Puisi pencarian, itulah yang bisa terpindai dari sajak sajak besutan Penyair muda Agus Sanjaya yang terpampang kali ini. Seperti seorang penyelidik yang berusaha membuka misteri demi misteri kehidupan sehari hari kemudian dipotret menjadi tiga puisi berjudul /Ingin Menambal Telinga/, /Bapak Tua/, dan /Selesa Desa/.
Puisi /Ingin Menambal Telinga/ mengisyaratkan semacam usaha agar pencarian sang Penyair menjadi cepat ditemukan, dan bisa segera melanjutkan pencarian berikutnya meski pun misalnya sekedar untuk menutup kebutuhan biaya pendidikan anak dari tokoh lirik bapak, ibu, atau pun aku lirik.
Puisi ke dua /Bapak Tua/ masih seputar pencarian makna kehidupan yang juga berhasil dipotret menjadi puisi dengan diksi yang relatif berani berpadu padan dengan gaya milenial kekinian yang cenderung bisa mengungkapkan kata apa adanya, hampir tanpa basa basi, cukup dengan metafora lugas lugas saja semacam
/seperti rumpun kedelai tua yang tak beranjak besar/.
Pada puisi /Selesa Desa/ ada aroma seakan Penyair mulai mengendapkan pencarian dan menemukan kelegaan atau semacam ekspresi damai setelah sekian langkah pencarian, dan berujung pada
/”kami makan singkong bakar,
sambil bercengkrama riang.”/.
Mari bercengkrama bersama sambil menikmati puisi. Silakan…
Ingin Menambal Telinga
mentari masih menyipit
tapi aku sudah berburu birit
jarum jam telah menggertak
untuk segera berdandan necis
makanan hanya singgah sementara
di perutku yang kian datar
seperti kebijakan-kebijakan gusar
tak pernah henti berkabar
keringatku dan orang-orang purba itu meluap
tak henti berteriak kemakmuran
pada tahun semakin beranak pinak
dinahkodai stakeholder kesetanan
sementara itu
anak-anakku menggigiti bangku pendidikan
untuk sekadar mendapat kesempatan
padahal uang pokok sudah jarang dibayarkan
kembali kulihat
pertikaian dalam kedaulatan
antara bapak ibu yang semakin senja
dengan tuan penyihir; sang penguasa kota
hingga dunia penuh kehancuran
aku ingin menambal telinga
agar tak mendengar lagi
senandung protes di mana-mana
seperti yang Tuanku lakukan
berpura-pura tuli pada kemanusiaan
20/2/2022
Bapak Tua
kujumpai bapak tua
di perempatan jalan
tengah menjual kebingungan
tentang batu kerikilnya
yang ludes di pasaran
meski kerap kali
batu itu terisi di sakunya
berulang kali juga
menggelinding jatuh di jalan
menuju arah rumahnya
seolah kesialan seperti angin
berembus datang tak diundang
bapak terpeleset genangan
yang menambah licin hujan
dan rabunnya malam
setelah sampai beranda rumah
bapak tertimpa pepohonan
nasib tak pernah memihaknya
seperti rumpun kedelai tua
yang tak beranjak besar
21/2/2022
Selesa Desa
pagi mengerjapkan mata
petani sudah melukis gunung
berdiri sejajar di tepian
mengenakan penutup kepala
padipadi adalah gembala
ditinggal menjelang petang
untuk sekadar rehat sejenak
seharian bermain tanda
kesejukan mengunjungi malam
bertanya adanya kehangatan
petani pun menjawabnya
“kami berlutut di perapian,
lalu menyeruput kopi hitam.”
saat sepi mulai menyergap
bertanya adanya keseruan
mereka pun menjawabnya
“kami makan singkong bakar,
sambil bercengkrama riang.”
21/2/2022
Agus Sanjaya lahir di Jombang, 27 Agustus 2000. Buku pertamanya berjudul Akar Kuning Nenek, serta ke duanya berjudul Lima Sekawan terbit tahun 2020. Saat ini ia tengah sibuk kuliah, menimba ilmu di COMPETER Indonesia dan Kelas Puisi Bekasi (KPB). Karya-karyanya banyak terangkum di antologi bersama, juga di media online.