Saged Jonumu
Fita Aman Sari
Kurang dari seratus meter rumah dari lapangan bola samping jalan utama Saged jonumu berada. Seorang kuli bangunan yang memiliki mimpi menjadi penyair. Perawakannya sedang, dengan tubuh yang cukup berisi. Rambutnya belah tengah, wajahnya cukup tampan. Tapi itu dulu, ketika almarhum bapaknya masih ada. Namun, setelah meninggal, Saged jarang mengurusi wajahnya. Jangankan wajah, hidupnya pun tak terlalu ia pikirkan.
Dua puluh lima tahun umurnya saat ini. Perubahan demi perubahan mulai dilakukan, terutama mengenai pekerjaan. Usia tersebut memang sudah saatnya untuk mulai membina rumah tangga. Apalagi sudah lama tak terdengar rengekan bayi di rumah yang berdinding semen tersebut. Ya, dengan dinding yang masih terlihat batu bata itu rupanya mampu membuat curut maupun wirog berlompatan dengan bebas.
Saged, ibu dan satu adiknya harus rela berbagi tempat tidur dengan hewan pengerat itu. mereka berkoloni semakin berkembang biak dengan begitu cepat. Membuat geram sang empunya, terutama Saged. Pernah sekali ia “Search” di Google tentang “Bagaimana cara membasmi Tikus”, dan salah satu jawabannnya adalah dengan bawang putih.
Keesokan harinya Ia melakukan percobaan tersebut. Hasilnya lumayan setidaknya hewan kotor itu tak mau melewati tempat yang sering dikunjunginya lantaran mendapati bau bawang putih yang menusuk hidung. Akan tetapi, rupanya bawang putih tak cukup ampuh untuk membasmi tikus. Lantaran ketika sudah berubah warna menjadi cokelat otomatis bau pun hilang dan kawanan tikus kembali datang
Saged belum menyerah, ada buah mengkudu yang akan jadi target pembasmi selanjutnya. Walaupun ia sendiri tak cukup kuat untuk menahan baunya.
2017
Rumah berwarna putih, berpagar biru dengan halaman yang cukup luas. Ada pohon mangga, pisang, jambu dan petai di belakang rumah tersebut. Sudah dua tahun Saged mencintai rumah sekaligus sang pujaan hati yang menempati rumah itu. Pandangan matanya tak pernah terlewatkan. Ada sungai dan jembatan kecil disertai pagar pembatas untuk masuk ke halaman rumah nan sederhana itu. Ada tiga penghuni. Salah satu penghuninya adalah seorang wanita berparas ayu dengan jilbab yang mengulur panjang. Sesekali Saged berpapasan kala gadis pujaan hatinya sehabis pulang mengajar. Ya, ia adalah seorang guru sekolah dasar.
Suranti namanya. Orang-orang memanggilnya dengan sebutan Bu Ranti. Biru adalah warna favoritnya, ia tahu itu semua lantaran sering melihatnya dengan baju berwarna biru yang terus menerus dipakai. Saged kesurupan, ia pun mulai menyukai warna tersebut.
Suatu hari ia mampir ke warung “Soto Mbah Pur” yang dikelola sendiri oleh temannya.
“Warna biru itu ternyata indah ya, Mbah Pur. Kayak laut sama awan itu lho.” Matanya selalu berbinar kala memandang laut dan kumpulan awan.
“Tumben kau jadi suka warna biru. Dan sejak kapan pula kau menyukai warna manja itu?”
“Manja?” Saged mengernyitkan dahi
“Ya. Karena warna tersebut mampu membuat setiap jiwa merindu akan seseorang. Jadi orang tersebut jadi manja. Jadilah ia bermuram durja.” Jawab Mbah Pur dengan enteng. Padahal tak semua warna biru itu warna yang manja. Namun sayang, Saged yang sedang dalam kasmaran percaya saja apa yang dikatakan temannya itu.
“Benar juga apa kata Mbah Pur. Kini hatiku sedang dilanda rindu yang mengikis perbedaan. Maklum aku hanyalah seorang kuli bangunan yang mempunyai cita menjadi pujangga di era milenial ini,” batinnya berbisik.
“Lah kok malah ngelamun.” Mbah Pur sengaja menyenggol lengannya
“Aku lagi suka sama Ranti, Mbah. Dan warna favoritnya adalah biru” ucapnya jujur. Meski hatinya meringis, sadar akan kedudukan.
“Ranti?, Bu Ranti maksudmu?, owalahh.. nggak salah denger aku toh.”
“Enggih Mbah.”
Mbah Pur geleng-geleng kepala tidak habis pikir bagaimana bisa teman semasa SD-nya menyukai seorang guru nan elok dan memiliki segudang prestasi tersebut. Mbah Pur hanya tidak ingin temannya itu kecewa lantaran beda kasta.
Saged seringkali mampir ke warung sotonya. Entah sekadar ngadem biar dapat satu mangkok soto gratis atau curhat mengenai masalah hidupnya. Dan Mbah Pur pun sebenarnya tidak jauh berbeda, ia juga sering mengalami patah hati. Hanya karena ia berkulit hitam dan berambut gondrong. Akan tetapi, ia tetep keukeuh mempertahankan rambut kesukaannya itu. jauh didalam hatinya, sesungguhnya ia adalah seorang pria yang baik lagi bijaksana. Itu terlihat ketika memposting tulisan entah itu tentang politik ataupun alam. Ya, mereka berdua memiliki kesamaan yang mungkin tak lekang oleh waktu. Sama-sama menyukai alam dan sangat mencintai Indonesia.
Sebenarnya mereka berdua memiliki harapan yang lebih kepada wanita yang dicintainya. Namun, sayang kasta dan fisik masih menjadi perdebatan dalam dunia percintaan. Yang tampan menang banyak, yang miskin dan berkulit eksotis kehitam-hitaman justru menang dalam hal luka. Alias ditolak. Padahal cinta bukan hanya tentang duniawi semata, ia adalah bentuk kasih sayang Allah terhadap makhluk-nya. Akan tetapi, terkadang banyak dari manusianya itu sendiri yang justru menyalahgunakan arti cinta sesungguhnya.
Galeri seni, 30 Juni 2019
Ditemani semilir angin Saged berjalan sendiri, memakai jaket dan celana levis selutut. Ia membawa sebungkus rokok “Sedjati” beserta korek gas. Seperti biasa malam minggunya selalu diisi dengan berkunjung ke “Galeri Seni Mari Kemari” yang tepat berada di pinggir jalan desa Asem Balong. Disinilah jiwa seninya selalu muncul, membuncah, liar menatap setiap hasil kreatifitas teman-temannya itu. Ia bisa betah berjam-jam lamanya hingga dini hari. Sesekali Saged bertukar pikiran tentang kepenulisan, alam, dan dunia masa kini.
“Assalamualaikum,” sapanya.
Ia ingat betul apa kata emaknya: Dimanapun kamu berada, dengan siapapun kamu bergaul, ucapkanlah salam terlebih dahulu. Karena emak tahu hal kecil dan besar manfaatnya itulah yang kini semakin jauh di kalangan anak muda”
“Waalaikumsalam,” jawab mereka serempak.
“Mari masuk, Jon!” Acil mempersilahkannya masuk. Lumayan ramai sekitar ada enam orang. Termasuk Saged.
Acil lebih sering memanggil Saged dengan sebutan Jon. Maklum, dulu sewaktu bermain bersama saat kecil dan sedang berlari-larian tiba-tiba Saged tersandung batu. Ia terjatuh dan bibirnya Jontor. Sejak saat itulah Acil memanggilnya Jontor.
“Minggu depan tepat dua hari setelah lebaran kita mau muncak ke Ciremai. Kamu mau ikut? Acil mulai membuka obrolan. Suasana hening sejenak untuk menunggu jawaban dari Saged. Karena kelima teman lainnya sudah siap sedia untuk muncak nanti.
Pikiran Saged mulai tak karuan. Disisi lain ia memikirkan emaknya, tapi ia juga sudah membayangkan akan indahnya berada di atap sebuah gunung yang sedari dulu ingin sekali ia jamah. Jiwa lelakinya tertantang untuk menaklukan gunung tertinggi se-Jawa Barat tersebut.
Dengan mantap ia mengatakan “Ya” tanpa terlebih meminta restu terlebih dahulu.
“Mantap!” mata Acil berbinar kala Saged mau ikut untuk petualangan puncak yang ke tujuhnya ini. Ya, Acil dan kelima kawan lainnya sudah lebih dari enam kali naik ke gunung Ciremai.
Karang Asem, 2019
“Si Saged kerja di mana Mak Impun?” tanya Bi Ati. Ia adalah tetangga sebelah rumah yang sangat kepo. Meski begitu ia memiliki rasa keprihatinan terhadap keluarga Saged.
“Nguli, Bi,” jawabnya datar sembari merapihkan ikatan bambu pada kangkung yang akan dijualnya.
“Mendingan kerja pabrik aja Mak, kan banyak tuh di daerah Plumbon. Gajinya juga lumayan. Daripada nguli!”
Mak Impun mengerti betul apa yang dikatakan oleh Bi Ati. Tapi, apa boleh buat pekerjaan itu sudah mantap dipilih anaknya. Seketika hatinya teriris, gaji bekerja sebagai kuli memanglah tak seberapa. Apalagi terkadang Saged jarang sekali untuk berangkat. Ia teringat almarhum suaminya bahwa ingin sekali merenovasi rumah yang tembok dan kayunya yang mulai rapuh.
“Iya mau bagaimana lagi Bi Ati. Saya sebagai orangtua hanya mendoakan saja, semoga pekerjaan itu membawa berkah bagi dunia dan akhiratnya.” Bi Ati pun terdiam lalu pergi.
**
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” jawab Emak Saged yang sedang mengulen tepung gorengan bakwan. Bersama nasi hangat dan sedikit sambal makanan sederhana itu sudah macam surga dunia bagi Saged.
“Ini Mak.” Saged menyodorkan uang hasil gajian ngulinya.
“Simpan saja untuk bekalmu. Emak masih punya duit,” jawab emak sambil terus mengaduk.
“Jumlahnya emang nggak seberapa Mak, lumayan buat tambah-tambah kebutuhan dapur.”
Setelah membuka sepatu lusuh dan tasnya, Saged langsung menuju ke kamar. Ia meninggalkan uang itu dekat emaknya. Istirahat sejenak di kasur kapuk yang tak lagi se-empuk dulu. Memandang langit-langit dengan kayu yang kian rapuh dimakan usia. Di samping jendela tampak meja kecil ukuran anak TK yang banyak ditumpuki kertas coretan imajinasi puisinya. Ritual Saged sebelum tidur yang harus dipenuhi. Saged menghampiri meja itu untuk membaca kembali kata-kata puitisnya. Ia tersenyum geli ketika membaca beberapa coretan puisinya.
Kemerlip lintang malam ini
Menemani langkahku yang kian pasti kepadamu
Di ufuk aku akan menemuimu
Saat kokok ayam membangunkanku
Ah, sungguh tak pernah letih kuberharap
Pada-Nya yang mungkin saja mengabulkan
Atas setiap doa dan rasa yang tak tertahan
Ia pun tertidur sumringah. Membayangkan Ranti menjadi miliknya. Meski tahu bahwa perih tak pernah pergi dari hidupnya. Suara kokok ayam membangunkannya. wangi bunga melati menyeruak melewati jendela yang sudah berlubang. Tetiba wangi itu mengingatkannya pada sesosok wanita yang jarak rumahnya hanya beda rumah darinya.
Ia menuju ke dapur sambil membawa kopi hitam dan rokok kesukaan. Melenggang santai menuju teras depan rumah. Burung tekukur tetangga tak henti berbunyi, riuh suara para ibu-ibu yang tetap sibuk membelikan sarapan surabi untuk anaknya. Pemandangan sederhana yang tak membuat jemu
“Saged, Emak mau bicara. Apa kau tidak ingin menikah?”
“Iya Mak. Saged juga ingin menikah. Tapi, uangnya kan belum kumpul.”
Saged duduk mendekati Emaknya.
“Kalau begitu, tidakkah engkau mencari pekerjaan selain yang engkau kerjakan saat ini?. Emak memberi namamu Saged supaya kelak engkau bisa melakukan segalanya. Carilah pekerjaan yang lebih baik. Emak lihat kerjaanmu hanya menulis saja.”
“Mak, Saged memang suka menulis. Jadi izinkanlah Saged menjadi seorang penyair.”
“Penyair? Emak baru mendengar kata itu. Apa menulis bisa membuat ekonomi kita menjadi lebih baik?”
“Mak, ketahuilah. Menulis bukan berarti menjadikan kita kaya. Itu hanya bonus dari Yang Kuasa. Dari menulis kita bisa menyumbang amal untuk memberatkan di akhirat nanti. Kebaikan yang berasal dari tulisan seseorang membuat kita tersadar. Ada banyak hal yang akhirnya Saged tahu setelah banyak membaca dan menulis.”
Saged tersernyum getir. Ia tahu nasib mujurnya dalam menulis tak bisa ia harapkan lebih. Namun, ia akan tetap berusaha siapa tahu kelak jalan menulis menjadi jalan hidupnya nanti.
“Kalau menurut Emak akan lebih baik mencari yang sudah pasti saja. Kalau belum pasti buat apa?”
Saged tak percaya mendapatkan jawaban seperti itu.
“Harapan Emak hanya kamu seorang. Saged, ingatlah pesan bapakmu!”
Saged tertegun ketika diingatkan pesan bapaknya. Ia tidak ingin melakukan perdebatan panjang. Untuk itu, ia lebih memilih untuk meninggalkan Emaknya sendirian. Ditutupnya pintu kamar sepelan mungkin. Hatinya koyak saat Emak tak merestui apa yang ia inginkan.
…
Seperti bintang yang setia menemani sang rembulan Saged pun seperti itu. Ia tak henti-hentinya mencoret-coret kisah hidupnya yang sarat akan perjuangan. Mimpinya untuk menjadi seorang penyair seolah ada di depan mata. Tak begitu jauh, namun membutuhkan usaha yang tak terbilang mudah. Ia harus merelakan dirinya tenggelam dalam belajar memahami setiap bait puisi dari pujangga-pujangga kenamaan Indonesia.
Ia belajar dari Chairil Anwar, Taufik ismail, Wiji Thukul dan yang terakhir dan masih hangat adalah ibunda Helvy Tiana Rosa. Pendiriannya sekuat baja, tapi hatinya sehalus sutra. Selalu meleleh tatkala bercumbu dengan puisi. Sesekali bibirnya menganga, menggigit lalu mengatup. Beruntung nyamuk tak masuk kala mulutnya terbuka.
Ia merasakan malam-malam kian indah, meski badan remuk setelah seharian bekerja, ia tetap sumringah menyambut sang fajar.
Note: Saged dalam bahasa jawa artinya bisa
Fita Aman Sari dengan nama pena Flm. Lulusan Smk jrurusan perkantoran yang lebih memilih untuk menjadi seorang penulis. Menyukai dunia travellling dan segala hal yang berbau Jepang. Mempunyai empat buku antologi yang diterbitkan oleh penerbit Rumedia. Kini sedang proses menulis untuk proyek buku solo. Anggota FLP Cirebon dari tahun 2018-sampai sekarang. Bertempat tinggal di Cirebon. ingin lebih dekatnya silakan mampir ke instagram, Fi Mia tau fitaliaomizumi dan facebook, Fi Mi. Terima Kasih.