
PERJAMUAN MASA LALU
Cerpen Afthon I.H.
Sepi segera dijatuhi hukuman mati. Terburu saya melompat naik kendaraan, melesat dengan cepat, lalu lekang sambil menyimpan perasaan senang.
Saya keluarkan gawai dari saku celana berulang kali, masih sama; “Saya ingin bicara tentang masa depan, kita bertemu,” isi pesan singkat di gawai itu, dan saya tersenyum seakan senyuman itu tidak akan luntur dan bakal tetap abadi.
Sepi tidak akan ada lagi, pikir saya riang.
***
“Saya ingin mendengarkan kisah masa lalu.”
“…”
“Apa kamu memiliki kenangan?”
“Apa itu? Sejenis hewan vertebrata?”
“Serius!”
“Tidak ada.”
“Tentu berbohong.”
“Tidak.” Saya lalu menyeruput perlahan kopi yang telah dipesan sejak tadi. Rasanya manis. Entah ini konspirasi pramusaji yang sengaja mengikuti perasaan saya yang tengah berbunga-bunga, atau apa. Rasa kopi itu menyiram dada saya dengan bahagia untuk kali pertama setelah sepi dan rasa pahit yang setia menemani.
“Setiap orang pasti memiliki kenangan. Baik atau buruk, senang atau menyedihkan, ceritakan saja. Saya akan mendengarkan dan menerima,” katanya, membetulkan letak kacamata. Sorot matanya memburu.
“Saya benar-benar tidak memiliki kenangan,” dia hanya bergeming dengan tatapan sebelumnya.
“Saya cukup ragu, manusia seperti apa yang tidak memiliki kenangan?”
“Berambut ikal sedang, wajah oval, berhidung agak mancung, dan berkulit sawo matang, dan menyukai secangkir kopi, persis di hadapanmu ini,” ucap saya, tertawa kecil. Dia terlihat tidak suka.
“Jangan membulatkan keraguan saya. Ucapanmu ingin memberikan pembuktian.” katanya, masam.
“Kiramu bagaimana cara saya bisa mendapatkanmu?”
“Sebuah puisi dan perjamuan di kedai kopi?”
Saya mengangguk tersenyum.
“Setahun lalu, dan saya ingin lebih mengenalmu…”
“Saya benar-benar tidak memiliki kenangan.” Dia terlihat sedikit kecewa dan melengoskan pandangannya ke sekitar.
“Ucapanmu ingin membicarakan tentang masa depan?”
“Percayalah. Ini tidak akan mengubah apa yang telah ada dan tidak akan menjadikannya berbeda,” katanya, meyakinkan.
“Ya Tuhan, saya mengatakan yang sebenarnya. Lagipula apakah masa lalu dapat menjamin keselamatan masa depan?”
“Kenapa tidak? Kita bisa belajar dan menjadikannya permenungan.”
“Dan juga atas apa yang akan terjadi hari ini?” Dia sejenak terdiam.
“Kita berjuang, dan… tentu akan ada kompromi,” jawabnya.
“Tentu berbohong.”
“Baik. Maka coba tunjukkan, kiranya hal yang tidak mungkin berpotensi bohong pada apa yang belum pasti terjadi!” sanggahnya, terdengar dengan nada menantang.
Seketika saja saya dibuat tak bisa berkata apa-apa. Saya akhirnya hanya terdiam. Dalam hati, saya benar-benar ingin menceritakan masa lalu saya, tapi tidak ada kenangan yang benar-benar dapat saya bagikan kepadanya.
Malam itu, di jarum jam yang menginjak angka 7 lebih sekian, akhirnya saya memanggil pramusaji untuk memesan secangkir kopi lagi. Kopi yang disajikan terasa begitu berbeda dari yang pertama.
“Kenapa kopi ini tidak manis seperti sebelumnya?” tanya saya.
“Apa bahagia tidak akan kabur dan tetap bertahan selamanya?” timpalnya, menuai tanya.
Pramusaji itu menatap saya dengan terang nan tenang. Saya berkaca-kagum sekaligus bingung mendengarnya. Ia kemudian meminta maaf karena telah berbicara aneh. Akhirnya saya menikmati kopi itu; lagi, kopi dengan pengalaman rasa yang sama di lidah saya dahulu.
Menit terlewati dengan kami berdua yang hanya duduk melempar pandang. Dia masih tampak menggebu menunggu cerita kenangan saya. Saya tawarkan untuk membicarakan hal lain saja. Percuma mencari masa lalu yang telah terkubur, ia hanya tinggal sebuah bangkai dan bukan apa-apa, ungkap saya. Tapi dia berkeras hati dan menolak. Ia mengancam akan pergi dan menggantungkan rencana masa depannya yang belum sempat dia bicarakan. Saya tak masalah.
Malam itu, di jarum jam yang melangkah maju tak jauh dari angka sebelumnya, dia akhirnya memutuskan pergi. Rasa pahit dan getir kopi dari pramusaji tadi seperti tak lekas hilang dan seketika membuat saya gugup tak percaya diri. Segalanya berbalik terasa kelam dan akan redup.
Tiba-tiba sang pramusaji muncul menghampiri saya sambil membawa seteko kopi.
Sudah kau temukan paluh kenangmu di cangkir itu?
“Maaf, saya tidak memesan kopi untuk yang ketiga kali.”
Pramusaji itu tak menggubris. Tanpa diminta, dengan sigap lalu ia tuangkan kopi dari teko ke cangkir saya yang tampak telah kosong.
Di bukit kaki Ibu: lembah segala lelah yang habis terjarah. Peluh keringat Bapak: pupuk subur benih cinta yang kanak. Rindu yang kau teguk nikmat di beranda kenyataanmu. Sudah kau temukan paluh kenang di cangkir itu?
Saya diam terheran masih tak mengerti apa maksud sebenarnya sang pramusaji menjamukan saya secangkir kopi. Ketika saya mencoba menanyakan; apakah kopi ini diberikan cuma-cuma sebagai penghormatan atas nama kepuasan pelanggan, ia bergeming; atau apakah dalam rangka untuk memperingati Hari Kesaktian Kopi, ia tetap bergeming.
Karena saya yang masih merasa haus ingin menikmati kopi, akhirnya tanpa basa-basi dan tanpa ada rasa curiga terhadap kemungkinan racun sianida yang terdapat di kopi itu, dengan sopan saya terima penuh hati dari sang pramusaji untuk dinikmati.
Kopi segera saya sesap habis tinggal ampas tak tersisakan. Tuhan memang tak salah melaknat kopi dengan rasa pahit; getirnya menghikmatkan, gumam saya. Tak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada sang pramusaji. Sang pramusaji lalu menuangkan kopi dari teko ke cangkir saya untuk terakhir kali. Ia tatap lekat wajah saya; penuh iba.
Cinta yang beku, kububuhi sedikit bubuk mesiu, yang siap meledakkan saraf malammu. Agar kau kelalap lelap dari panggung sandiwara.
Pramusaji itu kemudian mengangguk izin berlalu tanpa ada secuil kata menengok keluar dari balik bibirnya. Maka tinggal saya dengan secangkir kopi saja malam itu; berdebat dalam sunyi untuk memecah tanya, menerka-nerka maksud perangainya.
Ah, nona, tidak adakah kenangan yang kau beri selain kopi? Sepi akan abadi kalau begini, pikir saya… pincang!
Oktober, 2020
Keterangan :
Penggalan kalimat berhuruf miring dalam cerita adalah kutipan puisi karya penulis sendiri berjudul Di Bukit Kaki Ibu.
Afthon Ilman Huda. Lahir di Mataram, 1996. Menetap di Lombok Barat. Pernah menempuh Pendidikan Sarjana di Jurusan Sosiologi, Universitas Mataram. Kini tengah menekuni Sastra. Karyanya masuk dalam Antologi Puisi Menenun Rinai Hujan (2019).