Perempuan Hujan
Fahrul Rozi

Semua orang suka minum teh dan makan biskuit ketika hujan mendera. Tapi hujan ini, baginya, tidak lebih dari meneguk segelas racun.

***

Aku lupa bagaimana tabrakan itu terjadi. Yang kuingat bayang-bayang pria menampar perempuan, membentak, mencaci dan melempar semua benda di depannya. Aku tidak tahu persis siapa lelaki itu yang tega memperlakukan perempuan sebegitu kasar. Dokter terus bertanya siapa namaku. Tapi aku tidak tahu. Dia menyuntikan cairan di lengan. Cahaya lampu memudar, semua benda yang kulihat kabur, menghilang dan gelap.

Tabrakan itu sungguh nyata, bukan ilusi dan bukan mimpi. Seluruh badan merasakan sakit dan mata melihat darah mengalir di pelipis. Aku bukan lagi berkhayal tentang kecelakaan yang sering aku ceritakan pada teman-teman di bilik asrama. Tidak. Aku sangat merasakan betapa sakitnya luka. Luka jiwa dan luka hati.

[iklan]

Setelah dokter menyuntikan cairan, aku bermimpi bertemu bidadari tanpa wajah dengan tangan dan kaki disalib. Sebuah rumah berdiri di belakangnya, pintu terbuka dan mengeluarkan melodi melankolis. Mendengar itu bidadari tanpa wajah meliuk seperti cacing kepanasan. Tangan dan kakinya bergerak-gerak. Menjerit pilu. Jeritan yang bercampur tangis, telepon berdering dan nama seseorang dipanggil. Aku bingung, mimpi yang aneh, batinku.

Pada musim hujan, kota Y sungguh dingin. Anak-anak Adam tidak mampu menahan dingin-menggigil. Mereka banyak berjongkok di depan tungku api sambil menunggu air masak dan ubi jalar matang. Beberapa malah tidur lagi setelah shalat subuh atau membikin teh. Begitulah kota ini berjalan. Mengusir dingin tidak mudah apalagi bagi santri.

Sore hari setelah mengantar Siska pulang ke rumah. Ani, melajukan motor dengan sangat cepat. Saling balap dan salip. Begitu hampir sampai di pondok sebuah truk melaju dari arah berlawanan menyalip bus, benturan pun terjadi. Ani terpental ke kiri jalan, motornya terseret dan mental. Ia pingsan, darah mengalir memenuhi kepalanya. Abang Ojel motor segera menolongnya, sopir angkot berhenti setelah melihat ada kecelakaan, dia segera membawa perempuan itu ke rumah sakit terdekat.

***

Suatu malam hujan mengguyur lesak, dua perempuan keluar dari rumah sambil menarik koper biru muda. Mereka menembus lebatnya hujan. Perempuan kecil menggigil di samping perempuan dewasa, air mata mengalir seperti air hujan. Mereka berjalan di bawah redup bulan, perut mendering kelaparan, warung sudah banyak tutup, lapar melilit-keluk. Mereka berhenti di bawah pohon. Berteduh. Tak jarang satu-dua motor dan mobil lewat, lalu truk berhenti. Sopir dan kernetnya keluar mencurigakan, mendekati mereka. Perempuan dewasa memegang tangan anaknya. Sopir truk makin dekat, semakin dekat. Berhenti! Pekik perempuan dewasa. Kami tidak punya niat jahat, kami… sebelum sopir itu menyelesaikan kalimatnya kedua perempuan itu berlari tebirit-birit. Sopir dan kernet mengejarnya buru-buru.

“Kita bersembunyi di sini dulu,” kita masuk ke suatu lorong gelap.

“Ibu, aku takut.” Aku menggeletuk.

“Tenanglah. Di sini masih ada ibu.” Kita berdekapan. Suara sepatu lars mengeras, berhenti sejenak lalu terdengar lagi, menjauh.

“Kita harus ke mana lagi, Ibu,”

“Kita ke yayasan saja, di sana ada ruangan kosong untuk kita jadikan kamar.”

Bagaimanapun usulan itu aku terima saja tanpa pertimbangan, kalau-kalau pria bangsat itu datang dan memarahi kami aku tidak akan segan memakinya. Dan seharusnya aku menolak ajakan Ibu pergi ke yayasan. Tapi, aku harus pergi ke mana lagi, aku hanya punya Ibu.

Dugaanku benar, pria bangsat itu kembali setelah kami tinggal tidak lama di sini. Dia mengajak kami pulang tapi, Ibu tidak mau. Terjadi keributan di hari minggu itu. Aku yang masih kecil bersembunyi di balik pintu. Mengintip apa yang pria itu lakukan dan omongkan pada Ibu.

“Kau gila!” Pria itu menunjuk kasar. “Aku berbuat seperti itu karena aku mencintaimu.” Aku tidak mengerti mengapa pria itu sering kali katakan “cinta” Anak kecil tidak boleh tahu soal “cinta” terngiang suara pria itu tempo hari. Aku berlari ke dalam kamar dan menangis. Aku menjadi kecut dan tidak berani melawan pria itu.

Aku ingin mati, ingin mati, mati! Suara itu makin lama mendekati rasa putus asa dan kesedihan terus berlanjut ketika Ibu sudah di dekatku. Aku sadar Ibu lebih sakit dariku. Dia menerima semua luka dan menelannya pelan-pelan. Aku sendiri ingin meninggalkannya mati. Aku tidak tahu mengapa hidup begitu sulit? Apakah kita telah mempersulit hidup? Sudahlah. Aku tidak mau memikirkan itu yang inigin kupikirkan adalah bagaimana aku bisa mati selain bunuh diri.

“Kau tidak apa-apa, sayang?” Tanya Ibu. Aku mengusap mata.

“Selama masih ada Ibu, aku baik-baik saja.”

Itu semu bohong. Aku sedang dalam keadaan tidak baik. Ibu berlalu ke beranda. Aku menenggelamkan kepala dengan pikiran berkecambuk beragam macam pikiran menguasai kepalaku. Terlintas di kepala, Ibu disiksa oleh pria itu: ditampar, dimaki, ditendang dan tidak jarang melemparkan piring atau gelas di depan Ibu.

Pada malam hari setelah makan malam. Ibu menyuruhku tinggal di pesantren. Aku tidak mngerti mengapa aku harus tinggal di sana, sementara Ibu sedang mengandung adikku dan tidak jarang pria itu datang memaki bahkan sering menampar. O, Ibu, aku tidak akan pergi ke pesantren.

“Ini semua untuk kebaikanmu, sayang,”

“Tapi aku tidak mau,” Ibu bangkit dan mendekat. Ia mengusar kepalaku.

“Kau akan mengerti mengapa Ibu menyuruhmu tinggal di pesantren.”

***

Pesantren Quran memilik dua asrama yang hampir berbentuk L asrama tersebut tidak berdempetan kedua asrama disekat masjid dan bila dilihat dari atas, pesantren Quran seperti memiliki kubah di tengah-tengah asrama. Teman-temanku sering menyebutnya miniatur kabah. Begitulah.

Sudah enam tahun sejak Ibu mengantarku ke pesantren. Kehidupan di sini benar-benar damai. Setiap hari mengaji, setiap malam mengaji dan mengaji. Tidak pernah kudengar lagi makian atau suara piring pecah. Benar kata Ibu, pesantren adalah imitasi surga. Namun, sudah enam tahun ini Ibu tidak pernah menjenguk ku.

Di lain sisi aku sebagai anggota kesehatan di pondok. Banyak waktu terkuras di sana, hampir setiap hari aku membawa santriwati periksa ke puskesmas pesantren atau kalau tidak mengantarnya pulang bila sakitnya tambah parah. Di sisi lain setiap malam aku menyetor hafalanku ke Bu Nyai Fatimah dengan beberapa santriwati. Dan satu bulan lagi aku akan dites jiwa hafalan qurannya.

Aku sudah melupakan keinginanku untuk lekas mati. Yang kuingat hanyalah Ibu.

Suatu hari Siska teman kamarku sakit dan minta diantar pulang. Pihak pesantren mengamanahkan padaku dan memberikan kunci motor kesehatan. Sepulang dari rumah Siska dalam perjalanan berkelebat wajah Ibu. Terngiang makian pria itu, suara tangis Ibu dan pecahan gelas di dapur. Kupingku pekak, tidak tahu kenapa pandanganku buram, kulihat darah mengalir lalu aku pingsan.

***

Pintu dibuka dengan kasar, burung menyahut. Terdengar suara tapak kaki yang berat dan bunyi benturan batu cincin. Rumah itu sepi, tidak ada siapa pun kecuali laki-laki bertubuh besar dengan kumis lebat. Dia duduk di sofa lantas menaikkan kaki di atas meja, mengambil sigaret dan menyulutnya. Indah sekali hidup ini, serunya. Ija, kopiku mana, teriaknya setelah sadar kopi belum disajikan.

Lima belas menit dia menunggu. Tapi tidak ada jawaban. Dia pun pergi ke dapur dengan wajah memerah. Ija! Ija! Kau….

Ija hilang, dia berteriak histeris, berlari ke pintu depan dan mendapatkan anak SD pulang sekolah. Dia jadi teringat anak perempuannya. Kau melihat Ani, anakku? Anak-anak itu menggeleng. Mereka bilang, Ani sudah seminggu tidak masuk. Lelaki itu berlari masuk ke dalam rumah, membongkar lemari, tidak ada baju, Mereka meninggalkanku, pekiknya.

 

Fahrul Rozi lahir di Potoan Sampang Madura, saat ini tinggal di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY) cerpennya tersiar di media cetak maupun digital.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *