Sampai saat ini, tahun 2023, mungkin sudah ratusan bahkan ribuan Buku Antologi atau Buku Kumpulan Puisi telah diterbitkan oleh Penyair, baik terbit sebagai Karya Penulis tunggal, maupun dalam bentuk kumpulan Puisi dari beberapa Penyair.

Hampir semua buku kumpulan puisi tersebut berpotensi menarik untuk dinikmati, dicermati, dan tentu saja bisa diambil pelajaran maupun inspirasi atas karya puisi yang dimuat di buku Kumpulan Puisi tersebut.

Tiga buku kumpulan puisi yang menarik diantara, mungkin ribuan kumpulan puisi yang telah hadir di ranah dunia sastra Indonesia, misalnya :

  • Buku Kumpulan puisi: “ Menapak Jejak “, Karya Penyair Dewi Linggasari
  • Buku Kumpulan puisi : “ANTOLOGI PUISI GERHANA, Memperingati Peristiwa Gerhana Matahari Total, di sebagian Wilayah Indonesia, Rabu, 9 Maret 2016”, Karya Komunitas #puisi3baris
  • Buku Kumpulan Puisi: “ SULUR KEMBANG SRITANJUNG, Kumpulan Puisi Folklor Banyuwangi”, Oleh Komunitas Obor Sastra

Adapun sekilas tentang buku buku yang dimaksud bisa dibaca pada Sambutan, Prakata, maupun Epilog dari buku tersebut, seperti di bawah ini.

  1. Buku kumpulan puisi “ Menapak Jejak “, Karya Penyair Dewi Linggasari

menapak jejak

SEKELUMIT PENGANTAR RASA

Berawal dari saran seorang teman yang disampaikan pada Dewi Linggasari, penulis buku kumpulan puisi “ Menapak Jejak “, sebelum buku ini dilahirkan, agar “ menyimpan setiap jejak “ yang pernah tercatat. Rupanya pesan ini menjadi momentum yang tak terbendung agar kembali menelusuri rekam jejak yang pernah ditorehkan dalam kehidupan sehari-hari.

Ibarat benda angkasa, rasa itu melesat bagai meteor mengarungi lintasan antariksa. Dipungutnya satu persatu jejak debu meteor yang masih tertinggal, bagai seorang pakar, segala yang tersisa dipindai ulang untuk menemukan sosok meteor yang telah lama melintas dalam orbit kehidupan, meski sinar bintang gemintang di langit hanya tinggal pendar cahaya, dan kehidupan masa lalu pun, hanya tinggal cerita, justru memperkuat tekadnya untuk mewujudkan dalam karya nyata.

Memang sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwa setiap makhluk di dunia ini akan senantiasa meninggalkan jejak, walau hanya sekelumit saja, demikian juga Dewi Linggasari, seorang Peneliti Etnografi, khususnya suku Asmat, Novelis dan sekaligus ibu rumah tangga yang didamba keluarga, sudah pasti sangatlah banyak noktah kehidupan yang dapat dipindai kembali, dan bisa diabadikan sebagai salah satu bentuk peninggalan catatan hidup. Siapa tahu, jejak yang terekam ini dapat menjadi sumber inspirasi menuju kehidupan yang lebih baik bagi sesama teman sebaya, saudara maupun bagi generasi yang akan datang.

Memang rekam jejak pun segera dilakukan, namun media yang dipilih sebagai pigora untuk membingkai rekam jejaknya tidaklah lazim seperti sebuah rangkaian kejadian penting yang bisa segera dipahami oleh pembacanya, semisal catatan biografi berupa narasi, kumpulan foto maupun surat-surat berharga, tetapi dipilihnya puisi sebagai tempat pajangan segala kejadian yang pernah dilakukan, dipikirkan, dan dirasakan.

Dua ratus puisi telah lahir dan dimuat di dalam buku “ Menapak Jejak “.

Puisi-puisi tersebut ada yang telah berumur dewasa dan dituliskan pada tahun 1970-an ada juga yang masih sangat muda yang lahir di tahun 2010. Tentu keragaman tahun kelahiran puisi ini, sepertinya juga akan semakin saling melengkapi informasi tentang sosok Dewi Linggasari, sehingga menjadi untaian jejak yang akan terjalin dalam satu kesatuan utuh sebagai rangkaian mata rantai yang saling bersambung antara satu puisi dengan puisi berikutnya, baik tentang sikap, pikiran, tindakan, maupun kebiasaan sang penulis.

Meskipun demikian buku kumpulan puisi ini masih memberikan ruang bagi terjadinya multi tafsir dari pembaca maupun dialog antara puisi dan pembacanya untuk bisa menyingkap apa yang sebenarnya terjadi di balik puisi puisinya.

Isi buku kumpulan puisi Menapak Jejak ini dibuka oleh satu puisi yang berjudul “ Dedaunan “. Puisi ini seolah sebagai pintu gerbang bagi pembaca untuk bisa menyelami kedalaman rasa dan logika yang tertuang pada puisi-puisi berikutnya. Dari puisi pembuka ini dapat sedikit tersingkap bagaimana Dewi Linggasari tertarik pada dunia di sekitarnya dengan memperhatikan nuansa alam yang mengelilinginya, betapa alam selalu menjaga harmoni dan tidak akan pernah mengingkari janji.

/ pada esok fajar yang
tak akan pernah ingkar /

Puisi ” Dedaunan ” ini menjadi semakin lengkap, manakala dilanjutkan dengan membaca puisi ke tiga yang berjudul ” Kanak-Kanak ”. Bagaimana rasa gembira, bahagia dan penuh kedamaian meliputi dunia kanak-kanak yang menyatu dengan alam semesta, yang pada tahun 1970-an pada saat puisi ini ditulis, sepertinya penyair Dewi Linggasari juga masih sangat belia.

/ kanak-kanak mewarnai cakrawala
mengenali semesta
kebencian hanyalah musuh yang
tak pernah tergambar di dalam peta /

Meski Dewi Linggasari amat tertarik pada sesuatu yang alami yang ada di sekitarnya, di sisi lain, juga masih menyisakan perhatian pada peristiwa yang terjadi di belahan dunia manca negara, ini terlihat pada puisi kedua ” A Live ”. Puisi ini terinpsirasi dari sebuah film yang diambil dari kisah nyata pada tahun 1972, tentang jatuhnya pesawat carter di Pegunungan Andes yang diliputi salju, serta bagaimana strategi pertahanan hidup bagi penumpang yang selamat. Puisi “A Live “ ini ditutup dengan semangat spiritual yang dalam. Segalanya kembali pada Yang Maha Kuasa.

/ Tuhan terasa begitu nyata
ketika akhirnya terdengar gemuruh
suara bergaung di angkasa /

Boleh jadi ke tiga puisi di atas merupakan pondasi rasa, logika dan sikap yang bisa menuntun pembaca untuk memahami makna yang terkandung pada perjalanan hidup sang penulis, seperti yang termaktub pada puisi-puisi berikutnya. Meskipun demikian, secara terpisah puisi-puisi yang lain di dalam buku ini, dapat juga di pahami sebagai puisi mandiri yang tidak berhubungan satu sama lain.

Terlepas dari keterkaitan puisi yang satu dengan puisi yang lain, apakah merupakan jejak berkelanjutan ataukah jejak jejak yang mandiri, yang jelas melalui kelahiran buku kumpulan puisi “ Menapak Jejak “ ini, menambah satu jejak lagi bagi perjalanan hidup sang penulis, yang selama ini telah dikenal melalui karya ilmiah penelitian tentang etnografi, maupun karya-karya novelnya, kini juga menorehkan diri sebagai penyair yang akan dinanti karya puisi-puisinya.

Mulai saat ini, tiga jejak sekali gus telah tertoreh di sosok Dewi Linggasari, yakni sebagai Peneliti, Novelis dan Penyair. Selamat berkarya dan teruslah berkarya!

Semoga buku kumpulan puisi “Menapak Jejak “ ini dapat memperkaya kasanah perbendaharaan pustaka di dunia sastra Indonesia, dan mampu menginspirasi pembaca untuk senantiasa menuju yang terbaik. Amin.

2. Buku Kumpulan puisi : “ANTOLOGI PUISI GERHANA, Memperingati Peristiwa Gerhana Matahari Total, di sebagian Wilayah Indonesia, Rabu, 9 Maret 2016”, Karya Komunitas #puisi3baris

SELINTAS KODE

Puisi bisa lahir dari berbagai kehamilan pikir dan atau rasa yang tergetar oleh adanya inspirasi dari banyak sumber, diantaranya Gerhana Matahari Total (GMT) tahun 2016.

Fenomena GMT mampu menarik minat berbagai kalangan untuk dijadikan sebagai sumber inspirasi atas lahirnya karya, baik bagi pelukis, penyair, wisatawan maupun ilmuwan. Menurut para ahli, GMT merupakan fenomena langka, kembali terjadi di tempat yang sama, memerlukan waktu ratusan tahun. Untuk di Indonesia, dalam kurun waktu satu abad, mulai tahun 1945 s/d 2045 telah dan akan terjadi Gerhana Matahari sebanyak 33 kali (Panitia Nasional GMT 2016), yaitu: 18 Gerhana Matahari Sebagian, 9 GMT, dan 6 Gerhana Matahari Cincin. Pada 11 Juni 1983 langit Indonesia pernah dilintasi GMT, dan dilintasi kembali pada 09 Maret 2016.

Pada tahun 2016 lintasan GMT melewati 12 provinsi, yaitu Sumbar, Bengkulu, Jambi, Sumsel, Babel, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, Sulbar, Sulteng, dan Malut. Adapun Kota-Kota besar yang dilalui GMT adalah: Muko-Muko(Bengkulu), Palembang, Tanjung Pandan, Palangkaraya, Balikpapan, Palu dan Ternate. Rupa-rupa perhelatan menarik, dilakukan oleh banyak kalangan, mulai dari gelar budaya, pariwisata sampai kegiatan ilmiah segenap peneliti dari dalam maupun luar negeri, semua menyambut kedatangan fenomena langka ini.

Tentunya komunitas #puisi3baris, segenap penyairnya juga ikut mempersembahkan kreasi, yakni kelahiran puisi seputar tema Gerhana Matahari. GMT 2016 dijadikan sebagai sumber inspirasi atas lahirnya puisi.

Dua ratus delapan puluh empat puisi telah lahir dari enam puluh enam penyair. Minimal satu penyair melahirkan satu puisi, bahkan ada yang sampai lima puisi.

Puisi-puisi mereka diterbitkan bersama dalam antologi puisi ini, Tema yang diusung memang beraroma GMT yang melintas di langit Nusantara tahun 2016. Puisi yang dilahirkan, semua terdiri dari tiga baris, sesuai nama komunitas mereka #puisi3baris.

Pastilah perlu pemikiran dan perasaan yang panjang dalam memilih logika, makna dan rasa, serta cara ungkap yang tepat untuk memotret fenomena GMT, baik mengenai fenomena alam, sosial dan tradisi kemasyrakatan, rasa yang melingkupi, maupun suasana religi atas terjadinya GMT, apalagi dibalut dengan semangat yang ketat dalam tata letak hanya tiga baris.

Usaha untuk memenuhi semangat inilah yang patut diacungi jempol, karena dalam waktu yang singkat, mereka dapat menuangkan ekspresi melahirkan puisi seputar GMT. Selamat bagi penyair yang telah melahirkan puisi GMT dan terpilih untuk diterbitkan dalam antologi puisi ini.

Melalui kumpulan puisi ini, dapat dinikmati, betapa penyair komunitas #puisi3baris, berhasil merekam kode kode rasa, logika maupun makna yang dilontarkan oleh fenomena langka GMT, mulai dari fenomena alam, cinta, kegalauan, sampai kehikmatan nilai-nilai keilahian yang mengerumuni perjalanan GMT, kemudian dituliskan menjadi puisi, maka lahirlah puisi-puisi seputar GMT 2016.

Meskipun kandungan tema sama, isinya pun sekilas tidak terlalu berbeda, namun masing-masing pernyair berhasil menampilkan gaya ungkap yang berbeda, sebut saja misalnya penyair Syaiful Basri dalam puisi BELANTARA GERHANA /Kunang kunang sibuk berorasi/ ada rasa keanggunan tersendiri ketika membaca kalimat ini.

Atau gaya jenaka penyair Dewi Salistiawati dalam puisi GERHANA #3, /Ketika rembulan mencoba membujuk/, /Dia malah sembunyi, hilang bentuk/. Nada protes dan kesadaran pun dapat dinikmati bersama perjalanan gerhana, yaitu pada puisi GERHANA (1) /aku tak sebentuk debu/, puisi besutan penyair RD Kedum, yang pada akhirnya tokoh aku lirik dalam puisi berikutnya menemukan kesadaran transenden bahwa dirinya semakin kecil di genggaman Tuhan.

Sementara itu penyair Hardi M Sipon, melalui lima puisinya berusaha memotret fenomena Gerhana Matahari dari sisi perjalanan cinta. Ungkapan /Ada cincin di langit pagi/ dan /Tanpamu akulah hitam/, mengisyaratkan binar cintanya terus ingin digenggam meskipun terjadi gerhana, seolah gerhana bukanlah penghalang cintanya.

Cara ungkap yang agak berbeda disampaikan oleh penyair Yahya Andi Saputra dalam puisi HIKAYAT GERHANA 3, /Aku gerhana/, Sang penyair seolah menjadi gerhana itu sendiri dan melontarkan ungkapan cintanya /aku cahaya cinta letup asmara/.

Tentu jika dikupas satu persatu puisi yang telah lahir di kumpulan puisi ini, sepertinya akan semakin menarik, apalagi ada dua nama besar penyair yang sudah banyak dikenal, yaitu Nana Sastrawan dan Salimi Ahmad, masing-masing dengan lima puisinya.

Namun apalah daya, kali ini belum mempunyai kesempatan untuk menguliti semua puisi di buku kumpulan puisi ini. Hanya sebatas menelisik selintas kode yang bisa ditangkap dan dinikmati. Hm … Selamat bagi para pemenang, penyair Gerhana Matahari Total!

3. Buku Kumpulan Puisi: “ SULUR KEMBANG SRITANJUNG, Kumpulan Puisi Folklor Banyuwangi”, Oleh Komunitas Obor Sastra

EPILOG:

SULUR KEMBANG SRITANJUNG

Buku Antologi Puisi yang berjudul Sulur Kembang Sritanjung ini, terdiri dari 77 Judul Puisi, besutan dari Penyair penyair yang lahir, menetap, pernah tinggal, ataupun diaspora dari Banyuwangi, Jawa Timur, Indonesia, baik penyair muda maupun yang sudah senior dalam dunia kepenyairan.

Puisi puisi di dalam buku ini terpindai mengandung aroma : makna, logika, dan rasa semangat folklor di Banyuwangi, yakni satu diantaranya meliputi cita rasa tradisi khas yang telah turun temurun berlaku di masyarakat Banyuwangi.

Hal ini selaras dengan citra judul yang mengandung harapan akan menjadi semacam sulur yang akan melahirkan buah pikir, sikap, tindakan, kebiasaan sampai menuju kehidupan yang lebih baik di tengah tengah keindahan kembang tradisi dan budaya Banyuwangi, dengan semangat Sritanjung tokoh legenda asal usul nama Banyuwangi yang anggun, cantik, dan senantiasa setia pada keluarga dan tanah air tercinta.

Sebagaimana kata para ahli bahwa folklor bermula dari kata bahasa Inggris folklore, yaitu folk dan lore. Folk memiliki arti sekumpulan orang yang mirip mirip dalam hal : fisik, sosial, dan kebudayaan. Sehingga masyarakat umum bisa membedakan antara kumpulan mereka dengan kumpulan orang yang lain.

Sedangkan lore memiliki arti tradisi yang dimiliki oleh sekumpulan orang secara turun menurun, minimal dua generasi.

Mengacu pada pengertian tersebut, memang buku kumpulan puisi ini telah berhasil memotret folklor Banyuwangi, bahkan mampu mengundang imajinasi pembaca sampai ke pikir dan rasa untuk melahirkan ide ide baru bernuansa penjelajahan dalam ranah: sastra, budaya, tradisi, reliji, sampai ke teknologi.

Selanjutnya tentu buku ini bisa menjadi: wadah publikasi karya puisi, komunikasi diantara Penyair, sosialisasi folklor Banyuwangi melalui puisi.

Disamping itu juga berpotensi menjadi semacam tambahan wawasan sastra terutama Puisi bagi Pelajar. Mahasiswa, Pecinta Puisi, maupun masyarakat luas.

Selamat menikmati rasa, makna, dan logika lanjut dari Puisi puisi di buku Antologi Sulur Kembang Sritanjung.

Bogor, Desember 2022

Kek Atek

Pecinta Puisi Tinggal di Bogor.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *