Salim Si Merah

Situt Saputro

Semarang, Februari 1930

Di tengah musim hujan melanda sebagian besar Pulau Jawa, Semarang yang merupakan salah satu kota besar, Kota Administrasi Hindia Belanda di Jawa Tengah juga merasakan bagaimana lebat, dingin, serta sejuknya suasana – Eropa tak akan mungkin pernah merasakannya. Ramainya alun-alun kota, pasar yang tak kunjung sepi, begitu pula jalanan Simpang Lima masih ramai lalu lalang kendaraan para bangsawan Belanda ataupun priyayi sekali-kali diselipi kereta kuda masyarakat tanpa sandangan – Cuma bercelana pendek dan berikat kepala – atau jika lebih beruntung kau akan menemui mereka berpakaian lusuh tanpa wibawa. Tapi itulah keadaan yang sebenar-benarnya sebagian besar penduduk Pulau Jawa. Penduduk sebuah hamparan tanah yang kaya, tetapi setiap bangun dari tidurnya takut kelaparan menghantuinya.

Bertahun-tahun Semarang menjadi selayak penjara, kota yang seharusnya indah dan ramah ini seakan momok yang menakutkan bagi pemerintah Hindia Belanda – Paska Upaya Revolusi Prambanan 1926 oleh Partai Komunis Indonesia – distribusi surat kabar dibatasi, informasi dari luar kota disaring lebih ketat lagi, terlebih siaran radio begitu diawasi untuk mencegah siaran propaganda berbau provokasi yang akan memicu semangat revolusi, belum lagi ratusan pasukan Intel yang menyebar luas, mulai dari pusat kota hingga di jalanan pelosok desa. karena kita semua tahu Semarang bukanlah sembarang kota, Semarang merupakan basis terkuat para kaum pergerakan, terlebih merupakan kantong massa Sarekat Islam Merah yang dewasa kini lebih dikenal dengan sebutan Partai Komunis Indonesia. Satu-satunya organisasi pergerakan yang gencar menyuarakan semangat revolusi perlawanan dan kemerdekaan.

Di tengah tekanan kehidupan Semarang yang begitu represif, berawal dari kepergiannya meninggalkan desa untuk mengais pundi-pundi kehidupan, dia seorang remaja, berkulit kecoklatan, berperawakan pendek, tidak pernah mengenal bangku sekolah – karena dia besar dari kalangan petani – yang haram mengenyam dunia pendidikan bagi pemerintah Hindia Belanda. Salim namanya. Seorang buruh muda di Stasiun Poncol Semarang, bekerja untuk perusahaan Kereta Api milik pemerintah Hindia Belanda.

Salim. Bocah tengil yang suka mencuri makanan pegawai Belanda. Sebuah kalimat jawaban yang akan kau terima ketika kau menanyakan identitasnya pada kebanyakan buruh di stasiun Poncol Semarang. Bukan tanpa alasan dia suka mencuri makanan, masalah perut yang mendorongnya untuk melakukannya, karena gajinya sebagai buruh tak cukup untuk mencukupi hidupnya. 15 sen per harinya, sedangkan dia diharuskan bekerja 18 jam sehari. Sebuah perlakuan yang tak berperi kemanusiaan. Sebuah resiko yang diperoleh ketika dianggap sebagai seperempat manusia. Kehidupan dibawah kolonialisme yang kejam.

Kehidupannya penuh penindasan, paksaan mengangkut barang yang sepatutnya tidak diangkat oleh manusia menjadi santapan setiap harinya. Cacian, hinaan, ludahan tak asing lagi baginya. Bangsat, anjing, murahan, lemah, babu, budak semua gelar itu dia terima, lagi-lagi karena takdir Tuhan dia dilahirkan sebagai makhluk bernilai seperempat manusia. Sebagai budak di tanah airnya.

Hingga satu kejadian yang merubah pandangan serta arah perjalanan hidupnya, dia tertuduh atas hilangnya sebungkus roti karyawan Belanda, – sebenarnya bukan Salim pelakunya – karena sudah terlanjur terkenal dengan sebutan maling makanan, Salim terpaksa menemui panggilan petugas keamanan stasiun.

“Sudah berapa roti yang berhasil kau curi?” Petugas keamanan menghardiknya.

“Kali ini bukan aku pencurinya.” Salim mengeyelnya.

“Sudah jelas-jelas mencuri masih mau bohong lagi, dasar budak bangsat!” sambung petugas keamanan.

”Aku kira seorang yang bukan budak lebih mampu melihat bahwa kucing dibelakangnya sedang menikmati rotinya,” jawab Salim.

Seketika pukulan petugas keamanan mendarat di wajahnya.

“Kau boleh lepas dari aksi malingmu, tapi tidak dengan kesombonganmu, dasar budak.” Petugas keamanan nampak marah disertai tatapan tajamnya.

Selepas kejadian itu, Salim mendekam di penjara beberapa minggu.

Rentetan aksi dari kawan-kawan buruhnya yang terkumpul dalam Vereeniging van Spooren Tramweg Personeel in Nederlandsch Indie (VSTP) atau sebuah perkumpulan buruh kereta api yang berhaluan sayap Kiri atau Sosialisme. Rentetan aksi tersebut berhasil membebaskannya dari penjara. Selepas keluarnya dari jeruji besi, Salim mulai berkenalan dengan banyak aktivis buruh ataupun aktivis politik sayap Kiri yang terkenal militan dan radikal membela kesetaraan. Pergaulan Salim dengan VSTP menyeret Salim ke dunia pergerakan. Salim mulai belajar membaca dan tulis menulis, mulai mengikuti sekolah-sekolah pengkaderan, mulai larut dan terjun ke dalam bacaan-bacaan buku Kiri, terutama yang berbau Marxisme.

Salim yang semakin gesit bersama VSTP berkali-kali melakukan aksi menolak kesewenang-wenangan perusahaan dan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Aksi-aksi massanya berhasil membebaskan kawan-kawan buruh bahkan mampu mengangkat gaji minimumnya ke derajat yang lebih pantas secara kemanusiaan. Pernah ketika permintaan buruh tidak ditanggapi, Salim memimpin kawan-kawannya melakukan aksi massa mogok kerja besar-besaran, hingga memboikot stasiun Poncol Semarang yang menyebabkan lalu lintas perkereta apian di Jawa Utara lumpuh total.

Pagi menjemput terbitnya matahari yang dikira tak akan terbit karena Semarang kala itu diselimuti mendung tebal dan rintik gerimis membasahi jalanan kota, Salim yang masih lengkap berpakaian karyawan lengkap berada di barisan terdepan dengan memegang toa atau pengeras suara memimpin ratusan buruh lainnya bergerak dari arah lapangan Simpang Lima, melewati depan kantor Residen menuju titik aksi yang telah ditetapkan, yakni Stasiun Poncol Semarang.

“Lenyapkan adat dan paham tua, kita rakyat sadar-sadar, dan Internasionale pasti di dunia…….” teriakan nyanyian lagu internasionale dari ratusan buruh membuat jalanan kota Semarang mencekam dan bergemuruh.

“Hidup Buruh! Hidup Rakyat!” Seakan menjadi pacuan semangat mengobarkan perlawanan. Tuntutan akan sebuah perubahan menggema membelah langit Semarang. Pekikan “Hidup Indonesia, Merdeka” menegaskan bahwa inilah wujud perlawanan yang bukan hanya milik buruh semata, melainkan milik seluruh lapisan rakyat Indonesia – yang pada saat itu masih tabuh menggunakan kata Indonesia, karena masih terlalu berbahaya – menuntut, menyuarakan kemerdekaan.

[iklan]

Salim bersama ratusan buruh bergerak secara cepat, tanpa menunggu waktu lama, Salim bersama ratusan kawannya sudah berada di muka gerbang masuk Stasiun Poncol Semarang. Aksi yang sempat terhenti oleh pasukan kemanan stasiun ini mulai berlanjut lagi ketika ratusan buruh berhasil memukul mundur petugas keamanan, sekaligus merobohkan gerbang muka stasiun. Sebuah awal yang indah. Beberapa jam kemudian kantor-kantor perusahaan di dalam berhasil diduduki. Gerbong-gerbong berhasil dipaksa berhenti. Petugas keamanan dan calon penumpang berceceran. Kondisi stasiun lumpuh total. Kemenangan awal di tangan kaum pergerakan.

Di atas gerbong salah satu kereta yang sedang melakukan perjalanan dari Pasar Turi Surabaya menuju Pasar Senen Batavia, yang kebetulan melintas dan dipaksa berhenti oleh ratusan buruh yang sedang melakukan aksi massa. Salim berdiri di atasnya. Menggulung sebagian lengan bajunya – selayak Semaoen Idolanya – mengepalkan tangan kirinya, dengan urat-urat yang keluar ketika dia sedang berbicara. Sungguh ini Salim yang sudah berbeda ketika ia menjadi maling roti karyawan Belanda.

“Wahai putera-putera bumi pertiwi. Yang lahir dari kerasnya sejarah. Yang tumbuh dari perlawanan rakyat jelata. Buruh. Petani. Rakyat miskin kota. Semangat revolusi memanggil kita. Kemerdekaan menanti kita semua!” Suatu pembukaan yang dilakukan Salim, membuat kagum pendengarnya. Seruan riuhan tepuk tangan menyertainya.

“Marx pernah berkata, tidak akan pernah ada keadilan ketika penghisapan manusia atas manusia masih ada. Dan kita saudara-saudara, diutus berdiri di sini untuk mewujudkan sebuah keadilan, memukul rata kesewenang-wenangan, memperjuangkan nilai kemanusiaan, kesetaraan, persamaan hak, karena kita para buruh bukan lagi seperampat manusia. Kita adalah manusia utuh, manusia yang berhak atas kemerdekaannya!”  lanjut Samin.

“Saudara-saudara. Perlawanan kita tidak akan pernah berjalan sia-sia, teriakan-teriakan ini akan didengar di penjuru Hindia Belanda. Akan dilihat oleh mata dunia. Bahwa kita para buruh. Kita rakyat Indonesia. Kita manusia sosialis akan merebut kemerdekaan diri kita, menciptakan kesetaraan kelas. Kemakmuran. Kesejahteraan. Hidup buruh. Hidup buruh. Hidup rakyat Indonesia!” teriakan salim disertai dorongan ratusan buruh untuk menduduki lebih dalam kantor perusahaan. Petugas keamanan yang merasa kewalahan segera lari berserta para karyawan Belanda. Mereka para buruh sudah tidak takut lagi dengan bayonet para tentara pemerintah. Mereka, Salim dan para buruh lainnya sudah berani bertaruh nyawa atas nama revolusi.

Stasiun Poncol Semarang yang berada di tangan Salim dan para buruh lainnya menutup arus lalu lintasnya, hal ini yang menjadikan perekonomian di belahan Jawa bagian Utara tidak bisa berjalan optimal. Pengiriman pos, gula, kopi, tebu, tidak berjalan semestinya. Ekonomi Jawa bagian Utara seketika goncang. Dan berita ini sampai di telingan Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia. Mereka para buruh menjarah isi perkantoran beserta isinya, membakar bendera-bendera Hindia Belanda, menginjak-injak lukisan Gubernur Jenderal dan Ratu William dengan penuh suka cita, serta menutup aksinya dengan mengibarkan bendera Merah Putih diiringi nyanyian bersama lagu Indonesia Raya dan Internasionale. Sebuah Revolusi sesungguhnya. Mimpi Salim meniru semangat Bolsjevik 1917 di Rusia sedikitnya berhasil untuk para buruh Stasiun Poncol Semarang.

Selepas aksi massa yang menggemparkan tersebut. Seluruh surat kabar mengisi halaman utamanya dengan Aksi Poncol yang digerakkan oleh Salim beserta kawan-kawannya. Sebuah aksi yang membuat kagum. Bahkan aksi tersebut mendapat apresiasi dari CC PKI yang ada di Semarang bahkan radio markas besar Komunis Internasional yang berada di Moskow turut meliputnya. Namun hal ini membuat Salim beserta pimpinan buruh lainnya ditangkap dan dijebloskan ke penjara karena telah membuat dan memprovokasi kegaduhan kota Semarang. Lagi-lagi Salim harus masuk bui berbulan-bulan.

Merasa diperlakukan tidak adil dengan terus-terusan dipenjara tanpa diadili di muka pengadilan. Beberapa simpatisan Salim menyuarakan supaya diadili dengan jujur untuk melakukan pembelaan diri dan membuktikan bahwa yang dia lakukan bukan merupakan kesalahan. Tuntutan tersebut pertama tidak pernah di dengar oleh pihak kepolisian pemerintah Hindia Belanda. Tapi karena desakan dari parlemen yang ingin mempertahankan kewibawaannya dengan menjunjung tinggi nilai kebenaran, berhasil mendesak kepolisian untuk membawa Salim dan kawan-kawannya ke meja pengadilan.

Senin, 30 Juli 1930. Pengadilan Tinggi Pemerintah Hindia Belanda, Kota Administrasi Semarang.

Salim yang memakai baju putih dilipat sebagian lengannya. Berjalan memasuki ruang pengadilan dengan gagah tanpa ada rasa takut sedikit pun. Menyapa kawan-kawan buruhnya yang sudah menunggu di luar dengan lambaian tangan dan senyuman, tak luput pula menyapa kawan-kawan media. Didampingi puluhan bahkan ratusan simpatisannya, Salim memberikan hormat kepada Sang Hakim sebagai tanda dia akan memulai pembelaan diri dan membuktikan kebenaran sesungguhnya, untuk keadilan yang begitu dia puja. Sebelum melakukan pidato pembelaan, Hakim memberikan aturan, sesuai dengan undang-undang bahwa pidato pembelaan di meja pengadilan diharuskan menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa wajib kerajaan. Namun apa yang dilakukan Salim sungguh bertolak belakang, dengan penuh wibawa dan keberanian Salim membuka pidatonya.

“Saudara-saudara, Yang mulia Hakim yang saya muliakan. Saya Salim lahir di desa Jetis di pedalaman Karisidenan Semarang. Lahir dari rahim orang Jawa, dan hidup besar dari asuhan tangan orang Jawa. Makan dan minum dari hasil bumi tanah Jawa. Sekali pun mati saya akan berkalang tanah memeluk bumi Jawa yang sangat saya cinta. Sepanjang hidupku saya tak pernah mengenal kebaikan dari Kerajaan Hindia Belanda, sedikit kebaikan saja saya tak pernah merasakannya. Sekarang saya dituntut berbahasa menggunakan bahasa bangsa yang telah merampas tanah-tanah di desa saya, merampas hak hidup saudara saya, merampas keadilan dengan mempelacurkan nilai kemanusiaan, saya tak pernah sudi Tuan Hakim yang Mulia” Salim mengawalinya dengan tepuk tangan meriah para buruh yang sedang membelanya dengan datang ke pengadilan.

“Tuan Hakim yang saya muliakan, engkau adalah manusia pilihan, manusia yang diciptakan untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Sebagaimana mereka mengharapkan saya menyanyikan lagu Wihelmus – lagu kebangsaan Kerajaan Belanda – maka saya mohon maaf atas ketidak sediaan saya, karena saya berdiri di sini bukan sebagai warga Hindia Belanda, melainkan murni sebagai rakyat Jawa, sebagai manusia utuh Indonesia. Maka Tuan Hakim yang mulia, izinkan saya mengawali pidato saya dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Internasionale” lanjut Salim disambut penghormatan berdiri dari sebagain besar orang-orang yang ada di pengadilan kecuali Hakim dan petugas kepolisian pemerintah Hindia Belanda.

“Hiduplah Indonesia Raya!”

“Bangunlah kaum yang terhina, bangunlah kaum yang lapar, kehendak yang Mulia dalam dunia, senantiasa bertambah besar!”

“Tuan Salim, sudahkah anda membela kehormatan bangsa seperempat manusia di meja yang agung ini ?” kata Hakim seraya disertai senyum sinis.

“Kalau pun saya seperempat manusia, tidak dengan bangsa saya. Tuan Hakim yang Mulia,” sambut Salim.

“Mulutmu harimaumu budak! Anda tahu sedang bicara dengan siapa ? Anda akan menanggung kesombonganmu. Dasar budak. Dasar komunis. Dasar pemberontak. Bebaskan dia dari penjara kota, selanjutnya buang dia ke Pulau Merah!” Hakim berkata dan segera berdiri menutup persidangan.

Keadaan pengadilan ricuh, adu dorong antara massa buruh dengan kepolisian pemerintah Hindia Belanda tidak bisa ditahan lagi. Sedangkan Salim beserta kawan-kawan terdakwanya harus rela di buang ke Pulau Merah – penjara Bavoen Digul – tempat yang terkenal dengan pembuangan para pemberontak pemerintah, terlebih mereka yang terang-terangan diri menyebut kaum Kiri.

Digul menjadi akhir dari cerita Salim, namanya tak lagi dikenal, ceritanya tak lagi dengar. Sejarahnya hilang bersama naiknya embun di tanah derita Digul. Seribu kemungkinan menyertai kehilangannya, barangkali tidur selamanya memeluk tanah yang ia mimpikan merdeka, atau juga bangun, berjuang dengan nama, wajah, serta identitas diri baru namun memperjuangkan bendera yang sama, tidak lain merdeka.

Situt Saputro adalah pegiat diskusi Komunitas Lorong, Ciputat.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *