Seonggok Tubuh di Gedung Putih Jalan Kaliurang
Ahmad Radhitya Alam
Permulaan 2020 perusahaan asing itu mengirimkan beberapa anggotanya ke berbagai daerah, awalnya aku berharap tidak menjadi korban serta tumbal perusahaan tersebut. Namun apa daya, aku dan sahabat karibku yang bernama Adrian harus mengikuti progam sial itu. Aku harus berkemas dan mempersiapkan diri secara matang karena jadwal keberangkatanku esok temaram, keesokan hari aku harus pura-pura meneteskan air mata di depan direktur perusahaan yang arif dan bijaksana karena untuk menutupi rasa ketidakmauanku,
“Mengapa engkau berpura-pura menangis, Fang? Padahal biasanya amarahkau membara sekali?” Kata teman karibku yang satu ini, Aku hanya tersenyum memandang wajahnya yang penuh dengan jerawat itu. Setelah kami berpamitan lalu diberilah aku uang recehan sebagai uang pesangon darinya. Sasongko, sopirku yang setia harus menggendongku kedalam mobil box itu untuk menyiasati keberadaanku.
Singkat cerita aku dan kawanku telah tiba ditempat tujuan, tubuhku lunglai saat aku tiba di gedung itu, aku memang sering dibawa kemana-mana entah kemana tetapi aku lebih suka dibawa kemana saja kecuali di salah satu gedung di Jalan Kaliurang ini. Terik matahari yang menembus sampulku seakan-akan membuat aku dan kawanku merasa sangat lelah, ditambah lagi dengan suasana gedung yang sangat mencekam karena tidak ada satu pun orang yang ada disana, kecuali Pak Adam yang mengawani di setiap malam dengan secangkir kopi yang ada di meja.
Memang udara malam itu sangat dingin, membuat tubuhku yang belum terselimuti menggigil kedinginan sampai hamper hypothermia rasanya. Tetapi tidak kurasakan lagi kedinginan itu setelah uap kopi panas milik Pak Adam menerpa wajahku sehingga aku tertidur sejenak,
Namun ditengah-tengah perjalananku menuju mimpi yang indah rasa sesak di dadaku membuat aku terbangun di tengah malam. Seketika aku batuk karena asap rokok yang memenuhi ruangan sangat mengganggu pernapasanku. Benar saja, amarahku benar-benar sulit sekali dibendung, namun apa dayaku yang tidak bisa meluapkan amarah dengan benar.
“Huk, huk, huk. Apa ini? Wah, dasar manusia tidak tahu diri. Siang, malam selalu saja membuat ulah. Memang, aku disini makhluk baru yang perlu adaptasi tetapi setidaknya kau jangan menggangu waktu tidurku!” kataku dengan suara yang sangat lantang. Namun aku heran mengapa dia tidak menghiraukanku, sungguh dunia ini sangat tidak adil. Memang aku adalah mahkluk yang suka marah dan inginnya selalu diperhatikan. Tetapi esok hari aku akan menjadi makhluk yang mandiri.
Tunas sinar matahari telah muncul bersamaan dengan terdengarnya suara jago yang merangkai diksi-diksi, aku alihkan pandangan kesamping tubuhku dan melihat makhluk malas ini masih keenakan dengan tubuh yang meringkuk serta mata tertutup, dan yang lebih parahnya lagi suara dengkurannya yang membuat aku tak nyaman. Langsung saja aku tendang dia dengan tubuhku sekuat tenaga, sehingga ia terbangun sambil mengusap air liur yang mengalir dipipinya.
”Eh apa-apan sih kamu itu, Fang. Orang lagi enak-enaknya tidur malah dibangunkan.” katanya dengan pandangan nanar pada matanya yang setengah terbuka.
“Memangnya mengapa apa salahnya jika aku harus membangunkan makhluk yang bermalas-malasan, huh.” kataku dengan membuang muka.
“Kreek,,” suara pintu nampaknya terbuka terlihat sosok pria gendut dan wanita cantik nan seksi, kupandangi dengan sangat jeli dan ternyata makhluk gendut itu adalah Pak Adam. Lalu tidak sengaja aku mendengar percakapan mereka
“Mbak Ratna, ini ada berbagai buku yang dikirimkan dari pusat, ada berbagai judul, di antaranya Diksi-diksi untuk Pertiwi, ada novel Tak Disangka, Untuk Matamu, Architecture of Love, Friend Zone dan masih banyak lagi, mohon segera didata dan diurus masalah administrasinya ya. Jangan lupa Anda sampul semulus dan seindah wajah mbak,” katanya sambil sedikit main mata padanya. Namun Mbak Ratna enggan memberikan balasan melainkan senyuman yang sinis dengan penuh harap jika Pak Adam ini cepat meninggalkan tempat ia bekerja, awalnya aku merasa senang karena penjaga perpustakaan ini bukan orang yang menjengkelkan seperti Pak Adam namun pikiranku berubah ketika ia penasaran dengan judulku lalu mencoba mengangkat tubuhku yang tebal dengan sangat kasar. Tiba-tiba aku dijatuhkannya entah itu sengaja atau tidak, aku merasa jika itu hanya unsur ketidaksengajaan. Kemudian ia mengambilku dan membolak-balik lembar demi lembar tubuhku sambil dibukalah aku dihadapanya. Aku merasa senang karena aku lebih dulu diperhatikan daripada Adrian temanku yang malas, tetapi lebih senang lagi ia si Adrian karena ia puas tertawa karena melihat tubuhku yang tebal dibolak-balik, diputar-putar, dibuka digeret kesana kemari hingga akhirnya aku lebih dahulu disampul.
“Weeeeekk, yeee aku memang makhluk beruntung karena aku bisa merasakan hangatnya tubuhku karena sampul ini, sabar ya Ian sebentar lagi mungkin giliranmu,” kataku sambil sedikit mengece dan menertawakan balik dia. Sekarang aku telah dijejerkan dengan deretan makhluk papan atas yang sedikit acuh karena maklum aku orang baru yang memang perlu beradaptasi, ditambah aku termasuk buku yang paling baru karena aku dikeluarkan di Januari ini, bebarengan dengan berita virus corona dan kerajaan palsu. Kesombongan mereka tidak membuat aku patah semangat untuk memamerkan tubuhku ke khalayak ramai, sekarang akan segera aku lihat permainan sampul yang tiada tara engkau sahabat karibku, Adrian.”
Jam dinding menunjukan pukul 10.45 WIB, banyak orang yang berdatangan dengan memakai pakaian yang beragam, ada yang memakai jilbab, ada yang memakai jilbab dengan bawahan pensil, ada pula yang tidak memakai jibab memakai rok mini, ada anak kecil yang kehilangan ayahnya, ada ibu muda beserta suaminya, ada ibu yang kehilangan anaknya dan yang lebih parahnya lagi ada anak kehilangan ayah ibunya, semua bercampur aduk di dalam gedung putih yang ukuranya tidak terlau luas, yaitu 7×12 meter.
Mereka mulai membaca novel yang bergenre romansa cinta, kumpulan puisi, kumpulan puisi percintaan dan ada yang mencari tentang puisi tentang perjuangan mengejar cinta, tidak banyak orang yang mencari buku puisi sejarah dan perjuangan bahkan tidak ada satupun yang berani mencoba menyentuhnya, entah takut binasa atau memang ia alergi setelah menyentuh dan membaca buku kumpulan puisi sejarah dan perjuangan indonesia ini.
Aku heran mengapa ia harus membawa pulang mereka dengan meminjam dan membaca dirumah, mengapa tidak dibaca disini saja? Ah itu bukan urusanku, urusanku hanyalah memikirkan dimana hati dan pikiran mereka dengan sangat percaya diri mereka hafal lagu despacito daripada tempat dan tanggal lahir Tuanku Imam Bonjol, mengapa mereka lebih tahu isi dari novel selebgram daripada tahu makna puisi Karawang-Bekasi, mengapa semua ini terjadi, mengapa anak sebesar kelereng saja sudah tahu makna novel Friend Zone daripada makna Pancasila, seberapa parah dan terhinanya sejarah dan perjuangan bangsanya sendiri?, memang pengalaman pahit yang aku rasakan dihari pertama yang mengecewakan.
Aku adalah diksi-diksi untuk Pertiwi yang enggan melihat kesombongan makhluk-makhluk di dunia ini, dengan kepercayaan diriku aku mencoba bersuara dihadapan cermin. ”Pantaskah aku di dunia dengan coretan tinta yang membasahi lembarku? Pantaskah aku harus melihat kedepan dengan todongan seribu panah di wajahku? Pantaskah aku merasakan belaian lembut yang membuka satu persatu lembarku dan memahami isi hatiku? Dan pantaskah aku menilai diriku yang lemah ini dihadapanmu semua? Iya, engkau semua adalah penikmat kesengsaraan, di mana engkau akan bersenang-senang di atas penderitaan orang yang terdahulu?”
Aku dapat merasakan kepedihan ini yang mendalam, di mana sahabatku yang dulu bersamaku kini telah pergi membawa kebanggan tersendiri di mana makhluk yang berdiri di sampingku bertambah sombong dan sebenarnya aku ingin diperhatikan oleh khalayak. Aku ini makhluk apa? Aku mengharapkan perhatian dari segelintir orang yang datang ke gedung putih ini, tidak lebih dari itu. Tapi aku juga ingin diakui di khalayak umum jika aku pantas berdiri dihadapannya dan berjajar dengan makhluk sombong-sombong itu. Sejenak aku terdiam memikirkan kapan dan bagaimana aku bisa berdiri dengannya, pengalaman pertama yang membuatku malas dimana aku kehilangan teman sejatiku dan kehilangan kehormatanku, atau memang aku hilang arah dan salah ditempatkan?
Kulitku mulai mengelupas, sampulku yang dulu mulus kini menjadi kusut dan lepas dari tubuhku, tubuhku yang dulu tebal kini bertambah tebal karena makhluk kecil ini merayap dan menggerogoti tubuhku, rasa sakit tubuhku karena tertumpuk teman-temanku. Sekarang aku tidak lagi bersama kawanku, tidak lagi bersama Pak Adam yang menyebalkan, aku juga tidak bersama dengan kau si novel yang sombong dan aku sudah jauh dari Adrian sahabat karibku, lalu sekarang aku dimana? Aku tetap pada hakikatnya dan tetap pada kehormatanya yang tipis. Namun aku dapat mendengar nada-nada indah dan dapat merasakan hembusan suara yang indah. Tapi tidak dari barisan muda mudi milenial melainkan suara ruh para patriot yang tinggal.
“Engkau tidak sendiri, engkau bersamaku gejolakku, aku dapat mengirimkan energi dari pertiwi, kau tetap berjasa bagiku karena kau wakil suara kami, engkau tidak malang tidak separah diriku yang ditembak mati, dan engkau tidak sama seperti kami yang tertumpuk bersama tulang dan darah, tubuh kami hancur fisiknya, namun jiwa kami tetap hidup bersama hembusan angin malam.”
Ahmad Radhitya Alam, lahir di Blitar, 2 Maret 2001. Bergiat di Sanggar Lincak dan Teater Terjal. Tulisannya dimuat di antologi bersama dan beberapa media cetak serta elektronik. Dapat dijumpai di Instagram: @radhityaalam_, Facebook: Ahmad Radhitya Alam.