Kuhirup udara musim kemarau yang terasa panas di pesisir pantai, lebih panas dari biasanya. Meskipun payung selebar dua rentangan tangan menutupi hampir seluruh kepalaku. Bertahun-tahun menghindari tepian pantai rupanya tak membuat sebagian ingatan benar-benar hilang. Lalu setelah melewati pergulatan yang tidak mudah antara batin dengan logika agar bisa menerima semua yang telah terjadi, hingga menyeretku berada di sini. Bertemu dengan orang-orang yang beberapa tahun lalu kutinggalkan tanpa mengucapkan kata pisah.

Kalau memang ada pilihan, lebih baik aku harus memotong kepala sendiri daripada merasakan panas serta teriakan-teriakan yang memekakan telinga setiap waktu. Sepengecut-pengecutnya aku tak ingin mati dengan membawa panas api di dalam kepala. Tetapi ini berbeda aku berhadapan dengan masa lalu, dan suara-suara yang terus memanggil dari dalam samudera. Terus memanggil hingga membawa kenangan-kenangan senja di tempat ini.

“Apa kau mendengar suara itu.” Tiara memintaku menajamkan telinga.

“Itu suaranya dari dalam deburan ombak,” kata gadis itu sekali lagi. “Aku ingin bertemu Mutiara yang di dalam sana.”

Aku membuang pandangan jauh ke luas lautan yang sepertinya tak pernah lelah menghasilkan gelombang tinggi-tinggi. Sejurus kemudian Tiara berdiri, berjalan mendekati ombak kecil-kecil yang sampai ke bibir pantai.

Sejujurnya aku tak pernah mendengar apa-apa, selain cerita-cerita tentang suara yang terus memanggilnya dari dalam lautan. Kalau saja Tiara bukanlah orang yang paling kusayangi tentu aku akan tertawa keras-keras dan menganggapnya tidak waras.

Ia menutup cerita senja ini dengan air mata yang jatuh bersama dengan ombak kecil yang menyentuh ujung jemari. Tanpa memberiku kesempatan untuk menenangkannya. Tiara berjalan dengan menggenggam tanganku. Sebuah sikap yang kukagumi meskipun dalam sanubari tetap kulihat bahwasanya dia perempuan yang rapuh.

Sesuatu yang nyaris tak pernah terpikirkan hingga kudengar perihal karamnya biduk rumah tangga orang tuanya dari Paman penjual es kelapa di pantai ini.

***

Tiara memejamkan mata begitu mendapati kedua orang tuanya bercerai. Ayahnya memutuskan untuk pulang ke kampung halaman di Muara dua Kalimantan tengah. Ini hari terakhir mereka bersama sebelum sebuah kapal antar pulau membawanya pergi untuk selamanya. Dua bulan proses perceraian dirasa gadis sepuluh tahun itu terlalu cepat. Ia paham ayahnya pasti sudah lelah dengan pertengkaran-pertengkaran yang selalu disebabkan perbedaan kultur di antara mereka.

“Ini hadiah terakhir yang Ayah berikan kepadaku saat ulang tahun kemarin,” kata Tiara. “Boneka berwajah aku, yang Ayah buat dari kayu pohon waru di depan rumah. Bawalah Ayah.”

Boneka kecil di tangan Tiara sudah berpindah dalam pelukan Ayahnya. Sementara sang Ibu hanya bisa menyaksikan semua itu dengan perasaan sedih yang tak terkatakan.

“Sama seperti wajahnya, aku memberi nama Mutiara.”

Ayah Tiara merengkuh anak gadisnya, tak peduli apakah boneka di dalam pelukan menyakiti satu sama lain. Seakan-akan keduanya merasakan firasat bahwasanya waktu untuk pertemuan selanjutnya tidak akan pernah ada.

***

Air di atas lautan sedikit demi sedikit mengebyur memasuki kapal, sehingga gebyuran air itu mencapai mata kaki. Debar jantung lelaki itu mulai tidak teratur. Ketika salah satu nahkoda meneriakkan masalah-masalah yang saat ini sedang mereka alami. Untung di pelukan tangannya ada sesuatu yang berusaha menahan jantungnya berlompatan, boneka Mutiara masih rapat menempel di dadanya. Gelontoran air datang kembali membuat kapal oleng ke kanan-kiri.

“Ombak begitu besar, kapal mengalami kebocoran,” teriak Nakhoda. “Rapatkan pegangan pada kapal.”

Ada beberapa orang yang kemudian saling berpelukan, dari mulut mereka keluar doa-doa yang lebih menyerupai nyanyian kematian. Setiap mereka yang berpelukan saling menguatkan.

“Lemparkan apa saja yang bisa mengurangi beban kapal,” teriak Nahkoda itu lagi. “Kalau tidak, kita yang akan terlempar ke lautan.” Seperti sebuah perintah dari langit, orang-orang membuang semua harta benda bawaannya, ransel, tempat makan, benda-benda yang dibelinya dari daratan satu persatu di buang ke laut. Seakan-akan semua harta itu tidak berarti sama sekali selain nyawa yang melekat pada raga. Tentu hanya harapan yang tersisa di dada orang-orang itu.

Sementara lelaki itu hanya berusaha mempertahankan apa yang saat ini masih berada di pelukannya. Setelah tas ransel hitam tenggelam bersama harapan untuk hidup bersama anak-istrinya beberapa waktu lalu. Ia hanya ingin sampai daratan bersama boneka itu. Hanya sebuah boneka kayu, tak akan apa-apa, Pikirnya.

Hujan tak mau reda, angin tetap menghasilkan gelombang. Rupanya doa orang-orang yang berada di kapal itu tidak serta-merta dikabulkan Tuhan. Entah apakah saat itu Tuhan tidak cukup ada di dalam hati mereka. Terlalu lama untuk kapal bertahan dari gelombang besar, apalagi kapal kayu dengan tahun pembuatan yang terbilang tua mengangkut muatan melebihi kapasitasnya. Keselamatan tak pernah terpikirkan sebelumnya. Yang terlintas hanya bagaimana bisa sampai ke pulau seberang dengan biaya yang lebih murah, bila perlu mempertaruhkan sedikit keselamatan tidak menjadi masalah.

“Hai, Pak,” seru seseorang mengagetkan lelaki itu. “Yang di dalam pelukanmu itu bukankah boneka kayu?”

Semua mata tertuju kepada lelaki itu, seakan-akan mempertanyakan hal yang sama. Kasak-kusuk dan suara penumpang  yang masih diliputi kecemasan sampai ke telinga Nahkoda kapal.

“Buang boneka itu,” hardiknya. “Jika tidak mau, kau yang kubuang ke lautan.”

Sepertinya akal telah benar-benar hilang dari orang-orang yang ada di kapal ini. Bagaimana sebuah boneka yang berukuran tidak lebih dari sejengkal telapak tangan orang dewasa bisa menyebabkan kapal tenggelam. Selain daripada kuasa Tuhan.

Seperti kuasa Tuhan itu memang benar. Tak lama setelah boneka kayu itu bersentuhan dengan air laut, lambat hujan dan angin mulai reda. Seiring hilangnya kekhawatiran orang-orang yang ada di atas kapal, Boneka Mutiara telah jauh tenggelam ke dasar samudera. Bersama lelaki tua yang telah kehilangan harapan-harapannya.

Sejak saat itu, suara-suara panggilan dari lautan selalu menemani hari-hari Tiara. Tak ada satu senja yang terlewat, sahabatku itu selalu menghabiskan separuh dari hari-harinya di bibir pantai. Merasakan, berbicara, dan berlarian kesana-sini hanya untuk merasakan sentuhan suara yang menurutku tak pernah ada.

Hingga petang lima tahun lalu. sebuah kapal nelayan memberikan satu tumpangan untuk sekedar melayari lautan bersama-sama. Pikirku hal itu menjadi keasyikan yang lain daripada yang lainnya. Dengan berada di tengah-tengah lautan mungkin saja Tiara bisa menyadari bahwasanya suara-suara itu tidak pernah ada, dan memutuskan untuk berhenti mengejar dan mencari-cari suara panggilannya. Namun tidak, justru saat itulah untuk terakhir kalinya kulihat senyum dan suara-suara Tiara terdengar manja di telinga.

“Dengar suara itu memanggilku,” seru Tiara. “Ia memintaku menemuinya.” Tangan tiara menunjuk-nunjuk gulungan air di luar kapal. Rona wajahnya begitu bahagia seperti seorang anak kecil yang mendapat mainan dari orang yang disayanginya.

“Tidak Tiara, suara itu tidak pernah ada.”

“Dengar, Ruhi. Suara itu begitu merindukanku.”

“Jangan Tiara,” teriakku seraya berusaha menggenggam tangan Tiara yang sedang berusaha mendekati ujung kapal. Tarik-menarik terjadi di antara kita. Laut tiba-tiba bergejolak, angin menerbangkan rambut di kepala, membentuk sebuah tarian kematian seperti yang kusaksikan di acara pertunjukan-pertunjukan. Ah tidak ….

Tiara Sama sekali tidak menghiraukan suara nelayan tua yang terus berteriak melihat apa yang terjadi di antara kami. Sepertiku nelayan itu sungguh tak pernah menyangka apa yang akan terjadi jika saja Tiara benar-benar melompat keluar dari pijakan kapal.

“Ruhi, suara itu menginginkanku.” Setelah mengatakan itu tiba-tiba saja tubuh Tiara sudah terlepas dari genggamanku.

“Jangan ….”

Angin dan gelombang laut pantai utara yang terkenal ganas dan besar hanya perlu beberapa detik saja membawa tubuh tiara menjauh dan hilang. Bahkan sampai tubuh Tiara raib tak sekalipun kudengar suara-suara panggilan itu.

Tidakkkk ….

Satu tepukkan di pundak mengembalikan semua kesadaranku dari kenangan-kenangan itu. Dimas sudah berada di sampingku tepat. Kawan sekaligus musuh berkelahi di kelas kita dahulu itu telah begitu berubah. Bahu yang kekar dengan rambut sepundak membuatnya benar-benar kehilangan sosok tengil yang sering membuatku jengkel dengan guyonannya yang garing.

Waktu bisa merubah segalanya, namun tidak dengan bayangan Tiara dan suara-suara panggilan dari laut yang sering diceritakannya kepadaku.

Saat ini aku memang tidak lagi sendiri. Dimas bersamaku. Namun sama sekali ia tidak mendengar suara-suara panggilan dari laut yang saat ini kudengar. Mulai kudengar sesaat setelah tubuh Tiara hilang di tengah gelombang senja itu.

“Dengar suara panggilan dari laut itu,” bisikku. “Ia memanggilku.”

Surabaya, April 2022

Lilin adalah nama pena perempuan kelahiran Surabaya ini. Penyuka sepi dan sendiri inimenulis untuk meluahkan segala rasa. Jejaknya bisa dilacak di akun instagram @lilinmey bisa juga kepoin akun facebooknya Lilin(Mey Farren)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *