Odong Odong

Kaifin Prasetyo

Seminggu lagi aku sekeluarga akan menempati rumah baru di kawasan Muncul. Salah satu hal yang tidak aku sukai: pindah dan beradaptasi dengan habitat baru.

Sore itu sepulang sekolah, ibuku sedang asik mengobrol dengan sahabatnya — tetangga yang menempati rumah di sebelah rumah kami— tentang daerah di tempat tinggalku yang baru. Aku berkali-kali mendengar mereka mengucapkan kata “odong-odong”. Aku mengira itu sejenis makanan khas daerah tempat tinggal baruku.

Wah, aku mulai membayangkan makanan berbentuk bola-bola seukuran kepalan tangan yang kenyal bertabur parutan kelapa dan bila digigit mengeluarkan cairan coklat manis. Aku langsung teringat pada Desi, teman seperjalananku menuju rumah dari sekolah. Ia sangat menyukai cokelat. Aku memutuskan akan memberikannya odong-odong kalau besok ayah dan ibuku pergi menengok rumah baru sebelum kami benar-benar tinggal di sana, karena waktuku hanya tinggal seminggu. Aku sudah didaftarkan ke sekolah negeri di daerah tempat tinggalku yang baru. Aku harus melanjutkan bersekolah di sana — saat itu aku baru kelas tiga sekolah dasar . Ah, sekolah baru, pasti akan terasa mengerikan di hari pertama.

[iklan]

Minggu pagi itu ibu dan ayahku sudah rapi seperti akan pergi ke luar rumah. Hmm… mereka pasti ingin menengok rumah baru di daerah Muncul. Odong-odong, ya, aku teringat makanan itu. Aku harus membelinya untuk kubawa besok ke sekolah dan memberikannya kepada Desi.

“Ibu mau pergi melihat rumah baru, ya?” tanyaku.

“Iya. Ayah sama ibu mau ke sana. Kamu di rumah saja ya main sama Eko,” sahut ibuku sambil merapikan kerudungnya.

“Nanti pulangnya beliin Anton odong-odong, ya!” pintaku.

Seketika ibu melirik heran ke arahku dan berkata, “Kamu tahu odong-odong dari mana?”

“Anton dengar kemarin Ibu sama mama Eko ngomongin odong-odong terus. Itu nama makanan, kan?”

Ibuku melempar senyum khas meledeknya kepadaku. Perasaanku tidak enak, pasti tebakanku kali ini meleset. Aku benci kalau salah menebak sesuatu. Sebab, dalam permainan video game Duck Shoot (menembak bebek) aku tak pernah meleset menebak lokasi bebek-bebek yang akan keluar dari semak-semak. Ketika aku gagal menebak sesuatu, perasaanku akan seperti anjing pemburu yang gagal menangkap bebek hasil buruan tuannya. Wajahku juga serupa anjing yang murung. Butuh waktu dua hari untuk mengembalikan kepercayaan diriku di depan cermin jika sedang seperti itu.

“Bukan, Ton. Odong-odong itu mainan orang gede. Nanti Ibu belikan Lego baru aja, ya?”

“Nggak usah, Bu. Tapi Anton mau cokelat yang bentuknya bulat-bulat,” jawabku sambil menahan sedikit kecewa.

“Iya, nanti Ibu belikan cokelat.”

***

 Lima belas tahun lalu adalah sebuah pertanyaan yang bersembunyi di balik punggung. Kau menjawabnya bersamaan dengan bias mentari pagi yang menukik ke arah wajahmu, setelah melewati jendela kamar yang hendak dan enggan tersenyum padaku.

“Ton, aku keluar sebentar beli rokok. Kopimu kutaruh di atas meja.”

Suara gadis yang dulu kukenal pemalu dan anggun, pemilik lesung pipi yang hanya dikeluarkannya sekali dalam seminggu. Gadis penyuka cokelat ini sekarang menjadi pecandu rokok dan bir. Aku jadi sering menemaninya mengobrol sejak sebulan lalu di kontrakan sepetak yang ia tempati. Aku sangat terkejut saat pertama bertemu kembali, setelah sekian lama tak pernah mendengar kabar Desi. Segala yang ada pada dirinya menjadi penyebab keterkejutanku. Mulai dari pakaian, gelas bir di genggamannya, dan ia duduk di depan warung rokok yang biasa menjadi tempat mangkal para pekerja seks di daerah tempat tinggalku sekarang. Aku diam saja, melamun di atas ranjang yang entah bagaimana caranya mampu membuat perasaan dan pikiranku bergerak menuju tempat wisata yang berbeda, dan aku tidak terlalu nyaman berada di tempat-tempat wisata.

Waktu itu aku sedang main di rumah kawanku sepulang kerja — aku biasa berkumpul dengan kawan-kawanku di sana setiap Sabtu malam. Lima belas tahun aku tinggal di daerah ini, namun tak pernah sekali pun berkunjung ke bar-bar sederhana dekat rumah. Sebab, ibuku memiliki citra buruk terhadap tempat itu. Jika aku ketahuan mengunjungi bar, apalagi sampai menginap di kontrakan tempat para pekerja seks, ibuku akan murka, dan sembilan ekornya akan keluar secara bersamaan seperti di film Animasi Jepang Naruto. Tidak, aku tidak ingin ibuku sampai memorakporandakan desa. Tapi saat itu aku benar-benar tidak bisa menahan kerinduan pada Desi yang kulihat di warung ketika aku sedang membeli rokok. Juga kenangan tentang persepsi masa kecilku perihal kata “odong-odong”. Hanya butuh waktu kurang dari dua bulan sejak pertama aku menghuni rumah baru, persepsiku tentang odong-odong berubah. Ternyata itu adalah sebutan lain di daerah ini untuk pekerja seks. Entah dari mana asal kata tersebut. Aku sudah tidak terlalu mempedulikannya saat itu.

Aku ingat sekali lesung pipinya yang hanya keluar sekali dalam seminggu. Apakah ini hari lesung pipinya boleh tampak? Dan, ia benar-benar melakukannya persis seperti kami masih sering pulang berdua dari sekolah dulu.

“Abang, boleh minta rokoknya sebatang?” godanya sambil melempar lesung pipi yang tak kunjung pudar. Seingatku, lesung pipinya tak pernah tampak lebih dari sepuluh detik.

“Desi! Kamu Desi yang bersekolah di SD Negeri 2, kan?” tanyaku mendadak dan membuatnya sedikit heran. Sepertinya dia tidak mengenaliku, sebab sekarang aku memakai kaca mata.

“Kok Abang tau nama saya? Sini Bang, duduk dulu. Kita ngobrol-ngobrol.”

Aku menerima tawarannya. kemudian kami berbincang di warung itu. Aku tak suka minuman beralkohol. Jadi, kupesan segelas kopi untuk melawan rasa mual karena bau alkohol yang keluar dari mulut Desi. Setelah dua puluh menit kami berbincang ngalor-ngidul, akhirnya aku mulai menceritakan tentang diriku. Kalau menunggu lebih lama lagi, aku khawatir ia mabuk dan benar-benar tak bisa mengingatku. Desi terkejut dan langsung mematikan rokok di tangannya setelah ingat tentang diriku. Dia tersenyum, namun aku melihat kedua matanya mulai berkaca-kaca. Entahlah apa penyebabnya, antara alkohol atau sesuatu yang salah dari ceritaku dan pertemuan ini.

Aku masih melihat sosok Desi yang dulu kukenal setiap kali dia menyuguhkan kopi kepadaku ketika aku berkunjung ke kontrakannya. Desi yang bersembunyi di balik rimba masa lalu, yang takut dengan langit senja, sebab kedua orang tuanya akan memarahinya bila ia sampai rumah saat langit gelap. Hari ini adalah pertemuan kami yang kesekian kali. Aku telah menceritakan tentang odong-odong kepada Desi berkali-kali, dan dia sering menertawai kebodohanku. Aku baru tahu tentang arti sesungguhnya odong-odong dari Desi. Ia bilang odong-odong berasal dari bahasa Sunda yang artinya boneka singa yang ditunggangi anak laki-laki pada acara sunatan.

“Jadi, kalau belum sunat, kamu belum boleh naik odong-odong, Ton. Ahaha…” ledeknya kepadaku sambil tertawa.

Aku geli sendiri menertawai persepsi masa kecilku. Namun di saat bersamaan, Desi juga sadar dirinya sekarang adalah boneka singa yang sering ditunggangi para lelaki dengan memasukkan lembaran-lembaran uang ke sakunya. Ya, dia adalah odong-odong. Aku tak mengerti kenapa ia memilih jalan hidup seperti ini; bersahabat dengan malam dan melayani nafsu para lelaki.

Desi mulai menceritakan penyebab memilih jalan menjadi odong-odong. Ketika ia lulus sekolah menengah atas, kedua orang tuanya menjodohkan dengan lelaki tuan tanah di daerah tempat tinggalku yang lama. Ia menikah tidak sampai setahun, lalu bercerai. Desi menceritakan kepadaku bagaimana kehidupan masa lalu rumah tangganya yang membuatnya tertekan karena sering mendapat perlakuan kasar dari suaminya dulu. Lelaki itu sering memperlakukan Desi seperti seekor binatang di dalam kandang. Kata Desi, lelaki itu tak pandai memelihara binatang. Hampir setiap anjing peliharaannya mati kelaparan karena mulut si anjing dibungkam menggunakan alat semacam penutup mulut. Lalu ia sering lupa melepaskannya, kemudian si anjing tewas karena tak bisa makan.

