Erry Amanda di Jagad Sastra Maya Indonesia
Situasi sastra di Indonesia banyak dirasakan oleh sastrawan dan budayawan dalam kondisi stagnan, perkembangannya semakin memudar seiring tumbangnya media cetak, koran, majalah yang memuat karya-karya sastra telah tergilas oleh perkembangan jaman, apalagi sejak adanya jaringan internet, munculnya media sosial Facebook, Instagram, Youtube dan platform aplikasi virtual lainnya, nyaris para penyair dan seniman kehilangan arah, hendak kemana nakhoda sastra bermuara, tidak ada lagi dermaga yang bisa disinggahi.
Namun demikian tidak pada ERRY AMANDA, meskipun usianya sudah 84 tahun, ia masih sehat dan semangat dengan spirit; lupa usia, lupa sakit, lupa nganggur. Hari-harinya dilalui dengan aktivitas bermanfaat dan produktif berkarya dalam segala rupa, semisal; bermain musik piano, gitar, menggambar sketsa, melukis digital, fotografi, menulis puisi, meneliti tentang alam yang dijelajahi. Pria kelahiran di Bojonegoro yang saya kenal dua tahun lalu, menyimpan banyak misteri yang tersembunyi dan memiliki multitalenta yang tidak bisa diikuti. Status dan karya-karya beragam, salah satunya puisi di status FB yang seringkali diunggah.
[iklan]
Puisi-puisi dengan diksi yang sarat makna, mengandung multidimensi itu memancing kritikus sastra di Facebook HUDAN HIDAYAT untuk keluar dari persembunyiannya, setelah lebih dari lima tahun bertapa tidak mengkritisi perkembangan sastra. Hudan pun meminta ijin kepada Erry Amanda untuk mengulasnya. Ketika mendapat ijin saya agak terkejut, karena dari awal Erry Amanda, sepanjang menulis, apa saja, puluhan tahun tidak mau membuat buku, bahkan banyak kerabat dan sahabat yang ingin menerbitkan. Namun selalu ditolak, termasuk karya lukis dan fotografi tidak mau dipublikasikan, serta teori yang ditemukan, “Saya tidak mau ada orang yang menulis tentang saya, kecuali kalau saya sudah meninggal,” begitu ia berpesan kepada saya pada suatu hari di rumahnya.
Larik puisi yang dihadirkan Erry oleh Hudan akan terus bergerak tapi bukan dalam gerak angin, melainkan gerak vertikal naik ke langit. Dalam esainya yang panjang ini Hudan Hidayat menyatakan, tepatnya mengutip kitab suci Surah Ar-Rahman ayat 33, bahwa bila kita sanggup menembus/melintasi langit dan bumi, tapi kita tidak bisa melakukannya tanpa kekuatan. Itulah rupanya yang diam-diam mereka amalkan: Hudan mencoba menembus langit bahasa yakni makna puisi, atau sastra dan bahasa itu sendiri. Erry Amanda menembusi benda-benda dan menghadirkannya ke dalam dunia pemikiran, fotografi, bahkan puisi.
Hudan Hidayat semakin nikmat mengamati metafor, mengulik dibalik rangkaian kata, membedah setiap celah, mengulas hingga tuntas tentang sosok Erry Amanda dan menempatkannya di jagad SASTRA MAYA INDONESIA.
99 Puisi karya Erry yang dipilih menjadi antologi puisi dalam esai SUARA-SUARA TERBUNGKAM, sesungguhnya ke-aku-an dan ke-AKU-an karya yang harus bisa dipertanggungjawabkan, sehingga menjadi nutrisi yang menyehatkan, ibarat vitamin yang layak dikonsumsi bagi para penyair baru maupun yang sudah berpredikat penyair senior. Diharapkan buku ini kelak menjadi rujukkan baru, membuka cakrawala baru untuk tumbuh kembangnya SASTRA INDONESIA.
Eki Thadan