SEMAAN PUISI#33: DARI INI IBU BUDI HINGGA PUISI SAPARDI
Semaan Puisi merupakan wadah literasi yang kegiatannya diadakan di sebuah kedai kopi bernama ADAKOPI di jalan Terusan H. Nawi Malik no.27, Serua, kecamatan Bojongsari, Depok pada setiap hari kamis di setiap minggunya. Semaan dibidani oleh sekelompok pegiat literasi Pamulang dan Depok. Setiap episode Semaan Puisi, akan ada satu tokoh atau sastrawan sebagai tema yang kemudian karyanya akan dibacakan oleh semua anggota yang hadir, jumlah puisi yang disediakan sebanyak tiga puluhan puisi.
Dalam edisi spesial Sapardi Djoko Damono, 20 Juni 2024, Semaan Puisi beranjangsana ke kediaman penyair tersebut di Komplek Dosen UI, Ciputat. Acara yang dimulai pukul 19.00 wib itu diawali dengan doa dan tahlilan bersama yang dipimpin oleh Mahwi Air Tawar yang sekaligus sebagai pemilik dari kafe Adakopi.
Acara dilanjut dengan pengenalan dan pembacaan biografi serta kiprah Sapardi Djoko Damono di ranah literasi Indonesia oleh Angin Kamajaya, dosen Sastra Indonesia Universitas Pamulang.
“Secara bentuk, bentuk-bentuk puisi yang dibuat oleh Sapardi memang bebas. Seperti bentuk puisi modern pada umumnya. Namun, jika kita amati lebih dalam, bentuk-bentuk itu kemudian mengikuti masing-masing puisinya. Tipografi bukan bentuk yang ingin ditonjolkan Sapardi,” tutur Angin Kamajaya.
Selesai pembacaan biografi, acara kemudian disusul dengan pembacaan tiga puluhan puisi secara bergilir. Semua anggota mendapat giliran membaca, dan sebelum akhir acara ada diskusi hangat tentang kesan-kesan para hadirin tentang Sapardi selaku guru dan sastrawan, atau tentang karya-karya Sapardi
“Mungkin saya kecil tidak mengenal Sapardi. Di buku-buku pelajaran sekolah waktu saya kecil, hanya ada puisi-puisi seperti INI IBU BUDI dalam buku terbitan Erlangga,” seloroh Angin Kamajaya. Dilanjut dengan Imam Budiman, pendidik di Darus-Sunah International Institute For Hadith Scciences yang membuka diskusi tentang kontroversi mengenai sastra masuk kurikulum, juga tentang kepustakaan dalam pesantren yang gagasannya justru banyak didapat berkat dukungan Sapardi. “Saya selalu menolak ketika santri saya mengatakan bahwa ruangan buku-buku di pesantren adalah perpustakaan. Perpustakaan yang buku—bukunya tidak dibaca bukanlah perpustakaan, melainkan hanya ruangan arsip!” papar Imam yang berpendapat bahwa perpustakaan harus dihidupkan.
Acara yang dihadiri oleh praktisi akademik, santri, mahasiswa PBSI UIN, dan komunitas umum itu ditutup dengan home tour ke ruang galeri dan foto-foto. (Titis/21/6/24)