“Laki-laki itu memang aneh,” ucap Desi. “Ia tidak sepertimu, Ton, yang banyak  bicara hal-hal menyenangkan. Ia lebih memilih diam dan membiarkan tangannya berbicara kepadaku. Kalau tangannya lelah, ia gunakan rotan untuk menghukum kebodohanku.”

Aku tahu Desi tidak bodoh. Ia selalu menempati peringkat satu di sekolah waktu SD. Mungkin lelaki itu terlalu bodoh sehingga tidak mampu mengimbangi kepintaran Desi.

“Sejak ibuku meninggal, ayah mulai sering membawa odong-odong ke rumah. Aku tahu dari mulut tetanggaku yang tak henti membicarakan keburukan keluargaku,” lanjutnya. “Tak lama setelah aku bercerai dari suamiku, ayah mulai sakit-sakitan dan akhirnya menyusul ibu. Kau ingat kan waktu aku bercerita melihat sosok hantu hitam besar di gang sempit tempat biasa kita pulang sekolah dulu? Waktu kau sakit dan tak bisa masuk sekolah, akhirnya aku pulang sendirian. Aku kira ayahku sekarang berteman dengan makhluk hitam itu, Ton,” tutur Desi dengan aroma alkohol dari mulutnya.

Aku terharu dan iba kepadanya. Walaupun menceritakan semua itu dengan cara menyenangkan, ia tetap tak bisa menyembunyikan kesedihan yang mendalam dari kedua bola matanya. Aku ingin memeluknya sekarang juga tanpa memaknai perasaanku kepada Desi saat ini. Ya, aku tak pernah memaknai perasaanku padanya sejak kami saling mengenal. Ia merasa memiliki perasaan yang aneh terhadap laki-laki setelah kejadian yang dialaminya saat berumah tangga.

“Aku ingin menjadi wanita yang diinginkan lelaki. Melihat mereka tersenyum setelah tidur denganku, memberikan sensasi seperti saat aku pertama jatuh cinta. Kemudian aku akan teringat pada sosok cinta pertamaku,” ujar Desi sambil menatapku dengan menampakkan lesung pipinya.

***

Desi menyodorkan rokok yang dibelinya kepadaku sambil tersenyum meledek — masih dengan lesung pipi indahnya. “Akhirnya kamu bisa membeli dan nyobain odong-odong. Ehehe…” katanya.

Aku diam saja, tak habis pikir tentang apa yang terjadi semalam. Mungkin Desi sudah terbiasa melakukan hal itu dengan lelaki lain, tapi tidak denganku yang baru pertama kali menunggangi odong-odong khas daerah ini.  Tidak! Aku tidak mau seperti ini dengan wanita yang begitu berharga di mataku.

“Des, lebih baik kita menikah. Mungkin aku bukan laki-laki pertama yang tidur denganmu, tapi aku mau jadi lelaki terakhir.”

“Kamu mabuk, Ton?”

“Apa mulutku bau alkohol?”

“Hmm… nggak, sih. Tapi mungkin kamu memakai obat-obatan saat aku ke warung tadi?”

“Aku serius dengan ucapanku, Des. Aku mau menikahimu secepatnya. Kamu nggak perlu lagi bekerja seperti ini.”

Kali ini Desi yang diam dan menunduk. Sesekali diisapnya rokok di tangannya sambil menahan desak air yang keluar dari mata dan hidungnya.

Aku tak pernah memaknai perasaanku pada Desi sekali pun. Ia terlalu sulit kupahami dengan perasaan. Logikaku tak berguna saat membawa Desi kehadapan kedua orang tuaku. Aku hanya tahu, sosok kecilku bersembunyi di balik relung hatinya. Begitu pula dengan taman-taman di hatiku, masih menjadi tempat egois yang hanya boleh menjadi tempat Desi kecil bermain.

Aku tidak akan membunuh anak kecil dalam diriku. Sekalipun tubuhku tumbuh besar dan usiaku meminta untuk jadi dewasa.

Kaifin Prastyo bisa dipanggil Kevin atau Kai, pria kelahiran 4 Mei 1993   saat ini aktif bergiat dalam bidang seni, khususnya musik dan sastra. Ia  juga aktif sebagai relawan di Perempuan Berbagi dan Riungan Dapoer Sastra Tjisaoek. Kaifin yang berumur 26 tahun ini, tinggal di desa Babakan, kecamatan Setu, kota Tangsel, Banten. Ia dapat dihubungi melalui  kaifinsyiva@gmail.com.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *