
Oleh Inong Islamiyati
Nia menggerutu. Lagi dan lagi namanya tidak berhasil masuk dalam nominasi cerpenis terbaik. Sudah banyak lomba yang dia ikuti. Materi yang dia pelajari, bahkan ikut pelatihan di sana-sini . Baik yang offline maupun online, namun semuanya sama saja. Selalu namanya tidak berhasil lolos sebagai juara. Jangankan juara, masuk nominasi saja tidak pernah.
“Nia, makan dulu yuk. Mama sudah masak makanan kesukaan kamu,” teriak mama dari arah luar kamar
“Iya mama,” keluh Nia sambil memadamkan layar ponselnya. Dia lalu berjalan lunglai menuju dapur. Meski wangi harum masakan sungguh menggiurkan, namun semuanya terasa hampa karena Nia sedang tidak berselera.
“Tuh mama sudah masak soto ayam kesukaan kamu. Makan yang banyak ya.”
Nia diam. Dia hanya memainkan sendok dan mangkok soto yang ada di hadapannya. Tidak perlu dijelaskan lagi dari raut wajahnya terlihat jelas kalau Nia sedang kecewa. Sangat kecewa pada dirinya sendiri.
Menulis adalah salah satu hobi Nia yang baru. Nia mendapatkan ilham dan terjun ke dunia menulis secara tidak sengaja. Sejak pandemi Covid-19 menyapa bumi dan membuat segala aktivitas fisik menjadi terbatas, dari sanalah hobinya perlahan muncul. Awalnya Nia hanya jadi suka membaca novel di platform menulis. Tetapi lama kelamaan dia jadi gemas sendiri ingin menulis juga. Namun bak lirik lagu, tak segampang itu untuk kita mendapatkan hal yang kita inginkan. Pembaca novel Nia sangat sedikit. Bahkan nyaris terus menurun setiap harinya. Meskipun dengan susah payah, akhirnya novel perdananya berhasil selesai juga. Sekarang Nia sedang tertarik menulis cerpen dan mengirimkannya ke berbagai media. Sayangnya cerpen yang dia kirimkan selalu mengalami penolakan. Paling ada sekitar satu atau dua cerpen yang berhasil lolos, itu pun lama sekali pengumumannya. Sampai Nia merasa lelah sendiri karena harus bolak-balik mengecek emailnya.
“Nanti setelah makan, Nia bantu mama menyiram tanaman di halaman depan ya seperti biasa. Mama mau angkat jemuran dulu di belakang,” ucap mama berlalu sambil membiarkan Nia menghabiskan sotonya. Padahal soto ayam adalah makanan kesukaan Nia. Biasanya Nia pasti akan menghabiskan dua mangkok soto ayam setiap kali mama membuat menu tersebut. Namun sekarang setengah mangkok saja Nia sudah bosan. Setelah makan, Nia segera pergi ke halaman depan rumahnya dan menyiram tanaman. Mama dan Papa Nia adalah orang yang sangat suka berkebun. Sehingga di rumah Nia terdapat berbagai macam tanaman. Ada bunga anggrek, melati dan Kamboja. Bahkan ada pohon rambutan tinggi yang beberapa buahnya mulai menguning. Kata mama, pohon rambutan tersebut ditanam oleh mama dan neneknya. Ya, rumah ini aslinya adalah rumah nenek Nia yang kini telah meninggal. Rumah masa kecil mama.
“Buahnya mulai banyak ya. Nanti kalau sudah matang kita bisa bikin es rambutan nih. Nia bantu mama ya,” seru mama sambil menepuk bahu Nia. Namun Nia tetap tidak bergeming.
“Mama pernah cerita tidak soal perjalanan pohon ini?” seru mama.
“Memangnya sebuah pohon punya cerita juga? Cerita apa coba,” keluh Nia sambil tetap menyiram tanaman. Setelah pekerjaannya selesai, Nia duduk di kursi teras. Mama pun ikut duduk di kursi sebelah Nia.
Dulu ketika masih kecil, mama mendapatkan banyak rambutan dari bibi yang tinggal di desa. Awalnya yang menyuruh mama menanam biji rambutan itu adalah nenekmu. Saat baru menanam biji rambutan itu, mama sudah sibuk membayangkan sebesar dan seenak apa buah rambutan yang mungkin akan mama dapatkan. Namun dengan cepat, nenek berkata pada mama. “Segala sesuatu yang terjadi tidak selalu sesuai dengan yang kamu inginkan.”
Ketika tunas dari rambutan itu baru muncul, ada ayam Pak Agus tetangga kita yang menginjaknya. Saat itu, mama pikir pohon rambutan ini pasti sudah mati. Tetapi nenekmu masih tetap bersikeras menyuruh mama menyiram pohon itu. Ajaibnya tunas yang mama kira sudah mati itu, perlahan muncul lagi. Waktu berlalu. Tunas kecil tersebut mulai tumbuh menjadi pohon rambutan kecil. Namun saat itu masalah muncul lagi. Pohon itu tanpa sengaja mama tabrak ketika mama sedang belajar mengendarai sepeda. Pohon kecil itu patah, tetapi nenek masih bersikeras untuk merawatnya.
Seiring berjalannya waktu dan kesibukan sekolah, mama menjadi malas merawat pohon rambutan itu. Membiarkan nenekmu merawatnya seorang diri. Tanpa sadar pohon kecil itu mulai menjadi besar. Di saat seperti itu, mama kembali membayangkan betapa enaknya buah rambutan yang manis dan pasti melimpah. Tetapi suatu hari daerah ini dilanda badai. Pohon rambutan ini terkena petir dan harus rela kehilangan seluruh daunnya.
Mama mulai lelah dan melupakan keinginan menikmati buah rambutan dari pohon ini. Tahun demi tahun berlalu. Tanpa mama sadari pohon ini tumbuh kembali. Buah-buah rambutan kecil mulai tumbuh dari ujung dahannya. Namun kali ini, mama tidak mau menghayal terlalu tinggi. Mama hanya berusaha menyiram dan memupuk pohon ini. Sama seperti yang diajarkan nenekmu. Kemudian akhirnya pohon ini berhasil berbuah. Mama sangat senang bisa mencicipi buahnya, walau membutuhkan waktu lama dan perjalanan yang panjang.
“Maksud mama, setiap perjalanan dan perjuangan pasti akan membuahkan hasil nantinya bukan? Nia paham mama. Hanya saja Nia kecewa. Kenapa perjuangan Nia seolah tak berharga.”
“Nia sayang, kamu tahu hal apa yang membuat pohon rambutan ini tetap bisa tumbuh walau sudah melewati berbagai hal sulit?”
Nia menggeleng. Dia mencoba berpikir sejenak.
“Akarnya Nia. Meski berbagai hal menimpa pohon rambutan ini, akarnya masih tetap kuat menancap di tanah. Meski tidak terlihat mata, peran akarnya sangat berharga untuk menopang pohon rambutan melewati berbagai hal. Sama seperti kamu. Ketika kamu sedih, kecewa dan marah ingatlah selalu tujuan awalmu. Hal utama yang membuatmu melakukan ini semua.”
Nia diam. Dia kembali membayangkan perasaannya saat tengah bersemangat membaca novel untuk pertama kali. Dia menyukai alurnya, karakternya dan pesan yang disampaikan dalam novel tersebut. Tanpa sadar netranya membasah. Teringat kembali akan alasan utama dia ingin menjadi penulis. Nia ingin bisa berguna bagi banyak orang. Karena itu dia ingin membuat cerita yang mengandung pesan moral di dalamnya. Mama tersenyum kemudian memeluknya dari samping sembari menyeka air mata Nia yang jatuh.
“Terima kasih mama,” gumam Nia perlahan.
Inong Islamiyati. Seorang penyuka kucing dan animasi yang mulai tertarik pada dunia kepenulisan.