Memesan Takdir

Ema Afriyani

Untuk kesekian ratus kalinya, Dirgantoro mendatangi rumah Tuhan yang lebih sering ia sebut toko. Tempat di mana semua manusia bisa memesan apa saja tanpa harus membayar dengan uang. Tapi sudah satu tahun menunggu, pesanan yang dia inginkan tak kunjung siap. Karena pesanannya tak masuk dalam daftar menu; kitab Lauh Mahfudz.

“Setiap istirahat, selalu saja berdoa. Apa yang sebenarnya kau minta?” tanya Ucok ketika temannya baru pulang dari mushola sekolah. “Kau pintar, orangtua kaya. Kurasa uang orangtua kau tak akan habis untuk membeli semua keperluan kau.”

[iklan]

“Apa iya dengan uang kita bisa membeli segalanya?” balas Dirgantoro.

“Tentu.”

Dirgantoro menggeleng. “Tapi uang enggak bisa membeli kebahagiaan.”

“Ini, ni…” sambil mengacung-acungkan jari. “Kau salah besar, Tor. Justru dengan uang, apa saja yang kau ingin bisa dibeli. Di situlah akan tercipta sumber kebahagiaan.”

Dirgantoro tak setuju dengan kalimat terakhir Ucok. Dia memilih berlalu. Menikmati kenangan di ruang kelas yang mulai mengelupas. Tapi tak pernah benar-benar bisa dihilangkan, sekalipun dindingnya dicat dengan warna baru. Sebab warna pertama mengajarkan untuk ikhlas ketika warna lain menggantikannya.

Tidak akan ada yang baik-baik saja ketika menghadapi kehilangan. Begitupula dengan Dirgantoro. Ibunya guru Agama di sekolah tempat Dirgantoro menimba ilmu. Juga mengajar di kelasnya. Satu tahun lalu berpulang pada pencipta. Menyisakan jejak kenang yang tak bisa dibersihkan dengan penghapus ruang kelas.

Sejak itu, harinya berpayung kesedihan. Kenangan adalah makanan yang selalu dijejalkan, sampai membuat kenyang, dan akhirnya ketiduran. Lidahnya menjilati air mata yang sudah sampai di atas bibir, sebagai minuman agar makanannya sampai ke pencernaan, lalu kesedihan itu akan hilang saat buang air besar.

Nyatanya, kesedihan menjadi makanan pokok laki-laki itu. Hatinya belum ikhlas melepas.

*

Dirgantoro selalu menyebut menu yang sama setiap bertemu Tuhan. Menu yang tak mungkin dibuatkan. Menu yang hingga kini tak pernah dihidangkan. Usaha dan kerja keras yang dilakukan sebagai penebus setiap meminta keinginan, sepertinya tak berlaku untuk kasus ini.

Oleh karenanya, Dirgantoro menggantungkannya pada doa. Sebab doa adalah jembatan keinginan setiap insan agar sampai pada Tuhan.

“Ayah akan menikah lagi. Rencananya tiga bulan yang akan datang.”

“Bagus itu, Yah. Biar si bungsu ini ada yang jaga,” sahut Rudi—Abang Dirgantoro. Kekehan kecil keluar dari mulutnya.

Dirgantoro mencoba mengumpulkan banyak kata untuk dirangkai menjadi kalimat sebagai senjata, agar ayahnya tak menikah lagi. Dia tak ingin ibunya dilupakan dari kepala ayahnya.

“Apa ayah sudah tak mencintai ibu?” Akhirnya si bungsu bersuara.

Ayahnya tersenyum lebar. “Ibu itu cinta mati Ayah, Tor.”

“Lantas… kenapa Ayah akan menikah lagi? Bukankah kalau cinta mati itu, seperti cintanya Eyang Habibie pada Bu Ainun?”

“Ayah hanya ingin hidup kamu kembali berarah.”

“Saya enggak pernah salah belok, Yah,” jawab Dirgantoro sengit.

“Kamu sering di rumah sendirian. Kakakmu kan kuliah di luar kota. Sebulan sekali pulangnya. Ayah sibuk bekerja, Tor. Ayah cuma mau ada yang kembali membimbing kamu,” jelas Ayah panjang lebar.

Dirgantoro menggeleng. Tak mengerti dengan apa yang ada dalam pikiran Ayahnya. Bukan ini menu yang dia inginkan.

*

Tiga bulan sudah terlewati. Dan tadi pagi Ayahnya mengucap janji suci. Selama acara berlangsung, Dirgantoro memilih mengurung diri di kamar. Memandangi gambar dirinya bersama sang ibu. Sebentar lagi semua tentang ibunya akan dihapus dari rumah ini. Dibuang di tong sampah kenangan. Yang menurut Dirgantoro, akan dibakar dari kepala Ayahnya.

Menjadi abu, ditaburkan pada tanah, lalu disapu hujan. Ibunya akan benar-benar hilang.

Di sore itu, tamu masih banyak yang datang berkunjung. Dirgantoro menyelinap keluar. Meninggalkan hingar bingar kebahagiaan. Menemui Tuhan adalah obat dari setiap kesengsaraan.

Di perempatan menuju masjid, Dirgantoro bertemu dengan Ucok yang sedang menikmati sekantong es kelapa.

“Mau ke mana kau, Tor?”

“Memesan takdir.”

Dahi Ucok mengernyit dalam. Tak ada jawaban yang diberikan Dirgantoro. Dia melanjutkan langkah. Merapal menu yang diinginkan. Agar ketika sudah bertemu Tuhan, dia tak lupa apa yang ingin dipesan.

*

“Mau pesan apa?”

Pertanyaan itu seperti nyata sampai pada pendengaran Dirgantoro, saat sudah selesai solat. Setelah itu doa dihidangkan pada mangkuk-mangkuk, dibubuhi air mata, biar Tuhan tau jika remaja itu benar-benar memohon agar inginnya dikabulkan.

Tapi pesanannya memang tak bisa dinikmati. Rumah sudah diganti dengan warna baru. Satu tahun memesan, hasil pesanannya salah diberikan. Hanya dibuatkan yang hampir sama. Padahal rasanya akan beda.

“Apa yang sebenarnya kau pesan?”

Dirgantoro mengalihkan pandangan dari sandal-sandal berjejer ke arah sumber suara; Ucok. Ternyata dia mengikuti dan menunggu temannya di teras masjid. Dirgantoro mendekat. Memberikan senyum ikhlas, setelah sekian lama dia tak pernah memperlihatkan senyum itu.

“Aku membatalkan pesanan.”

“Memangnya apa yang kau pesan?” Ucok mengulang pertanyaannya.

“Aku pesan, harusnya yang meninggal itu Ayah saja, bukan Ibu. Karena Ayah sibuk, tapi ibu selalu ada buat aku. Aku memesan takdir seperti itu.”

“Lalu kenapa kau batalkan?”

“Sebab yang sudah kembali pada pencipta, akan abadi di sana. Tak bisa kembali lagi ke muka bumi.”

Ucok terkekeh. “Kau benar-benar aneh. Siang malam, setiap menit, setiap jam, menghabiskan waktu untuk berdoa, karena ingin ibumu hidup kembali?”

“Aku bukannya aneh. Cuma belum bisa menerima.”

“Lalu sekarang?”

“Aku sudah ikhlas. Ikhlaslah yang akan membuatku baik-baik saja kehilangan ibu.” Dirgantoro tertawa kecil. “Kehadiran ibu baru, sepertinya menu lain yang hampir sama dengan yang aku ingin.”

“Akan kau nikmati?”

“Aku akan berhenti memesan takdir. Sebab Tuhan punya menu baik yang lebih banyak dari apa yang kita harapkan.”

Setelah sekian ratus kali memesan menu yang sama, menu itu jadi pada hari itu. Jadi dalam kemasan berbeda. Rasa akan tetap sama. Jika di kepala ditanam dengan kata ‘sama’. Akan berasa beda, jika pada kepala sudah ditanam kata ‘beda’. Semua tergantung bagaimana pikiran bekerja.

***

Ema Afriyani memecahkan tangis pertamanya di Kendal, 9 Mei 2001. Berdomisili di Bintan, Kepulauan Riau sejak 2007. Pada tahun 2019 mentas dari pendidikan di SMK Negeri 1 Bintan Utara jurusan Elektronika Industri. Penikmat Fajar dan Teh.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *