangan, Penerbit Yayasan Kanisius Yogyakarta, 1983.
  4. Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa, Penerbit Cakrawala Yogyakarta, 2003.

Wawan Susetya adalah Sastrawan-budayawan & penulis buku, tinggal di Tulungagung, Jawa Timur

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *