Oleh: Depri Ajopan

Pengantar koran itu memasuki gang sempit bersama motor bututnya yang berisik. Gayanya selalu ugal-ugalan. Ia membawa sepeda motor persis seorang penunggang kuda yang dikejar musuh. Di atas motor ia mendongakkan kepala, seakan menunjukkan setitik keangkuhan. Sambil ia bernyanyi di sepanjang jalan yang banyak retak dengan suara yang serak. Mungkin hati lelaki itu lagi bersinar. Ia tidak lagi mengetuk pintu pelanggannya yang satu itu, seorang prof. Ia cukup teriak beberapa kali. Jika tidak ada yang menyahut, ia sendiri yang membuka pintu jika tak terkunci, menerobos masuk beberapa langkah, meletak koran itu di atas meja. Jika pintu terkunci, ia meletak koran di luar tepat di atas lantai, seperti yang ia lakukan sekarang. Beberapa detik kemudian.

“Pak Herman tunggu,” pak prof  yang memanggilnya. Ia memakai sarung, kaus putih lengan panjang. Kacamatanya yang memakai tali belum dilepas. Suaranya yang bergema menyerupai halilintar.

“Sini dulu Pak Herman!” Herman dengan sigap segera menghentikan motornya, menoleh ke belakang. Ia datang dengan setia memenuhi panggilan itu.

“Ini uang seratus tiga puluh ribu, maaf aku sudah jatuh tempo satu hari,” pak prof melempar senyum memberikan uang itu. Pengantar koran hanya terdiam, menganggukkan kepalapun ia tidak, tak ada melempar senyum balasan walaupun sekadar berbasa-basi. Kalau ia seorang mahasiswa, dan kejadian itu pas dalam ruang belajar, pasti ia sudah dapat teguran keras, disemprot dengan kata-kata yang sifatnya bukan saja mengkritisi tapi menghujat, bukan tujuan membangun melainkan menjatuhkan kepribadian seseorang. Sekarang pak prof masuk ke dalam kamar menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Di dalam kamar ia mencari ketenangan. Ia bersandar meluruskan kaki yang pegal serasa digigit berjuta semut. Kemudian ia bangkit, duduk di atas meja kerjanya. Perlahan-lahan ia mencicipi koran itu, mendahulukan membaca berita utama, lalu membolak-baliknya, sampai pada  ruprik sastra. Ia terkejut dan merasa tertantang setelah melihat tulisanku dimuat.

Cerpen:  Seniman yang Terkutuk
Oleh     : Asnul Hady Saylendra

Melihat namaku tercantum di sana. Ia menatapnya lekat-lekat, dan ia membacanya sampai tuntas.

“Berengsek,  keparat itu pasti sengaja menjatuhkan nuraniku. Apa maksudnya dia tiba-tiba saja menulis  cerpen di koran langgananku. Pasti ia ingin melawanku. Aku harus siap bersaing sehat dengannya. Kalau perlu, aku harus mengkritisi karya sastranya sekarang juga, dan mengungkap kelemahannya sampai ke akar-akarnya.” pak prof geram, bicara pada dirinya sendiri. Ia yang berbuat seperti itu menanamkan budaya benci dalam hati dan terus memeliharanya, dan ia ingin melampiaskannya untukku. Ia telah meruntuhkan nilai pendidikan yang ada dalam dirinya. Seharusnya ia bangga mempunyai seorang lulusan sarja sastra yang pernah diajarnya sepertiku di fakultas FBS dulu. Apalagi setelah aku berhasil menembus penerbit mayor, dan beberapa  cerpenku dimuat di media lokal dan nasional. Selain itu  novel yang kutulis diterjemahkan ke beberapa bahasa asing. Tapi malah sebaliknya yang terjadi. Ia melempar koran itu dengan perasaan benci ke atas kasur. Keesokan harinya baru ia membaca ulang cerpen itu, memperhatikannya dengan saksama. Ia mengangguk-angguk. Sepertinya kepalanya sudah terisi penuh ide yang cemerlang. Ia duduk di depan komputer, menulis sebuah esai.

Beberapa Kelemahan Dalam Cerpen Seniman yang Terkutuk karya Asnul Hady Syailendra.
Oleh: Prof. Dr. Hendris

Wajar ia bangga dengan gelarnya itu untuk menginjakku. Aku yakin ia pasti merasa tersindir dengan isi ceritaku itu. Karena memang dia sendirilah yang kujadikan tokoh utama dalam kisah itu. Namanya saja yang disamarkan. Sedikit banyak tentu ceritanya dibumbui imajinasi. Dan itulah yang membuat ia naik pitam. Perlahan-lahan tombol komputer terus ditekannya, huruf demi huruf berjalan. Ia menghujat habis-habisan tulisanku dalam esainya. Ditulisnya tentang cerpenku seperti ini. Deskripsi mengandung rinci-rinci yang bagus. Sayang boros, berantakan, tidak berkembang menuju klimaks.1 Konflik tidak terlalu mengigit, dan yang lebih fatal tidak mampu mengundang rasa penasaran. Tulisan itu akhirnya dimuat, dan sampai juga di tanganku. Aku yang merasa diriku mulai berkembang, tiba-tiba saja layu sendirian di kamarku. Setahuku selama ini tidak ada tulisannya yang berbobot menggunakan bahasa yang menggigit dimuat di koran nasional. Entah aku yang kurang teliti memperhatikannya selama ini, jadi tidak pernah tahu. Setahuku sebelumnya ia tidak pernah mengirim tulisan apapun ke media nasional, walaupun sekadar mencoba. Tapi begitu melihat tulisanku yang berbau sastra ia langsung geram. Akhirnya ia berontak melawanku dengan cara menulis pula. Mungkin baru sekali itu ia mengirim tulisan ke koran nasional, dan hebatnya langsung diterima. Membaca tulisannya membuatku naik darah sampai datang waktu malam. Kuakui dia benar-benar mengagumkan dalam hal ini. Barangkali ia tidak pernah mengalami penolakan naskah berkali-kali sepertiku dulu. Berarti sainganku bukan orang sembarangan. Aku harus lebih berhati-hati mengambil sikap.

Aku berani bersumpah, mulai detik ini aku akan adu kecerdasan dalam menulis sastra dengan prof bajingan itu. Masih melintas bayangan dalam benakku. Aku tak lupa kenangan buram itu. Waktu aku melaksanakan sidang skripsi. Ia terkekeh-kekeh menutup mulut membolak-balik skripsiku seolah tidak bernilai di matanya. Aku terus menatap tajam kacamatanya yang menghina. Selesai aku menjelaskan isi keseluruhan skripsi yang kuteliti dengan suara melengking, ia membuka kacamatanya, siap merong-rongku, setelah melempar skripsiku ke atas lantai. Aku memperhatikan mata merah profesor itu. Ia memberiku nasihat  ketika hatinya membenciku.

“Kalau punya ilmu pakailah ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk. Dan ingat di atas langit masih ada langit.” Ia masih menggunakan pepatah lama. Apa ia tidak bisa menggunakan istilah baru, dengan diksi yang tepat, menggunakan retorika yang pas. Apa ia miskin bahasa. Rasa-rasanya takmungkin sebagai seorang prof sastra tak mampu melakukan itu. Ia merasa ketika aku menjelaskan materi seolah aku mengguruinya. Aku sengaja mengungkapkan secara detail, agar jangan ada prasangka buruk aku mengutip skripsi orang lain. Atau teori ilmuan tanpa mencantumkan nama pengarang, halaman dan judul buku. Aku tidak mau dituduh seorang    plagiat, karena memang aku bukan seorang penjiblak ulung. Namun sayang profesor bajingan itu telah salah menilaiku, berbeda dengan dosen lain.

“Saya keras begini karena Anda pun keras,” aku yang biasa dibentak dan dicemooh tidak  bergetar sedikitpun. Bahkan aku yang menggigil ingin tegak melawannya dengan suara menyerupai halilintar. Setelah kejadian itu, yang lebih menyakitkan hatiku, ketika aku datang menemuinya berkali-kali ke ruangan beliau, ia sengaja sibuk. Terkadang mendadak pergi menyebut ada urusan  penting. Mungkin dia anggap urusanku tak penting. Ia menyepelekan aku untuk yang kesekian kali.

“Kau temui aku jangan saat-saat genting seperti ini,” itulah kata terakhirnya, yang membuat darahku mendidih. Sampai-sampai aku berniat mengancamnya. Kalau skripsiku yang sudah direvisi belum dibubuhkan tanda tangan juga, aku terpaksa mencederainya di tengah jalan nanti. Astagfirullah, aku telah melakukan suatu kesalahan besar. Aku tak boleh bermain kotor seperti itu, akhirnya aku mengalah. Begitu bertemu kembali, karena ada maunya aku terpaksa mencium tangannya yang baru menjulur bersalaman denganku. Aku pura-pura minta maaf. Aku membayangkan teman-temanku mengintip dari jendela. Mereka merasa aku yang jadi tontonan kalah melawan profesor itu. Aku terpaksa merunduk di depannya seperti hamba. Walaupun sebenarnya aku merasa jijik melakukan hal yang memalukan juga memilukan buat diriku ini.

* * *

Sekarang aku sudah selesai, dan sudah dapat gelar Sarjana Sastra. Tambahannya mengambil S2 di luar negeri, tepatnya di salah satu Universitas  Jerman. Ia tidak punya kekuatan apa-apa untuk mematahkan aku saat ini. Kalau pun ada, aku sendiri yang harus berjuang keras untuk melawannya. Aku ambil selembar kertas. Aku sengaja menulis sepucuk surat untuknya, biar kelihatan lebih resmi pertarungan ini. Komunuikasi lewat tulisan menurutku kesannya lebih serius. Aku bubuhkan tanda tangan di bawah kertas penuh dengan kebencian, bukti aku tanggung jawab dengan isi surat itu. Aku berharap dia bergetar membaca suratku, dan takluk kepadaku.  Surat pun berlayar.

Kpd Prof  Hendris

Di tempat

Dengan hormat

 Bersama surat ini saya sampaikan kepada Bapak prof. Saya sudah membaca tulisan bapak di koran itu, yang telah memuat cerpen saya yang begitu berbobot. Di mana bapak yang merasa sebagai kritikus sastra,  mengkritisi tulisan saya begitu pedas. Apakah bapak bermaksud menunjukkan sikap objektif, membunuh tulisan saya dengan cara menulis pula? Tidak, saya yakin kalau saja bapak kuasa melarang peredaran tulisan saya dan membakar semuanya seperti yang dilakukan orde baru pada penulis yang berseberangan dengannya, pasti bapak akan melakukannya segera.  

Saya tahu apa tujuan bapak? Hanya untuk mendiskriditkan tulisan saya yang bagus dan bernilai itu, yang bapak sendiri pun belum tentu mampu menulis karya sastra semenarik itu. Di sini juga saya bermaksud menantang bapak untuk menulis di salah satu penerbit besar di negeri ini. Seandainya dalam waktu tiga sampai enam bulan setelah naskah saya sampai di meja redaksi, ternyata belum ada konfirmasi lebih lanjut, berarti naskah saya tidak lolos seleksi. Saya siap mengaku kalah. Tapi jika naskah bapak yang tidak lolos. Saya tidak pernah mengakui bapak seorang sastrawan, atapun seniman seperti yang sering dielu-elukan mahasiswa bodoh yang tidak punya kepribadian yang terus menerus menyanjung bapak, karena takut nilainya anjlok.

Asnul Hady Saylendra

Di kampung halaman

Beberapa hari kemudian, sepulang shalat, aku dapat kiriman surat. Kata-katanya begitu singkat,  membuat sakit hatiku.

Kepadamu Asnul, novelis yang angkuh.

 Puluhan tahun saya mengajar, baru kali ini menemukan lulusan sastra paling sombong  dan kurangajar yang pernah aku ajar. Aku siap memenuhi tantanganmu. 

Profesor

Aku keluar menatap bintang yang berkelip lewat jendela, sambil mengasah pikiranku yang tertunda dan tadinya tumpul, akhirnya jadi tajam kembali. Aku duduk di depan komputer, menekan tombol, huruf demi huruf muncul. Seniman yang terkutuk, Itulah judul tulisanku, yang akan kukembangkan jadi sebuah novel. Targetku, empat atau paling lambat dalam 6 bulan ini kelar. Aku berharap, setelah terbit nanti, prof itu terkagum-kagum membacanya, dan ia yang melawanku mengaku kalah di hadapanku.  

 Catatan:

  1. Ayu Utami, dalam bukunya berpikir dan menulis kreatif. Hal 109

Depri Ajopan, S.S. Lulusan Pesantren Musthafawiah Purba-Baru, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Menyelesaikan S-1 Prodi Sastra Indonesia di UNP. Sudah menulis beberapa karya fiksi dan sudah diterbitkan. Cerpennya pernah dimuat di beberapa media cetak dan online seperti, Singgalang, Riau Pos, Jawa Pos Radar Banyuwangi, Koran Merapi, Pontianak Post, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Sinar Indonesia Baru, Jawa Pos Radar Lawu, Lensasastra.id, Langgampustaka.com, tatkala.co, Kurungbuka.com, Labrak.co, LP Maarif NU Jateng, Harian Bhirawa, ayobandung.com, Mbludus.com, g-news.id, Literasi Kalbar.com, Radar Madura.id, marewai.com dll. Sekarang penulis aktif di Komunitas Suku Seni Riau mengambil bidang sastra.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *