Rully dan Ki Gede Panji
Siti Nurkayatun
Lewat layar yang disediakan oleh kru acara TV di ruang tunggu, aku melihat Rully meraung-raung seperti harimau liar. Di layar itu terlihat beberapa orang mengelilinginya: pembawa acara bernama Pram―yang terkenal memandu acara bertema supranatural―, beberapa kru televisi, Pak Ustaz Ali dan asistennya yang sudah siap-siap memegangi pundak Rully.
Mereka sedang berada di suatu gerbang bangunan tua hanya dengan penerangan seadanya. Di tempat mereka berada, rerumputan tumbuh liar, bangunan itu juga dikelilingi semak-semak, pohon-pohon nampak samar di sekelilingnya.
[iklan]
Ustaz Ali mendekati Rully yang nampak bermuka merah dan berkeringat deras. Rambut gondrongnya terlihat berantakan seperti tidak keramas satu bulan. Padahal sebelum datang ke acara ini dia dandan necis, meminyaki rambut, menggunakan pelembap muka, berbaju bagus, dan memakai sepatu paling gaul. Sebelum berangkat tadi dia bilang padaku ingin tampil maksimal di layar kaca televisi. “Kapan lagi tampil di acara TV yang lagi ngehits.”
***
Sebulan yang lalu aku dan Rully mendapat email konfirmasi suatu acara dari MataTV. Acara tersebut bertajuk Rumeksa ing Wengi. Kami mendaftar sebagai peserta setelah melihat pengumuman pencarian peserta di Instagram. Kami mendaftar secara bersamaan. Prosedur pendaftaran terbilang mudah karena hanya mengirim curriculum vitae dan tulisan ringkas berisi alasan dan motivasi mengikuti acara itu. Tentu kami mengirim tulisan yang sekiranya bisa membuat kami lolos. Sebenarnya aku hanya menulis hal-hal klise, seperti: “Ingin lebih mengenal makhluk ciptaan Tuhan selain manusia agar lebih beriman”. Aku menduga, menuliskan hal-hal semacam itu memungkinan aku lolos sebagai peserta. Kalau harus jujur, sebenarnya aku tergiur iming-iming honor yang mereka akan mereka berikan, tentu saja. Sebagai mahasiswa rantau yang jauh dari orang tua, mendapatkan uang sendiri rasanya menyenangkan sekali. Apalagi setelah melihat acara tersebut berkali-kali dari televisi, sepertinya acara uji nyali semacam ini tidak mengerikan. Sepertinya mudah saja melewati 45 menit berada di tempat uji nyali sambil ngomong apa saja. Aku tinggal mengatakan hal-hal seperti peserta lain yang sudah-sudah.“Di sini sangat sepi; bagian sudut sebelah sana seperti ada yang bergoyang; mulai ada suara berisik; ada kilatan cahaya; saya merasa seperti diawasi; tengkuk saya merinding,” ya, hanya hal-hal semacam itu. Setelah itu 45 menit terlewati tanpa ada kejadian yang menghebohkan. Tentu saja iming-iming honor mengalahkan rasa ketakutan yang tidak seberapa.
Berbeda dengan Rully, dia memiliki motif yang terdengar lebih menantang daripada aku. Sebenarnya klise juga seperti aku dan peserta-peserta lain. Aku menduga peserta-peserta yang lain sebenarnya juga hanya seperti aku, lebih menginginkan honornya. Sedangkan Rully benar-benar berbeda. Dia sama sekali tidak mengincar honor. Dia penasaran dan ingin membuktikan tentang keberadaan makhluk lain tersebut. Kepercayaan dirinya sangat tinggi, dia yakin tidak akan ada yang membuatnya takut, tidak akan ada penampakan dan kesurupan. Dia sering menyangsikan jika ada peserta yang kesurupan.
“Halah, itu pasti hanya skenario biar terlihat heboh,” begitu dia menimpali ketika suatu kali menonton acara uji nyali bersama-sama di kos. Dia benar-benar tidak percaya akan keberadaan makhluk halus yang mau menampakkan diri, apalagi merasuki tubuh manusia. Dia ingin menguji diri, bukan mengincar honor. Tentu aku percaya dengan alasannya, karena dia bilang akan mentraktir aku sepuasnya setelah mendapat honor dari acara ini.
***
Ingatanku tentang motif kami mengikuti acara ini segera teralihkan pada layar di ruangan tunggu. Di ruangan ini ada tiga layar. Layar pertama menampilkan acara siaran langsung ini yang tampilannya sama dengan yang disaksikan pemirsa di tempat lain. Layar kedua menampilkan kamera di lokasi uji nyali yang terbagi menjadi beberapa bagian, ada kamera dari arah depan, samping, bebrapa sudut lain, dan di helm peserta―helm Rully terlempar ketika mengamuk, jadi tampilan kamera bagian ini tidak tampil lagi. Layar ketiga menampilkan co-host bernama Olen berada di sebuah ruangan dengan pelukis supranatural, ustaz Nafi Abdillah. Olen tampil dengan pakaian serba hitam, sedang berjalan menuju ustaz Nafi di suatu ruangan.
“Pemirsa, saat ini saya akan melihat proses penggambaran oleh ustaz Nafi mengenai sosok arwah yang sedang berada di tubuh saudara Rully .”
Pelukis Nafi terlihat brutal menggoreskan kuas dengan kedua tangannya. Dia juga berpakaian serba hitam. Matanya juga ditutup kain hitam. Inilah yang disebut melukis dengan mata batin. Saat ini lukisan tersebut masih acak-acakan dan hanya diperlihatkan sebentar. Belum jelas bentuknya.
Pandanganku beralih ke layar kedua di mana Rully masih menggeram dengan mata tajam. Ustaz Ali mendekat pelan sambil berusaha berkomunikasi, “Assalamu’alaikum. Sebelumnya minta maaf. Boleh kita sekadar menyapa?” Rully hanya menggeram tanpa mengubah ekspersi. Ustaz Ali menyentuh pelan pundak Rully. Pembawa acara Pram berdiri di samping kanan Rully dan mulai berbicara, “ Assalamu’alaikum. Boleh kami tahu siapa anda?”
Rully hanya menggeram. Namun aku harus meyakini bahwa yang sekarang sedang menggeram bukanlah Rully. Saat ini yang kulihat di layar hanya tubuh Rully yang sedang dirasuki entah siapa.
“Ki Gede Panji, grrr….,” jawabnya sambil menggeram. “Ngapa awak-awakmu iki ning kene?[1]” imbuhnya bernada menyentak.
“Kami hanya ingin bersilaturahmi dengan berkomunikasi dengan Ki Panji sebentar. Maaf apakah Ki Panji salah satu yang sudah lama berada di sini?”
“Tetua, grrr…,” jawab Ki Panji melalui tubuh Rully dengan suara parau. Aku belum pernah mendengar Rully mengeluarkan suara bernada seperti itu.
“Oh, jadi Ki Panji pemimpin dari teman-teman di Ki Panji di sini?”
“Grrr…,”
“Boleh tahu, sejak kapan Ki Panji berada di tempat ini?”
“Grrr…ssssst…,” dia menggeram sambil mendongakkan kepala ke arah pembawa acara Pram. Ustaz Ali memegangnya pelan. Sepertinya Ki Panji mulai marah. Asisten ustaz Ali bersiap kalau-kalau Ki Panji mengamuk. Namun tidak lama Ki Panji terlihat tenang kembali. Kamera menyorot mendekati pembawa acara Pram.
“Pemirsa sepertinya kami agak kesusahan berkomunikasi dengan makhluk yang berada di tubuh peserta Rully. Namun kami sudah sedikit tahu bahwasannya beliau ini adalah Ki Gede Panji, tetua atau pemimpin yang menjaga tempat ini. Kami belum tahu seperti apa wujud Ki Gede Panji ini. Mungkin nanti kita akan menyaksikan secara lebih jelas melalui lukisan ustaz Nafi yang saat ini bersama Olen.”
Di layar ketiga, pembawa acara Olen berbicara dengan ustaz Nafi mengenai visualisasi Ki Gede Panji.
“Ustaz, tadi di seberang sana teman-teman berhasil mengetahui identitas arwah yang berada di tubuh peserta Rully. Sebenarnya sosok Ki Gede Panji ini seperti apa, Ustaz?”
Dengan mata tertutup kain hitam, di depan kanvas, dan memegang kuas di dua tangannya, ustaz Nafi menjawab, “Berdasarkan penglihatan saya, Ki Gede Panji ini sosok yang tinggi besar, semacam setengah manusia dan harimau. Wujud jelasnya nanti akan kita lihat jika lukisan saya sudah selesai.”
Layar kedua menampilkan tubuh Rully yang dirasuki Ki Gede Panji sedang meronta-ronta. Kedua tangannya mencengkram rerumputan di tanah.
“Kemlinthi![2] Grrr…!”
“Maaf Ki…”
“Bocah iki kemlinthi![3]”
Ki Gede Panji mengamuk, pembawa acara Pram terlihat mundur beberapa langkah. Ustaz Ali memegangi lengan kiri dan kepala Rully. Asisten ustaz Ali membantu memegangi bagian tubuh lainnya agar Ki Panji bisa segera dijinakkan dan dikeluaran dari tubuh Rully. Proses penjinakkan berlangsung dramatis. Kepala Rully harus disiram berkali-kali entah dengan tujuan apa, aku tidak tahu. Ustaz Ali merapal doa-doa sambil mengusap kepala Rully dan rambutnya yang gondrong. Ki Gede Panji berhasil dikeluarkan beberapa menit kemudian dengan tanda tidak ada perlawana lagi dari tubuh Rully, tubuhnya lunglai dipegangi para asisten ustaz Ali dan kru acara. Rully digotong keluar lokasi. Kamera kembali menyorot pembawa acara Pram. Dia menghimbau pemirsa untuk tidak meninggalkan layar televisi karena akan segera kembali setelah iklan―yang biasanya cukup lama. Dia berkata setelah iklan, lukisan ustaz Nafi sudah selesai dan siap diperlihatkan dengan jelas sosok Ki Gede Panji.
Di ruang tunggu, layar kedua dan ketiga berubah menjadi biru, hanya ada layar pertama yang masih menyala, tanda jeda shooting. Layar pertama sedang menampilkan iklan di MataTV yang bisa disaksikan seluruh pemirsa setanah air. Aku terhenyak menyaksikan ini semua. Rasanya sangat berbeda dibandingkan menonton acara ini di TV kos-kosan. Aku cemas dan harus mengakui kalau aku mulai ketakutan. Tiba-tiba salah satu kru acara berbicara dengan keras di ruangan, “Peserta selanjutnya, saudara Yudi, mari ikut kami untuk bersiap-siap sesi selanjutnya.”
Sialan. Aku berdiri dan berjalan ragu. Hilang sudah rasa penasaranku dengan lukisan ustaz Nafi yang akan diperlihatkan usai iklan. Aku panik membayangkan nasibku sendiri. Rasanya ingin izin ke toilet kemudian melarikan diri. Aku tidak ingin berakhir seperti Rully meskipun dibayar dengan honor yang tinggi. Tapi sekarang aku tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya menuruti kru pengarah acara.*
[1] Kenapa kalian di sini?
[2] Kurang ajar!
[3] Anak ini kurang ajar!
Siti Nurkayatun, lahir di Boyolali 31 Mei. Berkegiatan di Komunitas Sraddha dan Komunitas Kamar Kata Karanganyar. Suka membaca, menulis, dan mengilustrasikan cerita. Cerpennya tergabung dalam Antologi Masa Depan Negara Masa Depan (Surya Pustaka Ilmu, 2019) dan Dua Tragedi, Sejarah Maaf dan Ziarah Hati (Kamar Kata, 2019).