Puisi menjadi bagian dari kehidupan. Dia, lahir dari satu di antara kegelisahan batin penyair ketika berada pada kehidupan sosialnya. Kegelisahan itu bisa saja berupa cinta, persahabatan, kemarahan, kebencian, keindahan, kebahagiaan dan lain-lain. Penyair yang baik, akan menangkap itu semua menjadi larik-larik puisi yang metaforik, multitafsir dan hidup pada pembaca. (Redaksi)
[iklan]
Kalaulah Engkau Laut
— buat Adilah Pratiwi
Kalaulah engkau pulun gelombang,
biarlah aku hanyut daun ketapang.
Dada sebongkah karang,
yang menyambutmu dengan lapang.
Kaulah laut, dalam rahimmu
terkandung hidup dan maut.
Bagaimanapun, aku nelayan.
Kepadamulah, kugantung penghidupan.
Kuarungi kau ketika hari
masih bermandikan gulita.
Doa dan damba terikat
jadi sepasang cadik.
Kugelar layar dan kukayuh perahu.
Dituntun telunjuk bintang utara,
kusambut gelebar pelukmu;
ancaman maut apalah itu?—tiada bermakna!
Malang, 2020
Mengintip Pagi Menggeliat
Dari Balik Kaca Jendela
Matahari adalah mata pagi,
yang pelan-pelan terbuka.
Kedua belah gunung
beraliskan kabut dan mendung,
bagai sepasang mata berbulu lentik,
terkesan agung dan cantik.
Kubuka jendela, dan udara
serasa dituangi secawan anggur,
segar sekaligus memabukkan.
Seekor prenjak berlompatan
dari dahan ke dahan
Melenting dari ranting ke ranting,
menisik bulu-bulu kecoklatan,
seolah memperagakan tarian flamenco.
Dari balik kaca jendela, kulihat
pagi yang masih hijau tengah menggeliat,
terbangun dan mencangkung
di bait-bait puisiku.
Malang, 2020
Serangkai Kenang
—buat AP, baca ini ketika kau mengingatku!
Aku ingin bercerita, perihal bagaimana segalanya bermula:
dari cinta yang mulanya segulung benang,
sampai waktu mengulurnya jadi serangkai kenang.
“Cinta telah menahbiskan kau jadi puisi,
dan aku, pembaca yang tak ingin berhenti
menerokamu berkali-kali.”
Ingatkah kau, sayangku? Pernah dulu, aku mengutip senyummu.
Langit biru jatuh di teduh bola matamu.
Di antara deras degup dan ranggas gugupku,
aku menyadari satu hal kala itu, “bahwa ada yang tak semerta
dapat aku bahasakan lewat kata-kata, ada yang tak semerta
dapat aku padatkan layaknya puisi.”
Hari-hari selanjutnya aku melanjutkan hari-hariku dengan tak biasa:
Pagi ke pagi terasa suram, malam ke malam melulu kelam.
Rindu jelma piutang yang menuntut segera lunas, sedang temu,
adalah gaji bulanan, yang seringkali masih terpangkas
tunggak berbagai pembayaran.
Ingin suatu saat aku menyalin senyummu ke dalam puisi.
Warna layung akan kubuat bingkai bagi kata-kekata yang kurangkai.
Meski puisiku mungkin tak seindah yang digubah Gibran,
atau mungkin tak semelejit yang dianggit Neruda, tetapi,
ia bermula dari “cinta,” dan,
dari sanalah kutemukan kau kali pertama.
Malang, 2020
Yohan Fikri Mu’tashim, lahir di Ponorogo, 01 November 1998. Penulis merupakan alumnus Pondok Pesantren HM Putra Al-Mahrusiyah Lirboyo Kediri, yang sekarang tercatat sebagai mahasiswa aktif di Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah, Universitas Negeri Malang, serta santri di Ponpes Miftahul Huda Gading, Malang. Aktif menulis puisi dan sesekali cerpen. Bergiat di Komunitas Sastra Langit Malam. Pernah mendapat juara 2 dalam Lomba Cipta Puisi “Santri” dalam Rangka Memperingati Hari Santri Nasional 2019 yang diselenggakan oleh Pilihanrakyat.id dan Penerbit Sulur, Juara 1 Lomba Menulis Puisi Tingkat Nasional BATCH 2 yang diselenggarakan oleh Ruang Kreasi tahun 2020, dan Juara 1 Lomba Cipta Puisi Nasional 2020 yang diselenggarakan oleh KORPS HMI-Wati Cabang Cirebon.