JAKA TARUB – Cerita Rakyat Jawa Tengah

[iklan]

Adalah sebuah desa bernama Tarub. Di desa itu tinggal seorang janda bernama Mbok Rondo Tarub. Sejak suaminya meninggal dunia, ia mengangkat seorang bocah laki-laki sebagai anaknya. Setelah dewasa, anak itu dipanggilnya Jaka Tarub.

Jaka Tarub anak yang baik. Tangannya ringan melakukan pekerjaan. Setiap hari, ia membantu Mbok Rondo mengerjakan sawah ladangnya. Dari hasil sawah ladang itulah mereka hidup. Mbok Rondo amat mengasihi Jaka Tarub seperti anaknya sendiri.

Waktu terus berlalu. Jaka Tarub beranjak dewasa. Wajahnya tampan, tingkah lakunya pun sopan. Banyak gadis yang mendambakan untuk menjadi istrinya. Namun Jaka Tarub belum ingin beristri. Ia ingin berbakti kepada Mbok Rondo yang sudah dianggap sebagai ibu kandungnya sendiri. Ia bekerja semakin tekun, sehingga hasil sawah ladangnya melimpah. Mbok Rondo yang pemurah akan membagi hasil sawah ladangnya itu kepada tetangganya yang kekurangan.

“Jaka Tarub, anakku. Mbok lihat kamu sudah dewasa. Sudah pantas meminang gadis. Lekaslah menikah, Simbok sudah ingin menimang cucu,” kata Mbok Rondo pada suatu hari

“Tarub belum ingin, Mbok,” jawab Jaka Tarub.

“Tapi jika Simbok sudah tiada, nanti siapa yang akan mengurusmu?” tanya Mbok Rondo lagi.

“Sudahlah, Mbok. Semoga saja Simbok sehat dan panjang umur,” jawab Jaka Tarub singkat.

***

“Hari sudah siang, tetapi Simbok belum juga bangun. Kadingaren …,” gumam Jaka Tarub pada suatu pagi. “Simbok sakit ya?” tanya Jaka Tarub meraba kening simboknya.

“Iya, nak,” jawab Mbok Rondo lemah.

“Badan Simbok panas sekali,” kata Jaka Tarub cemas. Ia segera mencari daun Dadap Serep untuk mengompres simboknya. Tapi apa mau dikata, umur Mbok Rondo hanya sampai hari itu. Menjelang siang, Mbok Rondo menghembuskan napas terakhir.

Sejak kematian Mbok Rondo, Jaka Tarub sering melamun. Sawah ladangnya jadi terbengkalai, tak terurus. “Sia-sia aku bekerja. Untuk siapa hasilnya?” demikian gumam Jaka Tarub.

Suatu malam, Jaka Tarub rmimpi makan daging Rusa. Ketika terbangun dari mimpinya, ia jadi ngidam ingin makan daging Rusa sungguhan. Maka pagi itu, Jaka Tarub pergi ke hutan sambil membawa sumpitnya. Ia ingin berburu Rusa dengan menggunakan sumpitnya, tapi hingga siang tiba tak seekor rusa pun ia jumpai. Jangankan rusa, kancil pun tak ada. Padahal Jaka Tarub sudah masuk ke wilayah  hutan yang jarang dijamah manusia. Ia kemudian duduk di bawah pohon dekat telaga,  melepas lelah. Angin sepoi-sepoi membuatnya tertidur.

Tiba-tiba, sayup-sayup terdengar derai tawa perempuan yang bersuka ria. Jaka Tarub kaget. “Suara orangkah itu?” gumamnya. Pandangannya ditujukan ke arah telaga. Wow… di telaga ada tujuh perempuan cantik sedang asyik bermain air, bercanda, bersuka ria. Jaka Tarub menganga melihat kecantikan mereka. Tak jauh dari telaga, tergeletak selendang mereka. Tanpa pikir panjang, diambilnya satu selendang, kemudian disembunyikannya.

***

“Nimas, ayo cepat naik ke darat. Hari sudah sore. Kita harus segera kembali ke khayangan,” kata Bidadari tertua. Bidadari yang lain pun naik ke darat. Mereka kembali mengenakan selendang masing-masing. Namun salah satu bidadari itu tak menemukan selendangnya.

“Kakang mbok, selendangku tidak ada,” katanya.

Keenam Bidadari turut membantu mencari, namun hingga senja tiba, selendang tak juga ditemukan.

Nimas Nawang Wulan, mohon maaf, kami tak bisa menunggumu lama-lama. Mungkin sudah nasibmu tinggal di mayapada,” kata Bidadari tertua. “Kami kembali ke khayangan,” tambahnya.

Nawang Wulan menangis sendirian meratapi nasibnya. Saat itulah Jaka Tarub menolongnya. Diajaknya Nawang Wulan pulang ke rumah. Kini hidup Jaka Tarub kembali cerah. Beberapa bulan kemudian, Jaka Tarub menikahi Nawang Wulan. Keduanya hidup berbahagia. Beberapa bulan kemudian Nawang Wulan melahirkan seorang bayi perempuan yang cantic jelita. Nawangsih namanya.

Pada suatu hari, Nawang Wulan berpesan kepada Jaka Tarub, “Kakang, aku sedang memasak nasi. Tolong jaga apinya, aku hendak ke sungai. Tapi jangan dibuka tutup kukusan itu,” pinta Nawang Wulan. Sepeninggal istrinya, Jaka Tarub penasaran dengan larangan istrinya. Maka dibukanya kukusan itu. Setangkai padi tampak berada di dalam kukusan.

“Pantas padi di lumbung tak pernah habis. Rupanya istriku dapat memasak setangkai padi menjadi nasi satu kukusan penuh,” gumamnya. Saat Nawang Wulan pulang, ia membuka tutup kukusan. Setangkai padi masih tergolek di dalamnya. Tahulah ia bahwa suaminya telah membuka kukusan hingga hilanglah kesaktiannya. Sejak saat itu, Nawang Wulan harus menumbuk dan menampi beras untuk dimasak, seperti wanita umumnya.

Karena tumpukan padinya terus berkurang, suatu waktu, Nawang Wulan menemukan selendang bidadarinya terselip di antara tumpukan padi. Tahulah ia bahwa suaminyalah yang telah menyembunyikan selendang itu. Dengan segera dipakainya selendang itu dan pergi menemui suaminya.

Kakang, aku harus kembali ke khayangan. Jagalah Nawangsih. Buatkan dangau di sekitar rumah. Setiap malam letakkan Nawangsih di sana. Aku akan datang menyusuinya. Tapi kakang jangan mendekat,” kata Nawang Wulan, kemudian terbang menuju khayangan.

Jaka Tarub menuruti pesan istrinya. Ia buat dangau di dekat rumahnya. Setiap malam ia memandangi anaknya bemain-main dengan ibunya. Setelah Nawangsih tertidur, Nawang Wulan kembali ke khayangan. Demikian hal itu terjadi berulang-ulang hingga Nawangsih besar. Walaupun demikian, Jaka Tarub dan Nawangsih merasa Nawang Wulan selalu menjaga mereka. Di saat keduanya mengalami kesulitan, bantuan akan datang tiba-tiba. Bantuan dari dewi Nawang Wulan. (AY)

Catatan::
Mbok, simbok   :   Bu, ibu.                      
Kadingaren      :  tumben, tidak biasanya
Nimas               :  adik; panggilan untuk adik perempuan.
Kakangmbok  :  kakak; panggilan untuk kakak perempuan.
Mayapada      :  bumi.
Kakang          :  kakak; panggilan untuk kakak laki-laki/untuk suami.
Kukusan        :  alat masak berbentuk kerucut, terbuat dari bambu yang dianyam.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *