
SEMANGAT IPTEK KEKINIAN
DI DALAM PUISI /AKU/ KARYA CHAIRIL ANWAR
1. AKSARA MEMINDAI TANYA
Satu diantara Penyair legendaris di Indonesia adalah Chairil Anwar. Hampir semua orang pecinta sastra, khususnya puisi, bisa dipastikan mengenal Chairil Anwar, bahkan ada yang hafal beberapa karya Puisinya. Satu diantara Puisinya yang sangat terkenal berjudul /AKU (SEMANGAT)/.
Teks puisi yang berjudul /AKU/ di tulisan ini, diambil dari buku terbitan Yayasan Hari Puisi yang berjudul “Puisi Puisi Lengkap Chairil Anwar, Peringatan 100 Tahun Chairil Anwar, Perayaan Hari Puisi Indonesia, 26 Juli 2022”.
Sebagai sarana dan prasarana untuk menikmati puisi biasanya memang bersumber pada penerbit dan penerbitan puisi. Keduanya bisa dalam bentuk: buku puisi, buku kumpulan puisi, atau pun buku antologi puisi, atau dari media elektronik semacam laman/website internet.
Adapun ketiga jenis buku di atas, yakni: buku puisi, buku kumpulan puisi, atau pun buku antologi puisi; sejatinya mempunyai pengertian dan fungsi yang berbeda. Beberapa perbedaan tersebut diantaranya termuat di Pedoman Penerbitan BRIN [2], yang kemudian bisa diadopsi untuk diterapkan di buku puisi. Adapun penerapannya, misal berupa pengertian sebagai berikut[3].
Buku Puisi
Buku puisi adalah buku yang berisi puisi. Penulisnya bisa tunggal, dua orang, atau lebih. Tulisan puisinya pun bisa berupa satu judul puisi dengan batang tubuh puisi sampai beberapa halaman, atau pun dengan banyak judul puisi. Masing masing judul puisi dianggap sebagai Bab atau pun Sub-Bab. Sehingga puisi puisi yang berada di dalam Buku Puisi, seolah olah merupakan satu rangkaian tarikan nafas yang tidak terpisahkan. Jika seandainya diambil satu baris saja dari puisi itu, maka buku puisi tersebut akan sulit dipahami, sebab ada satu mata rantai puisi yang hilang.
Buku Kumpulan Puisi
Buku kumpulan puisi adalah buku yang berisi kumpulan beberapa puisi. Masing masing puisi memiliki judul yang berbeda beda, dan tidak ada hubungan antara satu judul puisi dengan judul puisi yang lain. Artinya masing masing puisi bersifat berdiri sendiri, baik dalam: makna, logika, maupun rasa. Ketika sudah menjadi buku kumpulan puisi, jika diambil satu, atau dua judul puisi; kemudian dilepaskan dari rangkaian jilid buku, maka tidak akan berpengaruh pada makna dari puisi puisi yang tertinggal di jilidan buku kumpulan puisi. Karena mereka semua bersifat mandiri, berdiri sendiri sendiri.
Buku Antologi Puisi
Buku Antologi Puisi atau yang kadang disebut sebagai Buku Bunga Rampai Puisi adalah buku kumpulan puisi yang terdiri dari minimal sepuluh judul puisi. Masing masing Judul Puisi beserta isinya mempunyai topik bahasan, atau tema, dan atau isi substansi puisinya hampir sama, atau pun memang sama. Oleh karena itu secara terpisah, biasanya terdapat Prolog sebelum, dan Epilog sesudah batang tubuh isi Buku Antologi Puisi.
Prolog berisi kata pengantar yang berfungsi menyampaikan informasi ke pembaca, tentang bagaimana penting dan menariknya Buku Antologi Puisi tersebut.
Sedangkan Epilog adalah kata sambutan akhir yang menyampaikan ringkasan kesan & pesan masing masing puisi. Sehingga mampu memberikan gambaran bagaimana puisi puisi tersebut membentuk mata rantai dalam tema yang sama, atau pun hampir sama, meskipun masing masing judul puisi itu bisa bersifat mandiri sendiri sendiri. Oleh karena itu, apabila diambil satu atau dua judul puisi dari Buku Antologi Puisi, maka buku tersebut tidak berkurang maknanya. Puisi yang diambil pun tetap bisa berdiri sendiri dengan segala macam: makna, logika, dan rasanya.
Jika mengacu pada uraian tentang buku di atas, maka buku “Puisi Puisi Lengkap Chairil Anwar, Peringatan 100 Tahun Chairil Anwar, Perayaan Hari Puisi Indonesia, 26 Juli 2022”, yang diterbitkan oleh Yayasan Hari Puisi, dan berisi puisi /AKU/; boleh dikategorikan sebagai buku kumpulan puisi. Masing masing puisinya bisa mandiri, berdiri sendiri sendiri dalam hal: makna, logika atau rasa; meskipun berada di dalam satu buku kumpulan puisi yang sama.
Tentu puisi /AKU/ yang sangat terkenal itu, mestinya banyak memiliki sisi menarik yang bisa dinikmati, sehingga adanya rasa: kagum, bangga, dan penasaran; pada puisi ini tak lekang oleh perpindahan ruang, dan tak lapuk oleh berjalannya waktu, yang ujung ujungnya memang ternyata terus bisa dirasakan nikmatnya, seolah tak pernah berkesudahan.
Benarkah demikian, adakah sisi nikmat dari: makna, logika, dan rasa kekinian pada puisi /AKU/?
Atau adakah muatan universal yang bisa diterapkan di jaman kapan pun, dan di ruang mana pun?
Oleh karena itu agar bisa mengetahuinya, dan sekaligus menjawab pertanyaan di atas, dirasa perlu juga menikmati Puisi /AKU/, diantaranya misal dari sisi menyelami suasana kejiwaan masa lalu ketika puisi tersebut baru lahir di tahun 1943, dan dari sudut aroma kekinian di jaman milenial ini dengan segala semangat ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang sudah merambah ke semua arah kehidupan. Keduanya perlu dipindai agar terendus rasa nikmat puisi /AKU/ nya Chairil Anwar.
2. RANTAI DIKSI PENGUNGKAP MISTERI
Langkah awal dalam menikmati puisi, yakni dengan menuliskan judul puisi /AKU (SEMANGAT)/, menjadi puisi /AKU/ karya Chairil Anwar. Penulisan diksi /AKU/ huruf kapital mengacu ke judul puisi /AKU/, sedangkan diksi /Aku/ dengan suku kata /ku/ huruf kecil merujuk pada tokoh /Aku/ atau /aku/ lirik di batang tubuh puisi.
Selanjutnya mari mulai menikmati puisi lengkapnya seperti teks di Gambar 1 di atas. Teks tersebut kemudian ditulis ulang dengan menambahkan nomor urut di dalam kurung pada semua baris puisi. Hal ini semata mata agar lebih mudah merasakan ketika sedang menikmatinya. Adapun teks puisi /AKU/ tersebut seperti di bawah ini.
AKU
/Kalau sampai waktuku (1)
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu (2)
Tidak juga kau (3)
Tak perlu sedu sedan itu (4)
Aku ini binatang jalang (5)
Dari kumpulannya terbuang (6)
Biar peluru menembus kulitku (7)
Aku tetap meradang menerjang (8)
Luka dan bisa kubawa berlari (9)
Berlari (10)
Hingga hilang pedih peri (11)
Dan aku akan lebih tidak perduli (12)
Aku mau hidup seribu tahun lagi (13)/
(Maret 1943, versi dari buku “Kerkil Tajam dari Yang Terampas dan Yang Putus”)
Teks Puisi /AKU/ di atas terdiri dari 13 baris, yang sambung menyambung, seolah menjadi satu kesatuan utuh mata rantai yang tidak bisa dipisah pisahkan. Disamping itiu, puisi /AKU/ menurut tanda tahun di bawah puisi, tertulis tahun 1943. Pada tahun 1943 ini kemungkinan masih sangat jarang tersedia alat komunikasi yang bisa menghubungkan antara seseorang dengan orang lain yang memerlukan berkomunikasi. Tidak seperti pada saat ini, peralatan komunikasi berpotensi telah menjangkau hampir ke seluruh warga Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Ditambah dengan tersedianya sistem informasi elektronik yang banyak membantu dalam pelaksanaan komunikasi, misalnya bisa saling tukar menukar informasi. Namun demikian kondisi serba penuh keterbatasan komunikasi tersebut, ternyata Penyair Chairil Anwar tetap bisa melahirkan ungkapan ungkapan khas yang melegenda di dalam puisinya.
Di jaman sekarang, jika ada orang yang mampu mempunyai ungkapan khas yang berbeda dengan ungkapan orang lain, kemungkinan bisa diperoleh dari mesin pencari kata ataupun dari aplikasi perangkat lunak untuk keperluan tersebut[4]. Aplikasi seperti ini bisa berfungsi untuk memeriksa: sudah berapa kali seuntai ungkapan yang dipilih telah dipakai oleh orang lain. Aplikasi ini juga bisa dimanfaatkan untuk memilih ungkapan kata yang masih sedikit dipakai, bahkan belum pernah digunakan oleh orang lain. Hal ini juga akan membantu usaha seseorang agar dapat terhindar dari dugaan kemiripan atau pun plagiasi dengan ungkapan kata yang disampaikan oleh orang lain sebelumnya, baik dari segi substansi ataupun sistematika cara ungkap kata kata tersebut.
Di masa tahun 1943 tentu sangat sulit mendapatkan mesin pencari data elektronik, atau justru memang belum ada teknologinya. Semua masih dikerjakan secara manual, semisal melalui bicara langsung tatap muka, atau pun mendapatkannya melalui baca berita koran, atau datang ke kantor pusat informasi semacam perpustakaan. Di kala seperti itu Penyair Chairil Anwar sanggup melakukan hal hal sulit demi karya karya puisi yang akan dilahirkannya. Chairil Anwar bahkan sudah menguasai beberapa bahasa, semisal bahasa: Inggris, Belanda, Perancis, dan Jerman. Sedangkan untuk hadir di kantor perpustakaan di bilangan kota Jakarta di kala itu, memang sudah sering dilakukan, dan ujung ujungnya mengantarkan Chairil Anwar menjadi Penyair legendaris milik dunia internasional, bukan lagi hanya milik Indonesia[5]. Dari fakta fakta ini maka bisa dimengerti betapa: besar, berat, dan keras; perjuangan Chairil Anwar sampai bisa menemukan anugrah mendapatkan ungkapan ungkapan luar biasa di puisi puisi karyanya, termasuk di puisi /AKU/ yang bisa dinikmati oleh kalayak ramai sampai saat ini, dan masa yang akan datang.
Cara menikmati puisi /AKU/, satu diantaranya tentu bisa dari mencari informasi apa saja sisi menariknya melalui makna lahir dan batin[6] dari puisi /AKU/ itu sendiri, atau pun lewat tinjauan intertekstual[7] dengan puisi puisinya yang lain, semisal puisi puisi yang ada di buku kumpulan puisi puisi Chairil Anwar terbitan Yayasan Hari Puisi di atas.
Puisi puisi tersebut berpotensi bisa menjadi semacam penjelas atas kandungan makna dari puisi puisi yang lain, dalam arti bisa digunakan sebagai tafsir puisi dengan sesama puisi karya Chairil Anwar, yang mungkin masih terdapat kandungan misteri di dalam puisi, diantaranya berupa perlambangan, personifikasi, maupun penegasan[8].
Sebagaimana telah disampaikan bahwa menikmati ungkapan penyair di dalam buku kumpulan puisi, bisa melalui tafsir puisi dengan sesama puisi yang tayang di dalam satu buku kumpulan puisi, atau pun tidak menutup kemungkinan mencari informasi dari sumber lain di luar dari buku yang dimaksud, misalnya tentang pencarian informasi bagaimana Penyair Chairil Anwar bisa menemukan ungkapan bermakna, kemudian melahirkannya menjadi puisi, atas kegelisahannya di kala itu. Semuanya bisa lahir berkah dari adanya: pikir, rasa, dan logika; di jaman tahun tahun yang berdekatan dengan masa kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tentulah hal ini memang membutuhkan perjuangan: panjang, berat, dan keras.
