Mantra Dalam Kebudayaan Sunda
(Bagian 3-Tamat)
Hardi Rahman
Baca episode sebelumnya di klik di sini https://mbludus.com/mantra-dalam-kebudayaan-sunda-2/
Perihal Sastra Lama dan Mantra
Ajip Rosidi (1995) menganggap bahwa Mantra Sunda termasuk sebagai Puisi Lama. Meskipun demikian, kata ‘Mantra’ itu sendiri bukan berasal dari bahasa Sunda, melainkan berasal dari bahasa Sanskerta, sedangkan dalam bahasa Sunda dikenal dengan istilah ‘Jangjawokan’. Ajip Rosidi mengkatagorikan Mantra termasuk bagian dari Sastra Lama karena struktur mantra mengandung struktur-struktur puisi, walaupun sebenarnya mantra sendiri tidak selalu memuat tema yang bisa dianalisis sebagaimana puisi.
Pemaparan Ajip Rosidi agak berbeda dari pemaparan Elis Suryani N.S. yang mengatakan bahwa, dalam kebudayaan Sunda, Jangjawokan, termasuk salah satu jenis mantra bersama lima mantra lainnya; sedangkan Ajip Rosidi mengatakan bahwa Jangjawokan adalah nama lain dari mantra itu sendiri. Dalam hal ini Jangjawokan memuat pengertian mantra secara luas, bukan spesifik seperti yang dijelaskan oleh Elis Suryani N.S.
[iklan]
Sementara itu, Yus Rusmana (1970) juga telah membahas keberadaan mantra dalam sastra Sunda. Ia memaparkan unsur-unsur puitik di dalam mantra berupa irama yang dibangun dalam pemilihan kosa kata yang tertulis dalam mantra. Irama tersebut kemudian membentuk aliterasi dan rima. Selain itu, ada pula penggunaan repetisi untuk mempertegas salah satu bagian mantra. Keberadaan irama, umumnya, bukan sengaja dibuat-buat untuk memenuhi unsur sastra mantra, melainkan lebih menunjukkan fungsi magisnya, sebagaimana bisa dilihat pada mantra berikut ini.
Rajah Sawan
nini kunjung aki kuduyung
celembeng celeng Palembang
celeng timbul ti malayu
undur mungundur hunyur
ditulung ku tamiang pugur
ditujah ku tambe-tawa
ditalian ku areuy bulu
diteukteuk ku kujang potong
dikaitkeun kana waru condong
tebeh timur cah burancah
pakempel-kempel
Pada mantra ‘Rajah Sawan’ di atas, penggunaan aliterasi dalam membangun irama unik yang membuat si pendengar mudah dalam pelafalan mantra. Kata nini bertemu dengan kata aki, lalu kata kunjung dan kuduyung, di baris kedua bunyi /ng/ semakin jelas dengan pemilihan kata celembeng celeng, dan Palembang.
Selain itu, di dalam ‘Rajah Sawan’ juga terdapat rima walau polanya tidak teratur. Perhatikan akhir bunyi di setiap baris. Baris pertama dan kedua terdapat kesamaan bunyi, yaitu bunyi /ng/, baris kedua tidak ada kersamaan dengan baris berikutnya, sedangkan pada baris keempat dan kelima, terdapat rima /ur/. Di baris delapan dan baris Sembilan, terdapat rima /ong/.
Contoh repetisi pada mantra bisa dilihat pada kutipan berikut ini.
(1)
mangka langgeng mangka tetep,
mangka hurip kajayaan,
(2)
nu kosong pangeusiankeun,
nu celong pangminuhankeun,
(3)
balik ka weweg sumpeg
balik ka mandala pageuh,
Sebagian mantra mengalami repetisi pada setiap baris, seakan-akan untuk menunjukkan sikap si penghayat mantra yang ingin menegaskan tujuannya. Bahkan, repetisi tersebut seolah bisa mempertegas fungsi magisnya. Apalagi, bukan hanya dua kali pengulanga, melainkan hingga beberapa kali.
Keunikan mantra sebagai karya sastra puisi termasuk salah satu kekayaan kebudayaan Sunda. Hal itu juga bisa menjadi salah satu indikator perkembangan bahasa Sunda di masa lampau.
Mantra ditinjau oleh Sains
Hal yang sulit diterima oleh sains dari kebudayaan adalah mitos dan hal-hal yang dianggap tidak masuk akal oleh kaum rasionalis. Tentu saja mereka menganggap segala hal yang tidak mampu dibuktikan secara empiris sebagai hayalan belaka.
Dalam hal mantra, sains, agaknya, masih bisa menjelaskan sisi rasionalitas proses kerjanya. Salah satu contohnya adalah mantra yang bisa membuat si penghayat tersebut dapat mempengaruhi orang lain – misalnya, membuat si target jatuh cinta. Melalui struktur puitik dan pemilihan kosa kata mantra yang dapat mempengaruhi pikiran orang lain, dapat disinyalir bahwa si pengucap (dengan memenuhi syarat-syaratnya) akan mampu menghasilkan gelombang dengan frekuensi tertentu. Frekuensi inilah yang menjadi kunci dalam upaya memahami mantra secara saintifik.
Pierre Teilhard de Chardin berteori bahwa alam semesta ini dipenui gelombang frekuensi otak manusia yang disebutnya, Noosphere. Gelombang dengan frekuensi tertentu dapat mempengaruhi bagian alam tertentu, termasuk otak dan tubuh manusia.
Mengikuti teori de Chardin, mantra yang beredar dalam berbagai kebudayaan itu – termasuk kebudayaan Sunda – tentu memiliki gelombang frekuensi yang dapat mempengaruhi alam semesta. Intensitas frekuensi ini, kemungkinan, juga perlu didukung oleh struktur fisik mantra, persyaratan tertentu untuk aktivasi mantra, juga kesiapan mental yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu – dalam hal ini, para penghayat mantra aktif.
Secara teoretis, salah satu contoh gelembung yang bisa dikategorikan dalam penggunaan mantra ialah Gelombang Schumann atau biasa dikenal sebagai Schumann Resonance. Yaitu gelombang alam semesta pada frekuensi 7,83Hz. Gelombang ini termasuk dalam kategori gelombang theta yang berkisar pada frekuensi 4Hz-8Hz. Selain gelombang theta, masih ada jenis gelombang lain, yaitu gamma, beta, dan alpha. Jenis gelombang lain yang baru-baru ini ditemukan memiliki frekuensi di bawah delta, yaitu berkisar 0,5Hz, yang disebut epsilon. Gelombang tersebut lebih mempengaruhi aktivitas mental seseorang di luar batas kemampuan manusia biasa.
Menelisik mantra dari segi ilmu pengetahuan baru sebatas teori tentang tentang efek gelombang saja. Sedangkan untuk mengaplikasikannya masih sulit. Berbagai penelitian terhadap berbagai aspek di ranah tradisional, seperti meditasi, dilakukan oleh berbagai peneliti hanya untuk menentukan pada frekuensi berapa gelombang yang ditimbulkan, seperti mantra.
(Selesai)
Referensi:
Ekadjati, Edi S.1988. Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan. Bandung. Universitas Padjadjaran
Poerwadarminta, W.J.S. 1988. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Rosidi, Ajip. 1995. Sastera dan Budaya: Kedaerahan dalam Keindahan. Jakarta. Pustaka Jaya.
Rusyana, Yus.1970. Bagbagan Puisi Mantra Sunda. Bandung. Proyek penelitian Pantun dan Folklor Sunda.
Pierre Teilhard de Chardin, ‘Hominization’ dalam The Vision of the Past (Collin, 1966)
Ilham Maulana, academia.edu/12619406/gelombang_otak_manusia.
Catatan:
Tulisan ini diunggah ulang dari majalah Kebudayaan JAWARA edisi perdana tahun 2016, atas seijin penulisnya yang notabene adalah Redaktur Pelaksana dari majalah tersebut.
Hardi Rahman, mantan Redaktur Pelaksana majalah JAWARA ini tinggal di Balaraja, Tangerang. Mantan kekasihnya (sekarang istrinya) seorang ahli gizi. Bapaknya buruh dan Mamanya ibu rumah tangga. Aktif di kelompok diskusi Hitam Putih Abu-abu dan sesekali magang di Dapoer Sastra Tjisaoek.