Bapak Pengayuh becak ini bernama Suryana (69). Mulai mengayuh becak sejak tahun 1972. Berarti sudah 48 tahun beliau berprofesi sebagai tukang becak. Dan percayakah anda? Karena becak yang dikayuhnya saat ini pun masih sewa. Alias bukan milik sendiri. Biaya sewa sebuah becak Rp 5.000,- perhari. Meski sewa becak itu bisa 24 jam. Namun pak Suryana mengatakan, bahwa tak lebih deri 12 jam beliau sudah mengembalikan beca sewaannya kepada sang pemilik. Karena faktor usia mengayuh becak sejak pukul 6 pagi hingga pukul 6 sore pun sudah cukup melelahkan baginya.

Arti Kemerdekaan Bagi Suryana

Beliau bingung ketika saya bertanya apa makna Dirgahayu 75 tahun Indonesia bagi dirinya? Beliau mengaku bahwa meski saat ini sudah merdeka tetapi dia merasa belum merdeka. Saya paham. Faktor ekonomi yang pasti menjadi alasan.

Bersendal jepit dengan keringat hingga ke pori-pori lengannya beliau mengayuh untuk mengantarkan saya ke tempat tujuan sejauh 4 km dengan ongkos 15 ribu. Napasnya masih sedikit tersenggal ketika beliau turun duluan dan memegangi becak agar saya tak terjungkal kala saya turun untuk menyerahkan uang. Saya tidak menawar. Meski mungkin jika saya tega dan menawar ongkos itu hingga 10 ribu pun. Pasti akan diambilnya karena saya adalah penumpang pertamanya padahal saat itu hari sudah menunjukan jam 1 siang. Tapi saya tak sekejam itu. Saya malah ajak beliau duduk di teras rumah teman dan kami berbincang selama hampir setengah jam. Saya hanya ingin mendengarkan cerita beliau tentang bagaimana pengalamannya menjadi seseorang yang masih mengayuh becak di usia yang tak muda lagi.

Beruntung beliau tak merokok dan juga tak minum kopi. Jadi uang 15 ribu yang di dapat akan dipergunakannya untuk biaya makan hari itu. Uang makan sehari tak lebih dari 10 ribu. Itu jatahnya. Karena sisanya adalah untuk membayar sewa becak nya hari itu. Tempat makan pak Suryana katanya hanya warteg biasa. Seporsi makan seharga 10 ribu bagi beliau adalah mewah. Karena dia bisa makan enak dengan telur dan sayur plus segelas teh manis hangat gratis.

Bapak Suryana punya 8 anak, tetapi 5 lainnya wafat ketika bayi dan batita. Anak-aanknya itu wafat kala usia 4 bulan, 5 bulan atau usia setahun. Beliau tak mengerti mengapa dulu bayi-bayinya tak bisa bertahan? Meninggal karena penyakit yang tidak diketahuinya selain panas, demam dan sesak.

Becak

Sehelai Kaos Kampanye

Saya tahu apa pilihan capres kala pilpres 2019 lalu. Karena dia memberitahukan kepada saya siapa pilihannya. Kata beliau, dia tak mengerti politik. Hanya mendengar orang-orang kebanyakan di sekitar apa dan bagaimana sosok Presiden RI yang ikut Pilpres. Beliau hanya menunaikan apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Meski pada akhirnya segalanya tak ada pengaruhnya bagi dirinya. Siapa pun yang menjadi Presiden, dia tetap harus mencari makan sendiri. Ups… tetapi dia tak menampik rasa bahagianya kala mendapatkan kaos-kaos Kampanye apalagi jika bergambar sosok pilihannya. Kaos kampanye itu sebagai salah satu kaos berharga yang bisa dia pakai hingga bertahun-tahun kemudian.

[iklan]

Pak Suryana memiliki 3 anak yang berhasil hidup dan kini telah berkeluarga serta memberinya 8 cucu dan 3 buyut. Bapak Suryana tinggal di rumah ukuran 50 meter persegi dengan Istri yang juga sudah berusia lanjut. Rumah itulah harta duniawi yang paling berharga. Hal lain yang paling diingat dari harta berharganya adalah ketika dia menjual tanah warisan di Kampung kelahirannya pada tahun 1985. Tanah warisan seluas 100 tumbak (1400 meter) dijualnya dengan harga 250.000,- per tumbak. Dari hasil penjualan tanah itu dia memiliki uang 50 juta yang kemudian dia belikan rumah yang kini dia tempati dan bisa menikahkan anak sulungnya. Lalu sisanya dibayarkan untuk biaya sekolah anak lainnya. Sejak saat itu dia tak pernah lagi punya pengalaman mendapatkan uang banyak. Meski kini hatinya sedikit menyesal. Karena tanah warisan yang telah dijualnya dulu itu kini berharga 6 juta per tumbak (Satu tumbak adalah satu meter persegi). Atau 25 kali lipat lebih mahal ketika beliau menjualnya dulu. Jadi ketika pak Suryana sedikit menyesal? Itu manusiawi.

Di usia yang senja itu Pak Suryana tak lagi punya banyak angan. Andaikan kaki-kakinya masih kuat dan tak mudah panas/kesemutan pun baginya sudah lebih dari cukup.

Hidup Yang Sungguh Penuh Cerita

Pengalaman mengerikan di Zaman perang? Beliau tak punya. Karena dia lahir ketika Indonesia sudah merdeka. Kecuali saat jaman PKI pada tahun 1965. Usianya sudah 15 tahun. Dia mengerti banyak orang yang dikenalnya lalu dijemput tentara. Dibawa ke Kodim kemudian tak pernah kembali. Saat dimana beras dan kebutuhan pokok lainnya sangat sulit dicari. Presiden diganti. Lalu uang 1000 dipotong menjadi Rp 1 nilainya. Saat di mana dia bisa makan jagung dengan singkong rebus pun harus bersyukur. Keadaan di mana semua orang harus berhati-hati dan jangan asal bicara.

Zaman keemasan mengayuh becak pun pernah dia alami. Dahulu belum ada angkot. Delman dan Becak lah penguasa angkutan umum. Harga emas masih sekitar 25.000,- per gram dan dia bisa membawa uang Rp 70.000,- Khususnya hari-hari jelang hari raya. Dia begitu sibuk mengantar penumpang pulang dan pergi. Dia bisa membelikan kalung emas untuk istrinya dari hasil mengayuh becak seminggu.

Kemudian datang musim angkot alias angkutan kota. Tetiba semua orang tergila-gila dengan kendaraan angkutan beroda empat buatan Jepang meski jenis suzuki (tuyul). Orang-orang mulai beralih dan meninggalkan becak. Ada masa becak juga dimusuhi. Dianggap biang kemacetan. Becak-becak dikejar petugas tramtib. Dianggap tak manusiawi dengan alasan dunia sudah modern. Becak-becak Diamankan bahkan dibuang ke laut.

Kemudian era memiliki motor sendiri pun dimulai. Orang bisa kredit motor dengan syarat mudah. Bahkan dengan uang muka hanya 500.000,- dan cicilan hingga 4 tahun kita bisa langsung membawa pulang motor impian. Dunia perbecakan semakin suram. Pak Suryana bahkan hanya tersenyum manakala saya bilang bahwa sekarang angkutan on line sudah pula merajai.

Itulah pak Suryana. Beliau tak mencari kambing hitam. Meski banyak kawan-kawannya mengeluh bahwa hidup ini semakin sulit. Kemudian setiap Pilkada dan Pemilu beberapa pihak kemudian mengambil kesempatan dengan menghembuskan isu. Bahwa hidup dan mencari uang adalah lebih enak pada zaman Presiden Soeharto. Harga emas masih 25 ribu dan mereka bisa punya penghasilan 50 ribu per hari. Beberapa kawannya meyakini itu hingga benar-benar hidup menjadi seseorang yang pembenci kepada siapa pun pemimpin di negeri ini.

Tapi pak Suryana tak berpikir ke sana. Beliau berpikir memakai rasio bahwa zaman sudah berubah. Dan dia memang terseret-seret dalam menghadapinya. Jika dulu harga se gram emas 25.000,- Pada saat tulisan ini dibuat bahkan sudah sekitar satu juta rupiah per gram. Secara penumpang satu hari tak lebih dari 3 penumpang. Kadang nol. Jangankan mau membeli emas. Masuk ke minimarket semacam Alfa dan Indomart saja beliau minder dan malu. Mau keperluan apa masuk ke toko yang berlantai licin, berpendingin ruangan, petugas kasir berseragam plus segala hal yang dijual adalah benda-benda yang tak mungkin bisa dia jangkau. Shampo, kecap, minyak atau apa pun yang ada di dalamnya adalah dalam kemasan besar tak mampu dia beli dengan penghasilan yang rata-rata sekitar 35 ribu per hari.

Beliau dan istrinya hanya berbelanja di warung dekat rumah. Dengan segala hal yang di ecer atau dijual dalam kemasan kecil. Itu pun tak pernah lebih dari seminggu sekali.

Negara seperti tidak ada ketika dirinya harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya? Atau siapakah di negeri ini yang harus memperhatikan manusia-manusia seperti beliau? Institusi mana? Tertidur di atas becak ketika siang terlalu terik itu biasa. Lapar dan haus ditengah polusi dan bising lalu lalang kendaraan adalah sering.Tak berani bermimpi. Dan harus bekerja keras demi menyambung nyawa.

Mimpi Yang Sederhana

Jangan bicara soal uang pensiun dan bisa menikmati masa tua kepada pak Suryana. Beliau tak pernah menghayal ke sana. Menerima Bansos berupa beberapa liter beras dari Presiden Jokowi pada masa Pandemik Covid ini pun beliau sudah bersyukur.

Tak usah bicara soal bisa naik haji atau membeli sepatu merk Puma atau jam tangan merk Rolex. Beliau tak akan paham. Beliau tak mengerti paket data, gadget canggih, atau pamer bahagia di medsos macam FB, IG atau WAG. Jangan. Beliau tak tahu hal-hal seperti itu.

Karena hanya untuk mendapatkan hak PKH saja beliau masih harus bermimpi. Apa itu PKH? PKH adalah Program Keluarga Harapan dari pemerintah yang dianggarkan kala pandemik covid ini. Ibu hamil, anak usia sekolah dan para manula yang tak mampu berhak mendapatkan bantuan ini dengan nilai nominal tertentu.

Pak Suryana begitu bersemangat kala pak RT memintanya mengurus surat-surat untuk diikutkan program tersebut. Berhari-hari dia menyiapkan semuanya dan menghabiskan biaya yang tak sedikit. Tetapi ketika semua pengurusan surat beres? Pengajuan beliau ditolak. Mengapa? Karena usianya masih belum termasuk. Usia beliau saat pengajuan adalah 69 tahun. Sementara batas usia manula yang tak mampu itu haruslah minimal 70 tahun.

“Usia saya kurang setahun…” Kata pak Suryana sambil menunduk.

“Memangnya berapa jumlah uang yang akan bapak terima? Andaikan usia bapak cukup persyaratan?” Tanya saya penasaran.

“Dua ratus ribu….” Jawab Pak Suryana lagi sambil kembali menunduk.

Kemudian saya terhenyak dan tak lagi banyak bertanya. Uang yang mungkin bagi seseorang berpunya hanyalah recehan. Hanya untuk ngopi secangkir dan makan cheese cake di mal. Namun bagi orang seperti pak Suryana, itu adalah nilai yang besar dan sangat diharapkan. Seorang bapak tua yang masih mengayuh becak dengan kaki bersendal jepit dan betis sudah bengkak-bengkak. Nilai yang besar hingga dia berharap tahun depan segera datang. Kelak dia akan mendaftar ulang. Bermimpi dan berharap mendapat bagian dari negara ini meski hanya remah-remah. Masih setahun lagi. Andaikan tahun depan itu datang… Entahlah… apakah nanti program PKH itu masih ada? Andaikan masih ada… Apakah umur pak Suryana masih ada?

Cikeu Bidadewi Rusdana untuk 75 Tahun Indonesia Merdeka.

becak

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *