Ceritanya, raja Baduatai dari kerajaan Ampu Barayo ingin mengadakan sayembara sabung ayam. Pemenangnya akan dijodohkan dengan putrinya yang bernama Putri Sawang Langit. Kabar tentang sayembara tersebut terdengan sampai ke telinga seorang raja muda dari negeri Muaro Bodim di sekitar pesisir barat daerah Sumatera Barat. Sutan Panduko namanya. Seorang raja yang adil dan bijaksana sehingga negerinyapun makmur dan rakyatnya hidup sejahtera. Sutan Panduko yang masih bujangan itu tertarik untuk mengikuti sayembara tersebut. Niatnya untuk mengikuti sayembara lalu ia sampaikan kepada kakaknya, Siti Hasanah, tapi kakaknya menyarankan jangan ikut, karena karena ia tahu sifat dan perangai Raja Baduatai.
“Jangan, adik. Bukankah kamu tahu, siapa Raja Baduatai itu? Aku tak ingin terjadi sesuatu dengan dirimu,” cegah Siti Hasanah, sang kakak.
“Aku mendengar kabar bahwa Putri Sawang Langit selain cantik, dia adalah putri yang baik dan rendah hati. Jika aku berhasil memenangi sayembara itu, aku akan membawanya ke istana ini,” kata Sutan Panduko.
[iklan]
Sejenak, Siti Hasanah terdiam, lalu berkata kepada adiknya. “Baiklah, jika memang itu sudah menjadi kehendakmu. Tapi, ingat, dirimu harus berhati-hati ketika berhadapan dengan Raja Baduatai yang zalim dan serakah itu!” pesan Siti Hasanah.
Sutan Panduko segera mempersiapkan segala keperluan untuk ayam jago kesayangannya, ayam yang terkenal sakti dan sudah berkali-kali menang dalam pertandingan adu ayam. Dengan penuh percaya diri, Sutan Panduko berangkat menuju kerajaan Ampu Baroyo. Setibanya di negeri tersebut, para peserta sayembara sabung ayam dari berbagai negeri telah berkumpul. Di antara peserta tersebut hadir pula seorang Raja bernama Sutan Dihulu yang cukup dikenal kelicikannya.
Maka, pada keesokan harinya pertandingan sabung ayam dimulai. Raja Baduatai beserta Permaisuri dan Putri Sawang Langit ikut hadir menyaksikan jalannya pertandingan. Para penontong dari berbagai kalangan juga sudah berdatangan dari penjuru negeri untuk memberi semangat kepada jagoannya masing-masing.
Ketika kemudian terdengarlah Gong berbunyi sebagai tanda kalau pertandingan akan segera dimulai. Satu persatu para peserta memasuki arena pertandingan sabung ayam yang telah disediakan. Selama pertandingan berlangsung, sang Putri terlihat tegang dan berharap-harap cemas, menanti siapa yang bakal menjadi pendamping hidupnya.
“Ya Tuhan! Siapa pun pemenang dalam pertandingan ini, hamba berharap dia adalah calon suami yang baik, arif, dan bijaksana,” doa Putri Sawang Dilangit dalam hati.
Pertandingan sabung ayam pun berlangsung itu. Satu per satu ayam-ayam bergugran di arena pertandingan. Sudah cukup banyak ayam yang tewas. Kini tinggal ayam jago milik Sutan Panduko dan Sutan Dihulu yang bertahan. Kedua ayam jago tersebut segera dihadapkan di kalangan untuk diadu tanding. Mulanya, ayam jago milik Sutan Dihulu menyerang terlebih dahulu. Serangannya bertubi-tubi hingga ayam jago milik Sutan Panduko kewalahan untuk menghindari serangan itu. Namun, ketika ayam jago Sutan Dihulu mulai kelelahan, ayam Sutan Panduko berbalik menyerang. Dengan sekali terjang, ayam Sutan Dihulu jatuh tersungkur, klepek-klepek di tanah dan tewas seketika itu juga.
Melihat ayam jagonya tewas, Sutan Dihulu kesal dan marah. Ia tidak mau menerima kekalahan ayamanya itu. Maka, segera ia tumpahkan kekesalannya itu dengan langsung menyerang Sutan Panduko dengan sebuah pukulan. Tapi pukulan itu dapat dipatahkan oleh Sutan Panduko. Sutan Dihulu pun semakin marah. Segera ia mencabut kerisnya.
“Terimalah serangan kerisku ini!” teriaknya seraya menikamkan keris ke arah perut Sutan Panduko. Dengan gesit Sutan Panduko berkelit. Keris Sutan Dihulu menyambar angin. Merasa diremehkan oleh lawan, Sutan Dihulu makin kalap dan gencar menyerang dengan kerisnya. Tanpa ia sadari, akhirnya ia kehabisan tenaga, dan pada saat yang tepat, Sutan Panduko berhasil menepis serangan dan menangkap keris lawannya. Keris itu lalu secepat kilat ia tikamkan ke dada Sutan Dihulu. Jleb…! Keris menancap di dada Sutan Dihulu yang licik itu. Ia tewas terkena senjatanya sendiri.
Melihat peristiwa itu, Raja Baduatai terkejut dan segera bangkit dari singgasananya. “Prajurit! Buang mayat itu ke laut dan tangkap raja muda itu!” titah Raja Bauatai.
Akhirnya, Sutan Panduko dijebloskan ke dalam penjara. Meskipun ayam jagoannya telah menang sayembara, ia dianggap tidak berhak menikahi sang Putri karena telah melakukan pembunuhan. Ayam jagonya pun disita oleh Raja Baduatai.
Sementara itu, para pengawal Sutan Panduko cepat-cepat kembali ke negeri Muaro Bodim untuk melaporkan peristiwa itu kepada Siti Hasanah.
Sesampainya di negeri Muaro Bodim, salah seorang dari pengawal menghadap ratu Siti Hasanah menyampaikan laporan. “Ampun, Baginda Ratu! Hamba ingin melapor,” katanya pengawal tersebut.
“Apa yang telah terjadi dengan adikku, pengawal?” tanya Siti Hasanah dengan cemas.
“Ampun, Baginda Ratu! Sutan Panduko ditawan oleh Raja Baduatai,” jelas si pengawal.
Pengawal itu kemudian menceritakan semua peristiwa yang dialami oleh Sutan Panduko hingga akhirnya ditawan oleh Raja Baduatai. Mendengar cerita itu, Siti Hasanah menjadi marah.
“Ini tidak bisa dibiarkan. Raja Baduatai yang sombong itu harus diberi pelajaran,” kata Siti Hasanah dengan geram. “Pengawal! Cepat panggilkan putraku, Bujang Kirai!”
“Baik, Baginda Ratu,” jawab pengawal itu dan segera pamit undur diri. Tak berapa lama kemudian, pengawal itu sudah kembali bersama Bujang Kirai.
“Ada apa gerangan Bunda memanggilku?” tanya Bujang Kirai sambil menatap mata ibundanya yang nampak berkaca-kaca.
“Ketahuilah, Putraku! Pamanmu sedang ditawan oleh Raja Baduatai.”
“Apa? Paman Sutan Panduko ditawan?” tanya Bujang Kirai dengan terkejut.
“Benar, Putraku. Kita harus segera bertindak. Untuk itu, Bunda akan mengutusmu ke negeri Ampu Baroyo untuk membebaskan pamanmu,” kata Siti Hasanah. “Tapi, kamu harus berangkat sendirian, Putraku.”
“Baik, Bunda, aku siap melaksanakan perintah,” jawab Bujang Kirai.
Agagnya, Siti Hasanah yang bijak itu sudah mengetahui kemampuan putranya. Ia tidak ingin menyerang Raja Baduatai dengan mengerahkan pasukannya karena ia juga tahu jika pasukan raja Baduatai itu sangat besar. Dengan hanya mengutus Bujang Kirai seorang diri, ia berharap putranya itu dapat menyelinap masuk ke dalam istana dan membinasakan Raja Baduatai yang keji itu. Tidak lupa, Siti hasanah membekali putranya dengan Siraut, sebuah pisau kecil yang berujung bengkok, pusaka warisan dari ayahnya.
Sesampainya di Kerajaan Ampu Baroyo, Bujang Kirai dengan hati-hati menyelinap masuk ke dalam istana. Dengan kecerdikannya, ia mencari tahu di mana keberadaan pamannya sekaligus mencari tahu rahasia kekuatan Raja Baduatai. Setelah berhasil memperoleh keterangan dari salah seorang penjaga bahwa rahasia kekuataan Raja Baduatai adalah bahwa kekuataannya akan berkurang ketika ia ingin membuang air kecil di waktu bangun pagi.
Ketika fajar menyingsing di ufuk timur, Bujang Kirai dengan kesaktiannya menyelinap masuk ke kamar Raja Baduatai tanpa diketahui penjaga. Namun, Raja Baduatai tak kalah saktinya. Ia yang sedang terlelap langsung terbangun karena mengetahui kedatangan tamu tak diundang.
“Hai, anak muda. Siapa kamu dan kenapa masuk ke dalam kamarku?” tanya Raja Baduatai dengan geram dan heran.
“Aku Bujang Kirai dari Kerajaan Muaro Bodim. Aku datang kemari hendak membebaskan pamanku, Sutan Panduko,” jawab Bujang Kirai dengan tenang.
“Dasar anak bodoh kau! Kamu ke sini hanya untuk mengantarkan nyawa!” hardik Raja Baduatai. “Keluar, dan pergi dari sini kalau masih sayang pada nyawamu!”
“He he..aku tidak akan pergi sebelum pamanku dibebaskan!” sahut Bujang Kirai santai.
Raja Baduatai menjadi sangat marah. Bangkit dari pembaringannya dan langsung telapak tangannya melayang hendak menampar muka Bujang Kirai. Akan tetapi tamparan itu dengan mudah dapat dielakkan. Raja Baduatai tak menyangka kalau tamparannya dapat dengan mudah dielakkan dengan mudah oleh si pemuda kurang ajar ini. Diam-diam ia menyadari, bahwa pemuda yang dihadapinya ternyata berilmu cukup tinggi. Raja Baduatai pun mengeluarkan segala kemampuan dan kesaktiannya. Pertarungan sengit pun segera terjadi. Pada awalnya, Raja Baduatai nampak gagah perkasa dan tangguh. Serangannya datang bertubi-tubi silih berganti. Namun, lama-kelamaan, Raja Baduatai ingin buang air. Pikirannya pun bercabang. Ketika ia lengah, Bujang Kirai segera menikamnya dengan pisau pusaka Siraut. Raja Baduatai tewas seketika itu juga.
Kabar tentang tewasnya Raja Baduatai segera diketahui oleh seluaruh penghuni istana. Bahkan juga telah tersebar ke seluruh penjuru Negeri Ampu Baroyo. Rakyat negeri datang berbondong-bondong dan berkumpul di halaman istana. Di hadapan mereka, berdiri salah seorang punggawa kerajaan untuk menyampaikan ucapan bela sungkawa.
“Ketahuilah wahai rakyat Ampu Baroyo. Raja kita sudah wafat, tewas di ujung pisau Siraut Bujang Kirai,” kata punggawa kerajaan itu.
Mendengar kabar itu, rakyat bukannya bersedih melainkan bersorak gembira.
“Hancurlah kezaliman… hancurlah kezaliman…!”
Punggawa kerajaan itu kemudian kembali berkata, “Baiklah, saudara-saudaraku. Yang mati mari kita kuburkan, yang tinggal mari kita pelihara!”
Setelah Raja Baduatai dimakamkan, para punggawa istana dan beberapa wakil rakyat negeri itu mengadakan musyawarah untuk mencari pengganti raja.
“Sesuai dengan adat negeri ini, kita harus memilih seorang raja baru. Menurut kalian, siapa yang berhak menjadi raja?” tanya punggawa istana.
“Kita semua sudah tahu bahwa orang yang telah berjasa menghancurkan kezaliman di negeri ini adalah Bujang Kirai. Alangkah baiknya jika dia kita angkat menjadi raja,” ujar seorang peserta sidang.
Seluruh peserta sidang menyetujui. Namun, Bujang Kirai yang juga ikut dalam pertemuan tersebut menolaknya.
“Maaf, kedatangan saya ke mari bukan untuk merebut kekuasaan, tetapi ingin membebaskan paman saya, Sutan Panduko,” kata Bujang Kirai, “Sebaiknya, tahta pimpinan kerajaan ini kita serahkan kepada Putri Sawang Langit. Dialah yang lebih berhak menjadi raja di negeri ini. Busuk tebu sebatang, belum tentu busuk tebu serumpunnya.”
Akhirnya, Putri Sawang Langit dinobatkan sebagai Raja Ampu Baroyo yang baru. Sementara itu, Bujang Kirai membawa pamannya pulang. Setelah kesehatannya kembali pulih, Sutan Panduko kembali memerintah Kerajaan Muaro Bodim dengan arif dan bijaksana. Semua itu adalah berkat jasa dan keberanian Bujang Kirai.
* * *
Sept. 2020
Dapoer Sastra Tjisaoek
Diceritakan kembali oleh: Abah Yoyok