BERTOLAK DARI YANG ADA :
Karna & Rahwana Dipertanyakan?
Bulan September ini unik dan menggugah. Selama 3 hari berturutan 17-19, Teater Mandiri adakan Lomba Drama Pendek, kemudian tanggal 20 & 21 Teater Tetas pentas, dan 21-22 pentas Teater Keliling.
Teater Mandiri awalnya hanya ingin peluncuran buku karya Putu Wijaya terbaru” Seribu Cermin” namun kemudian untuk semarakkan HUT teater yang didirikan Putu Wijaya, diselenggarakan Lomba Drama Pendek – yang naskah-naskahnya juga sudah dibukukan.
Teater Tetas garap lakon “Adipati Karna – Bayi di Aliran Sungai, karya AGS A. Dipayana, sutradara Haris Syaus, pentas di Auditorium Gelanggang Remaja Bulungan.
Dan, Teater Keliling pentaskan lakon “the Great Rahwana” gubahan Delfry Inda Sari & Aldiansyah Azura dari novel “Rahwana Putih” karya Dr. Sri Teddy Rusdy, di Ciputra Artpreneur, jalan Dr.Satrio, Karet Kuningan.
[iklan]
“Bertolak Dari Yang Ada”
Saya mengalami pendarahan di otak dan dioperasi Prof. Eka… Saya memasuki hidup baru,” tulis Putu Wijaya di leaflet pameran lukisan bulan April lalu. “Dengan tangan dan kaki yang masih harus difisioterapi, saya kembali ke rumah. Belum bisa main Komputer dan jumpalitan di pentas. Bahkan membaca Koran dan teks film di TV pun tidak mampu.”
Jangankan berhenti, patah semangat pun tak. Sebab, setiap minggu ia wajib mengisi 3 kolom di media cetak. Mulai dari mendiktekan pikiran kepada Dewi Pramunawati, istrinya, juga Taksu Wijaya, anak lanangnya, beberapa minggu kemudian ia menulis sendiri dengan jempol tangan kanannya ke tuts BB.
“Bertolak dari Yang Ada” motto yang teramat gamblang : apa yang ada dalam diri dan sekitar diolah-kreatif menjadi manfaat bagi siapa saja.
“Saya hanya dengan satu jari mengetik di Handphone..,” tuturnya di hadapan peserta lomba drama pendek yang datang dari Aceh, Bali, Surabaya, Malang, Jabodetabek. Tulisan pendek, masing-masing sekitar 15-20 kalimat setiap hari diunggah ke laman FB.”Saya mengetik banyak, sampai HPnya penuh..lantas rusak. Ganti baru, penuh lagi…rusak lagi,” tambahnya dengan gaya khas. Nah, di HP ketiga tulisan-tulisan itu berhasil diselamatkan, lantas diserahkan kepada Rita Sri Hastuti untuk diedit-susun jadi buku “Seribu Cermin.”
Dari sekitar 60-an grup dari berbagai daerah, 29 grup lolos dan dipersilakan tampil di Galeri Indonesia Kaya, lantai 11 Grand Indonesia. Bertindak sebagai Juri : Putu Wijaya, Gandung Bondowoso dan Dindon. 15 grup, 5 sutradara, 5 pemain wanita dan 5 pemain pria dinominasikan, beroleh buku dan sertifikat. Pemenangnya : grup dari Malang, Sutradara dari Bogor, Pemain pria dari Bali, dan pemain wanita dari Bekasi.
“Anak Kusir Kereta.”
AGS Arya Dipayana, akrab dipanggi Aji, pendiri, penulis naskah dan sutradara Teater Tetas pernah pentaskan naskah “Adipati Karna – Bayi di Aliran Singai” tahun 80-an, berarti pementasan bulan September 2019 untuk kedua kalinya. Penting dicatat, bahwa Haris Syaus selaku sutradara (setelah Aji wafat) mengolah garap pertunjukan dengan menampilkan sebagian besar pemainnya adalah anggota baru, sehingga butuh latihan panjang dan menguras energi.
Setiap pencinta maupun peminat pewayangan umumnya memahami khasanah Mahabharata – tulisan Walmiki – empu dari India, yang diolah-gubah (baca: di bumi Jawa-kan) oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, dilanjutkan oleh empu-empu di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perjalanan pewayangan sudah ratusan tahun, maka mafhumlah kita bahwa cerita pakemnya berkembang dan menghadirkan cerita-cerita “carangan.”
Adalah Dewi Kunti – isteri Prabu Pandudewanatas, raja Hasinapura – yang kecewa berat lantaran suaminya tak mampu menumbuhkan bibit pada rahimnya. Maka ia meminta kepada dewa, dan beroleh “kesaktian” menghadirkan dewa-dewa yang ia sukai. Dewa pertama yang “dikencani” adalah Batara Surya. Dewi Kunti belum siap lahir bathin untuk menjadi ibu, maka meminta melahirkan bayi tidak melalui saluran yang benar – melainkan melalui telinga, dan kemudian melarung si bayi ke aliran sungai.
Belasan tahun kemudian Karna tumbuh menjadi lelaki yang memiliki keterampilan memanah. Suatu ketika saat Pandawa & Kurawa sedang berlatih – mendadak Karna tampil memanah persis tepat seperti kemampuan Arjuna. Tentu saja ksatria penengah Pandawa merasa tersaingi, dan bertambah marah karena Karna dibela oleh Kurawa. Duryudana sebagai anak tertua Kurawa merangkul Karna dijadikan saudara. Tapi, hal tersebut nyaris batal saat ada kusir kereta lewat di tempat itu, dan Karna memanggilnya “Bapak.” Karna hanya anak kusir kereta bagaimana mungkin setara – dan pantas – menjadi satria, bahkan sekalipun diangkat sebagai Adipati?
Kisruh status dan peran itulah benang emas dari cerita yang disajikan Teater Tetas. Dewi Kunti menyesali perbuatannya telah membuang Karna, anak kandungnya. Namun, ia tak mampu mencegah “suratan” Dewa yakni Karna tetap membela Kurawa dan gugur dalam perang Bharatayudha di tangan Arjuna, adik dari Ibu yang sama.
“Cinta Sempuna Dasamuka?”
Epos Ramayana – yang juga asli India – pun diolah-garap secara kreatif oleh para empu dan dalang di Indonesia. Meski perluasan “carangan”nya tak sebanyak Mahabharata.
Adalah Sinta – isteri Rama – diculik di hutan Dandaka oleh Rahwana penguasa kerajaan Alengkadireja. Sedemikian besar Rahwana tergila-gila pada Sinta, utamanya karena ketika muda jatuh hati pada kecantikan Dewi Widowati – titisan Dewi Sri. Tentu saja Widowati tak sudi menjadi isteri raksasa. Ia menolak keras, bahkan terjun ke laut “bunuh diri” karena Rahwana terus memaksa. Sejak itu Rahwana hanya ingin menikah dengan titisan Dewi Sri, yang kemudian menitis pada diri Sinta.
Cerita yang dipaparkan pada novel “Rahwana Putih” merupakan perspektif baru. Rahwana yang biasanya digambarkan secara “hitam” diubah memiliki karakter “putih,” demikian penggalan resensi dari seorang pengamat. Rahwana menculik Sinta, mengungkungnya di taman sari Alengkadireja – seraya berusaha dengan segala cara membujuk-rayu – bahkan sampai 10 tahun lamanya – sama sekali ia tak mau memaksa. Penolakan Sinta tak membuatnya surut.
Sampai saatnya tiba. Rama mengutus Hanoman – kera putih – untuk menyusup ke Alengkadireja menemui Sinta, serta mengkabarkan bahwa Rama dan pasukan kera Kerajaan Guakiskenda bakal menyerang. Alih-alih meradang, Dasamuka malah dilema. Jika ia membunuh Rama maka Sinta bakal tambah membenci. Tapi jika tak melawan Rama maka kerajaannya bakal bubrah dan dirinya bakal mati. Rahwana bahkan menyuruh Wibisana, adik kandungnya, untuk bergabung dan memberitahu Rama mengenai titik-titik lemah kesaktiannya, seperti menyatakan bahwa ia rela membawa cintanya kepada Sinta sampai mati.
Di akhir adegan Sinta menangisi kematian Rahwana seraya menyanyi sendu,..”cintanya sempurna..” Unik, memang. Demikian pula garapan Rudolph Puspa – sutradara Tester Keliling – yang menghadirkan pentas drama musikal “the Great Rahwana” lengkap dengan koor dan gerak tari maupun adegan canda tawa dan celotehan dayang-dayang khas anak muda masa kini. Juga, catatan penting lain adalah rencana menjadikan pementasan ini lulus penilaian rekor dunia, ternyata – oleh satu dan lain masalah internal – terpaksa batal. Sungguh mirip dengan satu kalimat dialog yang mengubah pertanyaan menjadi pernyataan, seperti : “..kadang benar dan salah sangat tipis perbedaannya.” (UBS).