2.1. Makna Kekinian Puisi /AKU/
Sejak puisi /AKU/ dilahirkan pada tahun 1943 oleh Sang Penyair Chairil Anwar, sepertinya sudah banyak kritikus sastra atau pun penikmat puisi mencoba berusaha menyajikan hasil telaah atau pun hasil penelusuran nikmatnya Puisi /AKU/ dari berbagai macam: sudut pandang dan latar belakang permasalahan, tujuan, serta metode masing masing; yang dipandang tepat sebagai peralatan pikir untuk membedah dan menelaah puisi tersebut. Beberapa diantara hasil telaah puisi /AKU/, misalnya menyatakan bahwa puisi /AKU/ mengungkapkan tentang sikap berani berjuang dalam semangat tinggi walaupun terdapat berbagai halangan yang dihadapi[9]. Ada juga yang menyatakan bahwa bahasa puisi /AKU/ bersifat: singkat, padat dan berirama kuat [10]. Sifat ini dipilih agar dapat mengungkapkan perasaan dan ekspresi pikiran Penyair. Di sisi lain ada yang menyatakan bahwa puisi /AKU/ mengandung gaya bahasa: perbandingan, penegasan, dan pengulangan[11].
Tentu tidak diragukan lagi, sudah sangat banyak orang yang: menikmati, mempelajari, meneliti, membaca sampai melagukan atau pun membuat musikalisasi Puisi /AKU/. Telah diketahui pula bahwa penyair Chairil Anwar sudah mendunia menembus ruang dan waktu di hati umat manusia, tanpa mengenal: suku bangsa, agama, ras, dan golongan. Semua bisa menikmati Puisi Chairil Anwar, khususnya puisi yang berjudul /AKU/. Padahal puisi tersebut lahir pada tahun 1943.
Jika sampai saat ini, mungkin juga di waktu yang akan datang masih tetap bisa dinikmati, berarti puisi ini berpotensi memiliki sisi kandungan semangat yang selalu relevan di sepanjang jaman. Untuk itu perlu diuji bagaimana dengan semangat kekinian yang cenderung serba tergantung pada iptek, sudah adakah semangat iptek di puisi /AKU/?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentu bisa menengok pada berbagai ulasan yang pernah ada, ternyata hampir bisa dipastikan bahwa ulasan ulasan tersebut cenderung pada tinjauan seputar semangat yang terkait dengan peristiwa kemerdekaan NKRI, baik sebagai individu pejuang maupun secara perjuangan kolektif seluruh bangsa Indonesia. Padahal jika mengacu pada semangat universal, sudah semestinya puisi /AKU/ bisa dimaknai dan dinikmati melalui adanya tanda tanda aroma kuat tentang pesan tersembunyi masa kini, atau bahkan masa depan. Pemaknaan ini bisa meliputi semangat iptek terkini, misalnya dari sisi judul /AKU/. Diksi judul /AKU/ mengandung potensi semangat ke-akuan yang cenderung penuh percaya diri dibandingkan dengan diksi /saya/, karena diksi /AKU/ biasanya digunakan untuk komunikasi sesama teman sebaya[12]. Dari sini terkesan adanya semangat kesetaraan yang berpotensi menjadi kekuatan tersendiri bagi pelaku iptek, lebih lebih jika sudah memenuhi persyaratan dasar ilmiah, yaitu: Logik, Obyektif, Sistematik, Andal dapat dibuktikan kembali, Dirancang, dan ber-Kontribusi [13].
Disamping itu diksi /AKU/ berpotensi bersifat: hemat kata, dan padat makna. Hemat kata dalam arti jumlah huruf diksi /AKU/ lebih sedikit dibandingkan dengan kata /saya/.
Diksi /AKU/ terdiri dari tiga huruf, sedangkan /saya/ terdiri dari empat huruf, padahal keduanya mempunyai arti yang sama sebagai kata ganti orang pertama tunggal. Penyair Chairil Anwar telah memilih kata /AKU/ dari pada kata /saya/. Hal ini memberikan isyarat bahwa Penyair telah memilih ungkapan dengan kata yang bernuansa lebih hemat kata.
Demikian juga dengan adanya tanda tanda padat makna di diksi /AKU/. Dalam pengertian umum di fenomena fisika bahwa kepadatan sebuah benda diukur dari rasio kepadatan antara massa persatuan volume. Semakin tinggi nilai rasionya menunjukkan bahwa benda tersebut semakin padat. Analog dengan pengertian ini, maka bisa dikatakan bahwa diksi /AKU/ bernilai lebih padat makna dari pada kata /saya/. Sebab dua kata ini mempunyai pengertian makna yang sama, tetapi faktor persatuan hurufnya berbeda. Jika diasumsikan bahwa pengertian makna yang sama ini, sama sama bernilai 100, dan diksi /AKU/ terdiri dari tiga satuan huruf, sedangkan kata /saya/ terdiri dari empat satuan huruf. Maka nilai rasio kepadatan makna diksi /AKU/ bernilai 33,3 kandungan arti padat makna, sedangkan kata /saya/ bernilai 25 kandungan arti padat makna. Hal ini menunjukkan bahwa diksi /AKU/ memiliki kandungan arti lebih padat makna dari pada kata /saya/.
Begitu pula tentang adanya isyarat bahwa puisi /AKU/ mengandung semangat menjangkau masa depan, sekaligus menyodorkan konsep penyelesaian atas problematika yang terjadi di masa depan. Adapun aroma semangat masa depan tersebut bisa dipindai melalui ungkapan yang mengandung adanya tanda tanda masa depan, khususnya semangat iptek.
Melalui logika yang mirip seperti di atas, selanjutnya bisa digunakan untuk menikmati puisi sampai ke baris terakhir Puisi /AKU/.
2.2. Terselip semangat Iptek di Puisi /AKU/
Suasana semangat iptek ternyata semakin tampak ketika sang penikmat puisi masuk ke baris (1), yaitu:
/Kalau sampai waktuku (1)/
Di sini bisa timbul pertanyaan yang mengacu ke masa depan, misalnya: “Waktu yang kapan?”
Jawabannya tentu bisa berpotensi mengarah pada waktu: ketika puisi /AKU/ dilahirkan, ataupun merujuk pada saat baris ke (13) menjadi mewujud nyata, /Aku mau hidup seribu tahun lagi (13)/, yakni ketika tokoh /Aku/ lirik mencapai usia ke seribu tahun. Diksi /lagi/ berpotensi mengandung pengertian selalu berulang, tidak akan pernah selesai, dalam arti selamanya berkelanjutan. Satu diantara yang bisa berkelanjutan adalah fenomena perkembangan iptek yang selalu mendapatkan invensi maupun inovasi baru pada setiap saat di seluruh belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Tentu untuk melanjutkan penikmatan ke baris yang lain yang masih merupakan karya sastra ini, biasanya sang penikmat tidak bisa terlepas dari usaha merasakan suasana kebatinan Sang Penyair pada saat di sekitar waktu kelahiran karya penyair[14]. Di kala itu, pada tahun 1943, tentulah rasa persatuan sesama anak bangsa, dan rasa senasib sependakian perjuangan bangsa sedang mendekati puncaknya menuju kemerdekaan NKRI pada tahun 1945. Ada kemungkinan besar bahwa diksi /Aku/ lirik bukan saja mewakili diri pribadi Sang Penyair sendiri, tetapi boleh jadi merupakan potret warga bangsa yang berhasil direkam oleh rasa dan pikir Penyair pada saat itu. Perekaman tentang suara persatuan bangsa ini, disimbolkan melalui diksi /Aku/, dan disampaikan oleh Penyair Chairil Anwar sebagai suara cita cita anak bangsa, melalui pengakuan tokoh /Aku/ dan /Ku/ lirik. Tokoh ini sejatinya sedang mewakili suara bangsa Indonesia pada: saat itu, saat ini, dan pada saat yang akan datang; yakni cita cita akan senantiasa hidup sampai /seribu tahun lagi/.
Pada saat mulai berusaha mencapai masa depan agar bisa /hidup seribu tahun lagi/, dan atau ketika telah tercapai, tatkala itulah terjadi kehendak diri, bertekad seperti di baris (2), (3), dan (4).
/‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu (2)
Tidak juga kau (3)
Tak perlu sedu sedan itu (4)/
Baris (2), (3), dan (4) berpotensi memberikan gambaran bahwa tokoh /Ku/ adalah seorang yang memiliki karakter kuat bagai baja paduan, tak goyah oleh rayuan, dan tak surut langkah karena tangisan /sedu sedan/. Karakter seperti inilah yang berpotensi menjadi pintu gerbang penyelesaian segala macam permasalahan yang timbul di masa depan, dalam menggapai cita cita pribadi maupun cita cita bersama seluruh bangsa Indonesia. Memang seringkali dari banyak cerita, bahwa ketika seseorang sedang dalam perjalanan memulai bekerja dan berusaha mewujudkan cita cita,
ada saja halangan, baik melalui: komentar merendahkan, pujian memabukkan, atau pun kabar menyedihkan. Semua halangan ini akan mendewasakan sang pejalan kehidupan untuk mencapai terwujudnya cita cita, atau justru bisa meluluh lantakkan segala usahanya dalam mencapai kemenangan hidup dan kehidupan. Oleh sebab itu sikap dan tindakan yang diajukan oleh Sang Penyair, patut menjadi inspirasi bagi penikmat puisi yang sedang berusaha menggapai cita cita menjadi nyata, impian menjadi kenyataan, yaitu: sikap yang kuat bagai baja paduan stainless steel dan tindakan yang fokus melesat bagai anak panah keluar dari busurnya, termasuk dalam hal berusaha mendapatkan invensi maupun inovasi baru di dunia iptek.
Dari sini kemudian timbul pertanyaan lagi:
”Sebenarnya siapakah tokoh lirik: /Aku/, /ku/, dan /kau/ di batang tubuh puisi?”
Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu perlu membayangkan suasana kejiwaan Penyair di kala itu. Seperti yang telah disampaikan bahwa boleh jadi tokoh /Aku/ dan /Ku/ lirik ini bukan hanya dalam pengertian sebagai diri penyair semata, tetapi juga merupakan personifikasi dari perwakilan bangsa Indonesia. Sedangkan tokoh /kau/ lirik juga berpotensi patut diduga sebagai wujud dari personil /Aku/ ketika sedang bercermin. Jadi sejatinya Penyair sedang berdialog dengan dirinya sendiri. Melalui diksi /Aku/, /ku/, dan /kau/, seolah tokoh si /Aku/, atau /Ku/ lirik sedang bercermin dengan dirinya sendiri, sambil menunjuk ke bayangan di dalam cermin sebagai sebutan /kau/ lirik.
3. SETANGGUH BAJA, SEFOKUS ANAK PANAH
Seperti yang telah disampaikan di atas bahwa sikap tekad bulat setangguh baja paduan, dan fokus serupa lesatan anak panah ini dimiliki oleh tokoh /AKU/, /Aku/ atau pun /Ku/ lirik dalam usaha mencapai cita cita, termasuk untuk mendapatkan capaian iptek terbaru. Kesan ini semakin menguat tatkala melangkah pada penikmatan di baris ke (5) dan (6).
/Aku ini binatang jalang (5)
Dari kumpulannya terbuang (6)/
Baris ke (5) dan (6) di atas berpotensi mengirimkan sinyal adanya sikap dari tokoh /Aku/ lirik yang cenderung mengikuti kehendak diri sebagaimana sikap /binatang jalang/ pada umumnya. Dalam penggunaan kata sehari hari antara diksi binatang dan hewan memang berbeda. Diksi /Binatang/ cenderung bermakna mahluk hidup yang bisa bergerak selain manusia dan tumbuhan yang hidup liar di alam bebas, sedangkan kata /hewan/ dimaknai sebagai hewan piaraan yang hidupnya dipelihara oleh manusia[15]. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa Sang Penyair menyebut dirinya atau mengandaikan bangsanya berperan figur sebagai /binatang jalang/, bukan sebagai hewan piaraan yang lucu seperti: harimau sirkus, atau pun anggun bagai gajah pemain akrobat. Sifat garang dan nyali petarungnya sudah dilemahkan oleh pemelihara, atau bahkan telah hilang.
Padahal bangsa Nusantara sejatinya adalah bangsa petarung. Hal ini bisa ditandai dengan adanya senjata yang berbeda beda bagi setiap suku bangsa di Indonesia(16). Ternyata Sang Penyair juga mengidamkan diri bukan hanya sebagai /binatang jalang/, tetapi sekaligus menjadi /binatang jalang/ yang terbuang dari /kumpulannya/. “Sudah jalang terbuang pula”. Ungkapan ini berpotensi untuk dimaknai sebagai ajakan agar warga bangsa bisa bebas dalam hal: berpikir, bersikap, bertindak, maupun memulai bergiat dalam kebiasaan sehari hari menuju perolehan terwujudnya cita cita, yakni menemukan hal baru yang lebih bermanfaat, dan bisa meneruskan segala hal yang masih bernilai baik dari warisan nilai nilai tradisi yang lama.
Penelusuran menikmati puisi pun berlanjut pada baris (7), s/d baris (11). Sajak di baris baris ini merupakan penegas luar biasa, yang semakin menguatkan tekad dan fokus untuk mencapai cita cita agar sampai di puncak kemenangan /Hingga hilang pedih peri (11)/. Kemudian ketika telah sampai di ranah rasa /hilang pedih peri/ di baris 12, Sang tokoh /Aku/ lirik, justru mengambil keputusan /akan lebih tidak perduli/, sebab perjuangan lanjut memang sudah menunggu untuk /hidup seribu tahun lagi/ di periode medan pertempuran pada tahap selanjutnya. Perjuangan memang tak pernah jeda, apalagi berhenti mencapai cita cita, tidak!.
Terus, dan terus berjuang sampai ke seribu tahun lagi di tahap berikutnya.
Selamat berpuisi, dan teruslah berpuisi.
Penulis: Kek Atek
Penikmat puisi, tinggal di Rumpin, Kab. Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Pegiat Komunitas Dapoer Sastra Tjisaoek
DAFTAR PUSTAKA
- Yayasan Hari Puisi, 2022, Puisi Puisi Lengkap Chairil Anwar, Peringatan 100 Tahun Chairil Anwar, Perayaan Hari Puisi Indonesia, 26 Juli 2022, Yayasan Hari Puisi, Jakarta
- Tim Penyusun Pedoman LIPI Pres, 2019, Pedoman Penerbitan Buku LIPI Press, LIPI PRESS, Jakarta, https://penerbit.brin.go.id/press/catalog/book/52
- Kek Atek, 2023, Sekadar Info: Buku Puisi, Buku Kumpulan Puisi, dan Buku Antologi Puisi, Apa bedanya?, Facebook
- Anggita Sukmawati, Serafica Gischa, 2023, Mesin Pencarian: Pengertian, Jenis, dan Cara Kerja, Kompas.com https://www.kompas.com/skola/read/2023/05/12/063000169/mesin-pencarian–pengertian-jenis-dan-cara-kerja-.
- Ewith Bahar, 2022, Chairil Anwar hidup 1000 tahun lagi, Gramata Publishing, Bekasi
- Sandi Setiawan, Rochmat Tri Sudrajat, Sary Sukawati, 2020, Analisis Unsur Batin Dalam Puisi “ Kontemplasi ” Karya Ika Mustika, Parole (Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia) Volume 3 Nomor 3, Mei 2020
- Septoriana Maria Nino, 2020, Intertekstualitas Puisi “Di Jembatan Mirabeau” karya Agus Sarjono dan Le Pont Mirabeau karya Guillaume Apollinaire, NUSA, Vol. 15 No. 3 Agustus 2020, https://ejournal.undip.ac.id/index.php/nusa/issue/view/2925
- Anugrah Dwi, 2023, Jenis-Jenis Majas dan Contohnya Secara Lengkap, September 12, 2023, in Opini, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, UMSU
- Widiyanti Ningrum, Wikanengsih, Via Nugraha, 2020, Analisis Unsur Intrinsik Puisi “AKU” Karya Chairil Anwar, Parole (Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia), Volume 3 Nomor 4, Juli 2020
- Nyimas Esa Juwita Nadia, Dr. Munaris, S.Pd., M.Pd., Heru Prasetyo, S.Hum., 2023, Analisis Pendekatan Objektif: Dalam Kumpulan Puisi “Aku Ini Binatang Jalang” Karya Chairil, Aksentuasi: Jurnal Ilmiah Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Subang, Volume IV Nomor I , Mei 2023
- Risma Despryanti1, Riska Desyana, Amalia Siddiqa Rahayu, Yeni Rostikawati, 2018, Analisis Gaya Bahasa Pada Puisi “AKU” Karya Chairil Anwar, Parole (Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia) Volume 1 Nomor 2, Maret 2018
- Era Yustika, Spd., 2018, Perbedaan Penggunaan Kata Aku dan Saya, Kita dan Kami, Engkau dan Kamu, typoonline.com
- Pengasuh Rubrik Sains, 2022, Belajar Menulis Karya Tulis Ilmiah, mbludus.com
- Albertine Minderp, 2010, Psikologi Sastra: Karya Sastra, Metode, Teori, dan Contoh Kasus, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta
- Konten dari pengguna, 2018, Apa Perbedaan Hewan dan Binatang?, Kumparan.com https://kumparan.com/lampu-edison/apa-perbedaan-hewan-dan-binatang-27431110790545395/1
- Atik Bintoro, 2023, Dari Senjata Tradisi Sampai Berteknologi, mbludus.com