
Oleh: Helmy Khan
Tak berselang lama hewan-hewan itu menghilir ke arah timur. Jauh dalam pandangannya, sekelompok hewan yang datang dari arah barat kian mendekati desa—tak sedikit dari mereka masuk ke area pemakaman dan menjatuhkan tatapannya pada kijing-kijing.
***
Ramadan kali ini adalah tahun keempat bagi Burhan menjalankan puasa tanpa kehadiran anak-anaknya. Di usianya yang ke-59 tahun, tak ada yang lebih bahagia bagi seorang ayah selain menghabiskan masa tua bersama anak-cucu. Burhan merasa didera kemalangan, lantaran hingga detik ini ia belum mendapat kabar apakah kedua anaknya akan mudik dan merayakan lebaran di kampung halaman.
Sejak tiga tahun terakhir kedua anak Burhan tidak pulang sama sekali ke kampung halaman. Bahkan di hari-hari besar seperti lebaran, kedua anaknya tidak pernah nampak batang hidungnya walau barang sebentar. Semula Burhan mengerti dengan apa yang menjadi keputusan kedua anaknya untuk tidak pulang, lantaran pada tahun 2020 lalu kepungan pandemi menjegal aktivitas dan mobilitas masyarakat untuk mudik.
Waktu itu Burhan dengan berat hati menerima kabar akan ketidakpulangan anaknya dari tanah rantau. Nadanya pilu ketika ia mengiyakan apa yang menjadi pembicaraan di telepon. Tak berselang lama, sambungan komunikasi itu terputus setelah suara di dalam telepon berucap akan mengirim uang untuk kebutuhannya.
Bukan. Bukan itu yang diinginkan Burhan. Kebahagiaannya tak bisa diuangkan dan diukur seberapa rutin anak-anaknya mengirim kebutuhan pokok. Ia hanya ingin anaknya pulang merayakan lebaran di kampung halalaman sembari berziarah ke makam istrinya yang telah meninggal enam tahun silam.
Selepas itu, lebaran tahun-tahun berikutnya kemalangan Burhan tampaknya tidak pernah lepas dari lelaki berusia senja itu. Matanya yang lamur hanya mampu berkaca-kaca. Beberapa detik kemudian air matanya menjarum di atas sarung setelah mendengar bahwa anaknya tidak akan pulang dari tanah rantau.
Burhan tidak pernah tahu kesibukan apa gerangan yang menyita waktu mereka hingga tidak punya kesempatan untuk menjenguknya. Dan tahun kemarin untuk ketigakalinya ia menabur bunga-bunga di pusara istrinya tanpa iringan doa keduaanaknya.
“Haruskah kupikul sendiri kesepian ini?” Burhan membatin sambil mendekap foto mendiang istrinya.
Malam sepi. Angin mati di ujung daun siwalan. Kepergian istrinya enam tahun lalu tidak begitu membuat Burhan merasa kesepian. Rasa kehilangan jelas ada, hanya saja rasa itu berhasil ia leburkan lantaran kedua anaknya sama-sama berada di rumah dan mengurus segala keperluannya.
Beda cerita dengan keadaan tiga tahun terakhir ini. Kepergian anak-anaknya ke tanah rantau lambat laun membuat lelaki itu sesegera ingin menyusul mendiang istrinya. Karena bagi Burhan rumah yang dibangun dan diperuntukan untuk ditinggali mereka tak ubahnya sebuah kuburan.
Ia sudah lama merasakan itu, tepatnya saat pandemi mengepung pada 2020 lalu. Saat merayakan lebaran seorang diri, Burhan merasa begitu naif. Hanya rumahnya seorang yang tampak begitu sepi, walau rumah-rumah di sampingnya juga demikian lengang. Meski sama-sama dalam keadaan sepi tapi masih ada keluarga dan cakap-cakap di rumah-rumah itu. Sesekali terdengar suara tawa-tawa kecil yang membuat air mata Burhan semakin deras—terpacu akan kerinduan pada anak-anaknya.
Bila mengingat itu tak ada yang bisa ia lakukan selain mengusir kesepian dengan mendekap foto mendiang istrinya. Hanya itu yang bisa ia lakukan sembari berharap kerinduan di dadanya lekas terbayarkan. Sesekali ia membayangkan bagaimana bahagianya merayakan lebaran bersama orang-orang tercinta, bersalam-salaman, dan saling bermaafan dengan orang tersayang.
Bagi Burhan, apa yang telah mengendap dan menjadi impian dalam kepalanya tampaknya akan kembali sirna. Hal itu ia pastikan lantaran menjelang lebaran ini belum mendapat kabar kapan keduaanaknya akan pulang.
Meski selama ini kerinduan berkelindan dalam dadanya, ia tak kuasa untuk menjemput kabar dan menanyakan kapan kiranya mereka akan mudik. Ketika muncul keinginan untuk menelepon, tiba-tiba ia merasa tangannya begitu kaku untuk memencet tombol dan melakukan panggilan.
Ketidakmampuan itu berupa trauma, karena pada suatu ketika ia pernah membuat anaknya marah lantaran menelepon dan menanyakan kapan pulang ke kampung halaman.
“Tak perlu selalu menelepon. Bapak cukup diam di rumah menjalani masa tua, nanti setiap akhir bulan akan saya kirimi uang,” apa yang dikatakan anak lelakinya itu terngiang di kepala Burhan dan membuat ia mengusap air mata dari pipinya yang tirus.
“Sudahlah, Pak, yang penting kebutuhan sampeyan kan tercukupi. Di sini saya sibuk membantu abang,” sergah si bungsu yang juga turut raib dalam rumah itu berselang tiga bulan dari kakaknya.
Sejak peristiwa itu Burhan tidak berani menelepon lagi, dan satu-satunya cara adalah menunggu teleponnya berdering sendiri.
Dan malam itu di tengah kerinduan yang semakin mencokol dalam dadanya, Burhan bersikeras untuk tak menelepon. Ia biarkan telepon itu membantu meski tangannya terasa gatal untuk memencet tombol dan menghubungi kapan kiranya mereka pulang.
***
Dua hari menjelang lebaran, Kampung Toteker dikejutkan dengan siaran toa masjid akan meninggalkannya Burhan Bin Majid.
Seseorang berkata bahwa Burhan ditemukan dalam keadaan tak bernyawa setelah salah seorang warga hendak mengantar makanan ke rumahnya. Semula warga itu mengira bahwa Burhan sedang tidur atau salat karena salam yang diucapkan tak kunjung mendapat jawaban.
Barulah beberapa waktu kemudian, warga itu memberanikan diri membuka pintu yang dalam keadaan tak terkunci. Betapa terkejutnya—setelah ia mendekat Burhan sudah dalam keadaan tak bernyawa. Wajahnya ditekuk di atas meja.
Beberapa jam setelah siaran di toa masjid, jasad Burhan disemayamkan selepas salat tarawih. Lelaki tua itu dikubur di pemakaman umum yang tak jauh dari jalan utama menuju kampung Toteker. Burhan dikebumikan tanpa linang air mata. Orang-orang hanya berdoa sekenanya saja seakan tak ada orang yang iba dan bersedia membacakan surah yasin untuk arwahnya.
Besoknya, sore menjelang petang dengan leluasa Burhan melihat sekeliling. Ia bisa melihat apa saja tanpa terhalang ruang dan batas indra penglihatan. Tubuhnya ringan seperti awan. Tatapannya terpaku pada sebuah jalan dekat pemakaman yang mendadak ramai dengan lalu-lalang kendaraan. Orang-orang berhilir mudik. Mobil-mobil mewah mengilap saling bersalip-salipan degan kendaraan lain.
Dari atas ketinggian ia melihat suasana kampung yang berbeda. Baru kali ini ia melihat bermacam hewan buas seperti harimau, anjing, serigala, ular dan hewan menjijikkan lainnya seperti tikus beriring menuju rumah-rumah warga. Semula ia merasa sedang bermimpi, maka ia putuskan mendekat dan berdiam di dahan pohon jati yang tak jauh dari pemakaman.
Betapa tercengangnya. Sesosok harimau itu rupanya adalah Masrakib—anak muda yang telah lama merantau dan sukses membeli banyak sawah di kampung. Ia tampak beringas dan membanting pintu mobil dengan keras karena tak bisa melaju akibat gerobak bakso melintas di bahu jalan.
Dari arah berlawanan hadirnya manusia berkepala serigala memperkeruh keadaan. Mobil merah bata yang dikendarainya tetap berusaha masuk di tengah ketengangan Masrakib yang cekcok dengan tukang bakso. Belum lagi perempuan berkepala ular pemilik rumah dekat jalan itu menyemburkan kata-kata berbisa. Sangat berbisa, hingga apa yang ia ucapkan membuat ulu hati tukang bakso terasa nyeri. Dicampakkan karena keterbatasan.
Burhan begitu jelas melihat kengerian itu. Kini ia mengerti bahwa di dunia kekuasaan diagungkan di atas segalanya tanpa melihat orang di sekitarnya.
Tak berselang lama hewan-hewan buas itu menghilir ke arah timur. Jauh dalam pandangannya, sekelompok hewan yang datang dari arah barat kian mendekati desa—tak sedikit dari mereka masuk ke area pemakaman dan menjatuhkan tatapannya pada kijing-kijing.
Di antara anjing, harimau, dan serigala yang sama-sama duduk di dekat pusara hanya ada dua hewan yang tampak seolah menggaruk-garuk kuburan. Keduanya adalah tikus yang meringkuk di samping pusara miliknya.
“Itulah anak kita, Pak,” kata istrinya menabahkan.
Sekejap kedua tikus itu digelanggang pihak berwajib karena skandal penggelapan dana hibah pembangunan panti asuhan. Sembari melihat anaknya digiring ke mobil, air mata Burhan menetes selembut senja. Tubuhnya terasa ringan melayang ke angkasa beriring dengan suara takbir yang saling bersahutan menyambut lebaran.
Helmy Khan lahir di Sumenep Madura. Suka menulis cerpen dan belaar menulis puisi. Saat ini tengah bergiat di Komunitas Damar Korong. Selama belajar menulis beberapa karyanya telah tayang di media cetak ataupun online.