Memperingati HIMAS dan 20 Tahun AMAN

PEDULI “NASIB” MASYARAKAT ADAT

“Meneguhkan Tekad, Memperkuat Akar dan Mengedepankan Solusi” menjadi tema dari perhelatan Pekan Film Masyarakat Adat 2019, yang diselenggarakan 9-11 Agustus, di Taman Ismail Marzuki.

Selain film digelar pula Pameran Produk, Permainan Tradisional, dan Festival Kuliner Masyarakat Adat sehingga suasananya semarak dengan pakaian khas, ragam bahasa para peserta, yang kesemua itu didukung oleh berbagai lembaga, antara lain Ford Foundation, Eagle Institute, Infis, Dewan Kesenian Jakarta, Forum Film Dokumenter.

Pekan Film yang diadakan untuk memeriahkan 20 tahun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara – AMAN sekaligus merayakan Hari Masyarakat Adat Sedunia – ICPW, utamanya didedikasikan bagi sineas muda agar semakin peka tentang cerita/kisah hidup dan kehidupan warga masyarakat adat di Nusantara.

[iklan]

23 film dokumenter digelar selama 3 hari, dari pagi hingga malam, dilengkapi dengan diskusi yang menghadirkan pegiat bahkan pakar film dokumenter – yang ternyata mendedikasikan hidup mereka untuk mengetahui, mendalami, memfilmkan dan menghadirkan kepada khalayak ramai agar memiliki kepedulian terhadap “nasib” warga masyarakat adat, yang adalah saudara sebangsa setanah air kita – bangsa Indonesia.

Semua film yang ditayangkan menunjukkan berbagai keprihatinan situasi-kondisi geografi, pergaulan keseharian, tradisi, juga semangat perjuangan menjalani kehidupan. Beberapa judul di antaranya : Sapara Clothing A Tradition in Danger, Mentawai Tatto Revival, Kembalinya Ekosistem Leuser dari Kebun Sawit Illegal, Suming craying the Flag, Aku Bukan Toraja, Penjaga Mandat Leluhur, Kesepakatan Rahasia Hancurkan Surga Papua, Semangat Juang Talang Mamak, Warisan (Tak) Terabaikan.

Dari judulnya menunjukkan ada “sesuatu” yang ingin ditunjukkan oleh para sineas – yang sebagiannya memang berlatar-belakang pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat – LSM peduli lingkungan hidup, adat istiadat. Film dokumenter coba menangkap-mencerna dan tunjukkan berbagai ekspresi. Berbagai bahasan menunjukkan adanya “protes” terhadap kesewenang-wenangan oknum pejabat pemerintahan yang melanggar hak ulayat masyarakat adat, bahkan menguasai dan memanfaatkannya, antara lain untuk perkebunan sawit, tambang batubara, minyak, dan sebagainya – yang merusak lingkungan hidup.

Kepedulian pemerintah pusat wajib terus ditingkatkan. Pengawasan ketat terhadap kementerian yang mengeluarkan ijin konsesi lahan harus terus dilakukan, juga terhadap korporasi yang melakukan penyelewengan, memanipulasi kebijakan, melanggar aturan harus ditindak lengkap dengan hukuman tegas. Contoh mutakhir : eksport asap  ke negara tetangga gara-gara kebakaran hutan, jelas mempermalukan martabat bangsa Indonesia. Di mana nasionalisme para konglomerat ?! (UBS)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *