Diceritakan bahwa di sebuah hutan belantara, hiduplah seorang raksasa bernama Kyai Bakuh. Makanan sehari-harinya adalah berbagai jenis binatang yang hidup di hutan. Lama kelamaan, hutan yang tadinya sangat ramai menjadi lengang karena binatangnya satu persatu dimangsa oleh Kyai Bakuh.

Karena setiap hari dimangsa, lama-kelamaan hutan menjadi lengang karena hewan penghuninya semakin sedikit dan nyaris habis. Si Raksasa, Kyai Bakuh, semakin sulit mendapatkan mangsa untuk mengisi perutnya yang selalu lapar itu. Maka, iapun pergi ke pedesaan yang ada di sepinggir hutan untuk mencari mangsa, hewan atau manusia. Penduduk desa jadi ketakutan.

Sementara itu di kayangan,  para Dewa menjadi khawatir ketika mengetahui kondisi rakyat pedesaan yang ketakutan karena ulah Kyai Bakuh yang memakan apa saja yang ia temui di desa yang ia lewati . hewan atau manusia yang penting laparnya hilang dan perutnya kenyang. Para dewa lalu berunding untuk menghentikan perbuatan Kyai Bayuh yang kejam itu.  Para Dewa sepakat mengutus seorang Bidadari cantik bernama Retna Lestari untuk turun ke bumi, menghentikan perbuatan Kyai Bayuh.

[iklan]

***

Pada suatu hari, sesampainya di bumi, Bidadari Retna Lestari istirahat di dekat rumpun bunga. Pada saat yang sama, Kyai Bakuh sedang mencari mangsa. Ia berjalan melewati  sang Bidadari, sejenak ia terpaku dan menghentikan langkahnya, lalu datang mendekat dan bertanya.
“Makhluk dari manakah engkau ini, hai perempuan cantik?” tanya Kyai Bakuh.
“Aku penghuni hutan ini,” jawab bidadari itu sambil mengusap-usap sekuntum bunga.
“Tidak mungkin. Sudah sekian lama aku menjelajahi hutan ini, baru kali ini aku melihatmu,” kata Kyai Bakuh.

“Sebenarnya engkau sering berjumpa denganku. Sering sekali aku melihatmu, bahkan hampir saja perpapasan denganmu. Tetapi, karena perhatianmu hanya kepada binatang-binatang yang akan kau makan, engkau tidak melihat aku.”

“Benarkah begitu?” tanya Kyai Bakuh.
“Benar sekali.  Setiap kali kau lewat di dekatku, aku cepat-cepat lari bersembunyi.”
“Mengapa kau bersembunyi?” tanya Kyai Bakuh.
“Aku takut kau membunuhku lalu memakan diriku,” jawab Retna Lestari.
“He he he… tidak mungkin. Tidak mungkin aku tega membunuhmu. Kau terlalu cantik untuk dijadikan santapan.”
“Tetapi aku tetap takut melihatmu.”
“Tak usah takut,” kata Kyai Bakuh dengan nada merayu. “Siapa namamu, wong ayu?”
“Namaku Retna Lestari,” jawab sang Bidadari.
Weleh… weleh… Alangkah indahnya namamu itu. Maukah kau menjadi isteriku?” tanya si raksasa Bakuh.
“Tidak mau! Aku takut,” jawab Retna Lestari.
“Mengapa takut?”

“Takut akan kau bunuh dan kau makan, seperti binatang dan penduduk yang ada di sekitar hutan ini. Kamu hanya pura-pura ingin menikahi aku, tapi sebenarnya kau pasti akan akan membunuhku, dan menjadikan aku santapanmu. Bukankah selama ini kau selalu melakukannya pada orang-orang di kampung itu?”

“Percayalah wong ayu. Kau tak akan kubunuh. Kau akan kujadikan isteriku.”
“Betulkah?”
“He he he…Percayalah padaku!” kata Kyai Bakuh bersungguh-sungguh. “Aku cinta padamu!”
“Apa buktinya kau cinta padaku?” tanya Ratna Lestari.

Kyai Bakuh diam sejenak, memandang Bidadari Retna Lestari, tersenyum, lalu berusaha untuk merayu kembali.

“Percayalah. Kamu aman bersamaku, karena kamu akan kujadikan istri,” katanya.
“Bagaimana caranya?” tanya sang Bidadari memancing. Ia merasa bahwa jeratnya sudah mulai mengena. Diam-diam dia memang sudah mengatur rencana untuk melenyapkan Kyai Bayuh ini dengan caranya sendiri.

“Apa saja yang kau pinta akan kukabulkan,” kata Kyai Bayuh kemudian.

“Baiklah, aku ingin mega yang berawan kemerah-merahan itu,” kata Retna Lestari sambil menunjuk gumpalan awan berwarna kemerah-merahan di langit senja.

“He he… Itu sangat mudah bagiku. Sebentar lagi senja tiba, aku akan mengambilnya untukmu.”
“Jangan. Jangan kamu yang ambil. Aku ingin mengambilnya sendiri.”

“Mengambil sendiri? Bagaimana caranya kamu bisa meraih mega itu?” tanya Kyai Bakuh agak bingung. Retna Lestari mikir sejenak, lalu katanya: “Ah, aku punya akal, telungkupkan tubuhmu di tanah. Aku akan berdiri di atas punggungmu, sehingga Aku dapat mencapai mega itu.”

“Baiklah kalau itu yang kau mau,” kata Kyai Bakuh.

Raksasa Kyai Bakuh segera menelungkupkan dirinya di tanah. Melihat si Raksasa telah menelungkup di tanah, Retna Lestari segera naik dan berdiri di atas punggung raksasa itu.

“Apakah tanganmu sudah menggapai langit?” tanya Kyai Bakuh.

“Belum, sedikit lagi,” jawab Retna Lestari. “Mungkin beberapa buah batu bisa membuatku lebih tinggi lagi. Aku akan mengambilnya dan menumpuknya di punggungmu.”

Retna Lestari turun dari atas punggung Kyai Bakuh, lalu mengambil batu besar, dan ia letakkan di atas punggung raksasa itu. Berulang-ulang Ratna Lestari turun naik punggung raksasa, mengambil batu-batu besar dan menumpuknya di atas punggung raksasa itu. Lama-kelamaan tumpukan batu di atas punggung si Raksasa makin bertambah tinggi, bertambah besar, sampai tubuh raksasa itu tertimbun oleh batu-batu.

Lama kelamaan, setelah batu-batu besar menumpuk memenuhi tubuhnya , Kyai Bakuh sadar bahwa ia telah ditipu oleh Retna Lestari. Ia meronta dengan sekuat tenaga, tetapi batu-batu yang tertumpuk terlalu banyak, sehingga ia tak mampu untuk menyingkirkannya. Konon katanya, tumpukan batu yang menimbun tubuh Raksasa bernama Kyai Bakuh itu, akhirnya menjadi dua buah gunung. Tumpukan yang terletak di bagian kepala Kyai Bakuh menjadi Gunung Merapi, sedangkan tumpukan yang berada di bagian kaki menjadi Gunung Merbabu.

Apabila sesekali terdengar suara gelegar atau gemuruh dari Gunung Merapi, banyak percaya bahwa itu adalah suara si Raksasa Kyai Bakuh yang sedang geram marah-marah. Jika kemudian tanah di sekitar Gunung itu bergetar, diyakini bahwa Kyai Bakuh sedang meronta-ronta, berusaha membebaskan diri dari tumpukan batu yang menimbuni tubuhnya.

***

Diceritaan kembali oleh: Abah Yoyok
Dapoer Sastra Tjisaoek, Juni 2020

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *